Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Rabu, 12 Februari 2014

Pers dan Kekerasan

Noprizal, S.H.I.
(Memaknai Hari Pers Nasional 09 Februari 2014)
Oleh: Noprizal, S.H.I.*
9 Februari 1946 menjadi salah satu tonggak bersejarah dalam dunia jurnalisme di Tanah Air. Pada saat itu, beberapa wartawan berkumpul di Societeit Sasana Soeka, Surakarta atau kini lebih sering disebut Monumen Pers Nasional. Dari perkumpulan tersebut lalu dibentuklah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Organisasi pers pertama pasca Indonesia merdeka. Sejak saat itu 9 Februari ditetapkan sebagai hari lahir PWI. Melalui Surat Keputusan Presiden No 5/1985, tanggal 9 Februari kemudian dijadikan Hari Pers Nasional (HPN). Itulah sekelumit catatan singkat terkait HPN. 


Acara puncak HPN pun digelar setiap tahunnya, setelah sukses digelar di Jambi tahun 2013 yang lalu, tahun ini peringatan Hari Pers Nasional (HPN) digelar di Bengkulu. Sejumlah pejabat penting, pemimpin media, perwakilan negara tetangga hingga Presiden SBY pun hadir dalam acara akbar ini.

Meski demikian,  di tengah kemeriahan acara tersebut, masih tersimpan persoalan yang dihadapi jurnalis saat ini. Persoalan yang dihadapi dari hari ke hari tidak lain hanyalah persoalan kekerasan terhadap jurnalis. 
Kekerasan terhadap jurnalis sepertinya tidak ada henti-hentinya, bahkan di saat satu kasus belum tuntas diselesaikan, kasus yang lain sudah muncul ke permukaan. 

Meski menjadi salah satu pilar demokrasi, nyatanya pers hingga saat ini masih dalam posisi yang sangat rawan menjadi objek kekerasan bahkan pembunuhan. Lalu apa makna peringatan Hari Pers Nasional jika hingga saat ini jurnalis masih sering mendapat intimidasi saat melakukan tugas jurnalistik? 

Kekerasan Terhadap Jurnalis
Jurnalis seringkali menjadi korban. Tentu kita masih ingat dengan Fakhri Rubiyanto, jurnalis Riau TV yang menjadi korban kekerasan dalam insiden pengeroyokan Rabu malam, 14 November 2012 dipukuli empat lelaki tak dikenal.  Rubiyanto adalah satu dari tujuh wartawan Riau yang ditendang dan dicekik oleh aparat ketika meliput jatuhnya pesawat Tempur Hawk 200 di Desa Pandau Jaya Siak Hulu. Selain babak belur dipukuli, kamera dan peralatan kerja jurnalistik mereka juga dirampas dan dirusak.

Di Jambi sejumlah aksi kekerasan pun terjadi, tentu semua masih ingat dengan Nugroho Kusmawan alias Anton wartawan Trans 7 yang tertembak senjata gas air mata oleh aparat saat meliput aksi demo mahasiswa tolak kenaikan harga BBM di DPRD Provinsi Jambi. 

Begitu juga dengan Jumadi Sabar (Dedi) wartawan Kompas TV dan Zainul wartawan Global TV yang menjadi korban saat meliput bentrokan warga dengan aparat kepolisian di Kecamatan Rupit, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. 

Selain aksi kekerasan, tentu juga ada hal lain yang masih saja dilakukan kepada profesi jurnalis atau wartawan, dihina bahkan diejek didalam forum terhormat.  Kita semua tentu sangat sulit untuk melupakan begitu saja, pelecehan yang dilakukan oleh Bupati Kerinci, H. Murasman, di depan sidang terbuka wisuda STAIN Kerinci 11 Maret 2009 yang lalu. 

