Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Jumat, 10 Januari 2014

Hasrat Narsistik Caleg

Ricky A. Manik, S.S., M.A.
Oleh: Ricky A. Manik, S.S., M.A.*
Menguasai dan berkuasa adalah keinginan yang tanpa sadar ada pada setiap manusia (subjek). Prinsipnya, tak ada seorang pun yang ingin dikuasai oleh yang lain. Bila ia dikuasai oleh yang lain, maka ia akan menguasai yang lain pula. Ini asumsi dasar, mengapa posisi kekuasaan begitu dihasrati, seperti di negeri ini. Berbicara mengenai hasrat, ia adalah laku dari psike manusia. Mengenai laku psike inilah yang tak disadari oleh Lenin ketika menjalankan ideologi komunismenya, sebuah komunisme ideal. Akan tetapi, dalam tulisan ini saya tidak akan berbicara tentang Lenin dan komunismenya, saya ingin bicara tentang hasrat kekuasaan, di mana saat ini kita sering melihat pertarungan politik dalam memperebutkan kursi kekuasaan di setiap wilayah baik pusat maupun daerah. Bahwa politik kita hari ini hanyalah manuver perebutan kekuasaan semata bukan lagi sebagai upaya bersama untuk kesejahteraan bersama, sebuah kemakmuran.

Apa itu hasrat? Hasrat adalah anak tiri dari sejarah filsafat manusia yang mengkultuskan rasio/akal. Hasrat senantiasa didiskriminasi dan dicurigai akan membawa kesesatan pada manusia. Hasrat dianggap makhluk liar yang akan menyebabkan kesesatan berpikir yang berujung pada distorsi epistemologis dan kesesatan bertindak yang bermuara pada distorsi etis. Pemerkosaan, perselingkuhan, perampokan, pembunuhan adalah tindakan-tindakan yang dianggap buah dari hasrat. Oleh karena itu, bagi Freud hasrat mesti ditekan, direpresi, id tak boleh menguasai atau mendominasi ego, bahkan melenyapkan superego.

Berbeda dengan Jacques Lacan, seorang psikoanalisis Perancis yang meyakinkan bahwa apa yang menggerakkan kehidupan manusia itu adalah hasratnya. Setiap manusia yang mengidentifikasi dirinya dalam suatu identitas tanpa sadar dibentuk oleh hasratnya. Seorang laki-laki dengan identitas penanda lainnya seperti “baik hati”, “santun”, “bertanggungjawab”, “religius”, “tangguh”, “kuat”, dan lainnya akan menjadi penanda yang diidentifikasikan dan diinkorporasi oleh manusia atau subjek-subjek lainnya. Dengan kata lain, dalam membentuk ego idealnya atau identitasnya, subjek selalu dikonstruksi oleh imajinasinya sendiri.
Menarik untuk dicermati bila hasrat akan kekuasaan itu dilihat melalui perspektif psikoanalisis Lacanian ini.

Hasrat dalam Psikoanalisis Lacanian
Untuk dapat memahami teori hasrat Lacanian, perlu dulu memahami trajektori pembentukan subjek Lacanian ini. Manusia mendapatkan konsep tentang dirinya, oleh Lacan dibagi berdasarkan tiga fase yang memiliki hubungan dengan tiga ranah dalam psikis manusia, pertama dinamakan fase pra-odipal pada tatanan Real (the Real), fase cermin pada tatanan Imajiner (the Imaginer), dan fase odipal pada tatanan Simbolik (the Simbolic). Dalam fase Real, manusia dikatakan berada pada tahap kebutuhan (need) di mana dalam fase Real yang ada hanya kebutuhan. Dalam fase the Real, segala sesuatu terpenuhi, tak ada kekurangan, dan utuh. Bayi sejak masa kandungan hingga dilahirkan berada pada tahap ini. Setiap kebutuhan bayi yang masih infantil dengan tubuh ibu akan selalu terpenuhi. Setelah bayi mengenal ada yang lain (liyan) selain dirinya yang dikatakan Lacan sebagai fase cermin, bayi juga masuk dalam tahap permintaan (demand). Ia meminta sesuatu yang sebenarnya tak diinginkannya yang pada akhirnya membawa dirinya pada perasaan kekurangan (lack). Inilah awal subjek lacanian dengan kekurangan permanen yang dijalaninya sepanjang usianya. Pada fase cermin ini bayi mengenal diri ideal yang dicitrakan melalui cermin. Subjek lacanian akan semakin gegar ketika ia masuk dalam tatanan Simboliknya, yang Lacan sebut sebagai “The Name of Father”. Ayah dalam Lacan adalah ayah simbolik yang memasukkan anak ke dalam dunia simbolik (aturan, norma, hukum, dll). Bayi yang berpenis akan diberi atribut kulturalnya sebagai laki-laki, pun bayi yang tak berpenis. Yang Simbolik membawa manusia pada rentetan kekurangan-kekurangan diri sepanjang hidupnya. Maka dari itu subjek lacanian dikatakan sebagai subjek yang retak, subjek yang terbelah, yang disimbolkan dengan ‘$’.

Kerena kekurangan (lackness) inilah manusia selalu ingin kembali (rindu) pada tatanan Real-nya, namun hal itu tak akan pernah terjadi. Akibat dari kerinduan ini, hasrat muncul sebagai garis potong keinginan subjek menuju tatanan Real-nya. Oleh sebab itu, hasrat ada karena adanya kekurangan (lackness). Kekurangan diterima sebagai perasaan diri yang tak lagi utuh. Ibu tak dapat lagi memberi sesuatu yang menjadi permintaan anak. Anak menjadi retak dan keretakan itu menjadi kanal tempat mengalirnya hasrat-hasrat.

Untuk menutupi segala yang kurang pada dirinya, manusia selalu berupaya mencari keutuhan bagi dirinya. Hasratlah menjadi penutup sementara segala kekurangan yang ada pada diri. Manifestasi-manifestasi hasrat pada subjek ini dapat kita lihat pada manusia yang menginginkan identitas pada dirinya. Identitas merupakan penanda-penanda hasrat bagi subjek agar dapat masuk dalam ranah sosialnya, seperti nama diri, agama, suku, kebangsaan, status sosial, karakteristik, dan lain sebagainya. Manusia membutuhkan identitas tersebut agar eksistensial dirinya terus terjaga. Manusia menganggap dengan adanya identitas itu, segala kekurangan pada diri dapat ditutupi.

Bagaimana cara kerja hasrat ini? Dalam konsep lacanian, cara kerja hasrat terjadi pada tahap Imajiner. Di mana ketika subjek masuk dalam ranah Simbolik, maka bahasa sebagai pembentuk identitas subjek terus menerus diidentifikasi melalui citraan-citraan yang ditemui oleh subjek. Sebagai contoh, kita melihat orang yang memiliki mobil itu seolah memiliki sense of identity, diri seolah utuh dengan berada di dalam mobil, dengan identitas imajiner ‘kaya’, ‘keren’, ‘berwibawa’, ‘eksklusif’, dan lain sebagainya. Begitu pula dengan identitas keartisan yang membawa pada citraan ‘keren’, ‘cakep’, ‘tenar’, ‘hebat’, ‘populer’, ‘kondang’, dan sebagainya yang mendorong kita secara imajiner berhasrat untuk mengakuisisi penanda-penanda identitas itu. Bukan pada benda seperi mobil atau sosok artis idola itu yang dihasrati sesungguhnya oleh subjek, melainkan bagaimana mobil dan identitas keartisan tersebut dapat memberi keutuhan bagi identitas atau sebuah eksistensi substansial.