Sungguh tak beretika apabila pejabat publik seperti itu melecehkan sebuah profesi. Murasman mengatakan penghasilan wartawan banyak yang tidak benar. Sayangnya, perkataan seorang kepala daerah itu tidak disertai bukti dan data. 

Pernyataan Murasman Bupati Kerinci sangat menyakiti kalangan Pers. Idealnya, seorang kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat Kerinci itu merangkul dan membina setiap elemen masyarakat yang ada di wilayahnya. 

“Sarjana kalau tidak punya uang jangan jadi wartawan dan tukang ojek,” kata Murasman ketika itu. Tentu pernyataan ini membuat luka mendalam bagi jurnalis.
Tingkah pejabat yang memberikan pelajaran tidak benar ini semoga menjadi yang terakhir dan tidak ditiru oleh pejabat lainnya, apalagi tidak menghargai profesi jurnalis sama sekali.

Pers Harus Profesional
Diakui atau tidak, hingga saat ini masih ada oknum yang mengaku jurnalis padahal sama sekali tidak memiliki media. Status jurnalis yang dilekatkan oleh dirinya sendiri itu lah yang dia gunakan untuk memeras dan lainnya yang menciderai nama baik jurnalis. 

Fenomena itu tentunya merupakan salah satu bentuk contoh pencideraan nama baik jurnalis. Dan pihak yang tidak suka secara langsung pula memberikan penilaian yang sama kepada Jurnalis yang profesional.
Itu hanya sekelumit, namun seiring dengan keleluasaan jurnalis yang betul-betul melakoni tugas jurnalis secara profesional akan mampu memberikan arti yang berbeda di tengah masyarakat. Kini lewat pemberitaan media massa, cetak maupun elektronik, masyarakat dapat melihat dan merasakan, betapa pers dapat mengungkap berbagai informasi  dari berbagai peristiwa yang berkembang.

Ke depan, jurnalis juga tetap harus berada dalam koridor yang memposisikan dirinya sebagai wartawan profesional. Setiap orang dapat menjadi wartawan tetapi  tidak berarti dunia wartawan adalah profesi tanpa aturan, tanpa standar kompetensi. Wartawan Indonesia saat ini dihuni oleh orang-orang  yang memiliki kesadaran, pengetahuan, dan ketrampilan yang terkait profesinya.

Perlu Memahami Tugas Jurnalis
Bukan hanya jurnalis yang wajib memahami tugasnya, namun masyarakat juga harus memahami tugas yang diemban oleh jurnalis. Jika tugas jurnalis telah diketahui oleh masyarakat maka bisa dipastikan aksi kekerasan yang dilakukan kepada jurnalis akan bisa ditekan serendah mungkin. 

Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers memang sudah melindungi. Artinya, payung hukum bagi jurnalis (wartawan) sudah ada. Namun, UU akan bermakna bila pihak-pihak mengetahui, memahami dan melaksanakan dari amanat UU yang ada. Selama tidak mengetahui, apa lagi memahami maka akan sulit melaksanakan amanat UU yang sudah ada itu.

Menjadi jurnalis memang bukanlah pekerjaan yang gampang, tidak mengenal waktu dan selalu dihadapkan dengan ancaman. Tidak semua orang mampu dan sanggup mengemban tugas mulia yang satu ini. 
Oleh karena itu, semua masyarakat wajib memahami tugas-tugas jurnalis tanpa terkecuali. Tegasnya persoalan ini belum banyak dipahami, jangankan rakyat biasa, setingkat pejabat saja masih sering melakukan aksi kekerasan kepada jurnalis. 

Semua berharap, melalui Hari Pers Nasional semua jurnalis dapat melaksanakan tugasnya tanpa intimidasi, ancaman, serta jurnalis dari hari ke hari selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas penulisan berita seakurat mungkin untuk diangkat ke publik. 

*Anggota Pelanta dan Redpel Jurdilaga. 
Dimuat di Opini Harian Pagi Jambi Independent, Rabu 12 Februari 2014


Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2