Hasrat Kekuasaan: Hasrat Narsistik
Mekanisme hasrat termanifestasikan pada keinginan-keinginan kita akan material dan non-material. Sebut saja handphone, mobil, rumah, kekuasaan, tokoh, artis, dan lainnya yang dikira dapat membawa keutuhan identitas subjek. Seperti yang dikatakan oleh Lacan bahwa hasrat tidak muncul dengan sendirinya. Hasrat ada karena ada hasrat orang lain. Hasrat ingin mendapatkan kekuasaan muncul karena di(salah)duga memberikan keutuhan bagi eksistensi diri. Kekuasaan yang menjadi penanda utama (master signifier) akan diikuti secara metonimia dengan penanda-penanda lainnya seperti ‘hebat’, ‘pintar’, ‘elegan’, ‘kaya’, ‘terpandang’, ‘terhormat’ dan lain sebagainya.

Penanda-penanda sebagai pembawa penanda utama identitas kekuasaan, seperti menjadi anggota DPR(D), Presiden, atau kekuasaan-kekuasaan penting lainnya ini akan memberikan kenyamanan sang Ego. Ketika sang Ego merasa nyaman, maka ia memberikan kepuasan pada diri, pada hasrat narsistik. Dalam Lacanian ada dua jenis hasrat manusia yang paling dominan dan paling sering direpresi: hasrat nasrsistik (menjadi) dan hasrat anaklitik (memiliki). Kedua hasrat ini saling berhubungan. Jika hasrat anaklitik merupakan hasrat ingin memiliki identitas, yang dapat memberikan rasa nyaman sementara, maka rasa nyaman itulah yang memberi kepuasan bagi hasrat narsistik. sekalipun kedua hasrat ini berada pada alam ketaksadaran bukan berarti ia bertahan selamana disitu, ia akan mencuat keluar ketika Ego Super tak mampu lagi membendung gejolak hasrat ini. Ia mencuat tanpa disadari di wilayah kesadaran.

Saat ini, segala sektor kehidupan kita telah dikapitalisasi dan dimaterialisasi, identitas-identitas primordial dan relijius yang diberikan oleh Ego Super yang kita bawa sejak kecil, melalui pemberian orang tua, pemuka agama, lingkungan, dan sekolah – seolah sudah tak mampu lagi memberikan “kenyamanan narsistik”. Orang akan dikenal, dikagumi, disenangi, dicintai apabila ia mengejawantahkan simbol-simbol kemewahan (properti), keelokan (tampan, macho, feminim), kecendikiaan (gelar-gelar), dan seterusnya. Tanpa simbol-simbol itu, kita mungkin tidak dianggap sebagai “orang”.

Kekuasaan di negeri ini dapat menjadi pintu masuknya karena dapat mengakses simbol-simbol tadi. Jika melihat bagaimana orang sukses membutuhkan proses yang panjang untuk menginternalisasi simbol-simbol tersebut, maka jalan pintasnya ada pada kursi kekuasaan. Kekuasaan tentu menjadi jalan masuk untuk jalan lain untuk mendapatkan simbol-simbol itu, yaitu korupsi. Jalan pintas ini tentu saja menjadi godaan di tengah persaingan yang semakin padat. Orang-orang berpacu dengan rela mengeluarkan kocek yang tidak sedikit untuk mendapatkan tiket masuk kekuasaan in. Tiket masuk itu ada pada uang. Uang menjadi alat tukar bagi atribut-atribut yang mampu mentransfer simbol-simbol yang menjanjikan kenyamanan narsistik.

Hasrat ini akan berlangsung secara terus-menerus selagi simbol-simbol itu terus dipertahankan. Siapa yang mempertahankannya? Kapitalisme! Ia adalah fenomena lain yang harus dilihat sebagai penyebab munculnya hasrat-hasrat narsistik para caleg ini. Kapitalismelah yang mendorong orang untuk memaksimalkan profit dengan cara apapun. Termasuk keinginan untuk berkuasa.
               
*Penulis adalah peneliti pada Creol Institute, Research dan Cultural Relationship
Sumber: http://www.jambiekspres.co.id/berita-11976-hasrat-narsistik-caleg.html#.Us-5O5CmxtY.facebook

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2