Wenny Ira Reverawati, S.I.P., M.Hum. |
Oleh: Wenny Ira Reverawati, S.I.P., M.Hum.*
Pada puncak HUT ke-57 Provinsi Jambi, tepatnya pada malam hari 6 Januari 2014 bertempat di Abadi Convention Center, dihelat pagelaran budaya yang bertajuk “Keagungan Melayu Jambi, Spiritualitas Swarnamelayu”. Even pagelaran ini merupakan hajatan dari Dewan Kesenian Jambi (DKJ) setiap tahunnya pada HUT Provinsi Jambi. Ini adalah Even yang ke-tiga pagelaran serupa dihelat sejak tahun 2012.
Jika pada even yang pertama kalinya digelar, seni yang ditampilkannya merupakan refleksi keunikan budaya yang menyusun Jambi, dulunya terkenal dengan nama Swarnabhumi sebagai pusat kebudayaan melayu kuno di Jambi dengan pengaruh Budha sebagai pusat pembelajaran tentangnya yang juga terkenal hingga kedunia Internasional, sekaligus wilayah strategis pendirian dan perebutan tahta kekuasaan yang mengalir dari Palembang dan pulau Jawa, lebih penting dari itu adalah dikenal dan berhubungan dengan seluruh nusantara hingga keluarnegeri.
Maka, dalam rangka menampilkan dan memperkenalkan keunikan budaya Jambi dimata masyarakat Jambi, nasional, Internasional, DKJ mewadahi dokumentasi keunikan budaya tersebut dalam bentuk pagelaran budaya dengan menampilkan seni tradisi Jambi yang hampir punah sekaligus dengan maestro penciptanya yang hingga kini masih eksis mempertahankan seni tradisi tersebut sebagai keunikan Jambi dengan keagungan dan keluhuran budayanya yang tak kalah dengan daerah lain yang lebih dahulu terkenal di nusantara.
Keunikan ini membuka mata setiap penonton dalam pagelaran tersebut, bahwa ada banyak ragam tradisi yang diwadahi dalam seni budaya merefleksikan bagaimana peradaban kebudayaan Jambi terbentuk, kehidupan sosialnya, falsafah hidupnya, cara, makna dan simbol kehidupan yang menyusun kebudayaan tersebut, kesemuanya itu merupakan sesuatu akar identitas bagi masyarakat Jambi untuk digali, dikembangkan dan dipertahankan bagi kebanggaan bersama sebagai masyarakat Jambi.
Pada kesempatan tersebut, kita disuguhi tampilan seni Krinok untuk yang pertamakalinya langsung dari maestro, juga tari ritual Marcok dari kerinci dengan media piring, tari Kipas, Tari lilin, Serampang Duabelas, Lukah Gilo, dan masih banyak lagi, yang dari awal pertunjukkan hingga akhir membuat kita berdecak kagum menyadari bahwa ini baru sebagian dari keunikan budaya Jambi yang patut dibanggakan sebagai identitas.
Pada even kedua, DKJ hanya menyuguhi pertunjukkan dengan fokus kepada musik dan vokal, dimana Krinok masih tetap menjadi bagiannya, dan beberapa musik tradisi yang mencoba dikawinkan dengan musik modern Jazz, kurang dan lebih pagelaran kedua ini tidak seberapa dapat dinikmati entah karena persiapan pertunjukkannya yang memang terkesan belum matang, atau konsepnya yang tidak seberapa mengena.
Baru pada even pagelaran yang ke-tiga kalinya ini, DKJ memberikan kejutan baru mengemas pagelaran budaya dengan apik sepertihalnya pada even yang pertama. Selain temanya mengenai “Spiritual Melayu”, juga kali ini DKJ mendokumentasikan penghargaan kepada pelaku seni budaya di Jambi dalam bentuk Anugerah Gong Bertuah, kali pertama penghargaan ini terlepas dari kontroversinya diberikan kepada Iskandar Zakaria sebagai pelaku seni tari di Jambi, yang telah malang melintang dengan puluhan karyanya termasuk salah satunya Marcok dari Kerinci (dimana penari yang berjumlah lebih dari satu orang, menari diatas pecahan kaca piring, dengan melibatkan sedikit unsur magis), juga Mandi Air Masin dari Tanjung Jabung Timur yang merupakan salah satu karyanya pada even pagelaran budaya ketiga ini, masih sama melibatkan unsur magis yang mencerminkan masyarakat pesisir Tanjung Jabung Timur untuk mensucikan diri, penyembuhan, dan ritual yang berhubungan dengan ruh, dengan Yang Maha Esa.
Begitulah, mengapa pagelaran ketiga ini bertajuk Spiritual Melayu, penulis rasa DKJ ingin menunjukkan bahwa seni pada masyarakat Jambi, bukan hanya seni yang sekedar seni untuk dinikmati semata, tetapi bagaimana seni yang hidup di masyarakat Jambi merefleksikan unsur budaya masyarakatnya, dalam hal ini juga bagaimana masyarakat Jambi memaknai spiritualitas diri dan kehidupannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang menghuni bumi. Mengucap sukur, meminta berkat, pertolongan, mengadu, mengagungkan Ketuhanan Yang Maha Esa, setiap masyarakat dengan kebudayaannya punya beragam cara untuk mengekspresikannya, salah satunya melalui seni. Inilah makna keberagaman yang harus dihargai oleh semua manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan, dan ini tidak bisa dihapuskan atas nama apapun. Karena ini merupakan bentuk identitas budaya dan hak setiap manusia yang menghuni ruang budaya dan perjumpaannya dengan manusia lain, dengan Tuhan yang harus direfleksikan kembali dalam kehidupan sehari-harinya sesuai dengan apa yang ditangkap dalam makna dirinya, dan ini juga tidak bisa dipaksakan untuk dirubah mengikuti cara tertentu yang cenderung menyeragamkan.
Citra budaya melayu yang identik dengan Islam di Jambi memang lebih dominan sejak keruntuhan peradaban melayu kuno yang lebih dominan dengan Budha. Inilah yang terakhir membentuk peradaban kebudayaan Jambi, juga bagaimana seni budaya merefleksikannya sebagai spirit kehidupan masyarakat Jambi. Namun hal ini tidak berarti menghapus sama sekali akar budaya yang ada. Untuk itu, kita dapat menyaksikan dalam pagelaran budaya ketiga ini, bagaimana Suku Anak Dalam memanjatkan mantranya kepada sang pencipta ketika meminta berkah, pertolongan dan karunia. Kita juga menyaksikan Sekapur Sirih sebagai wujud persembahan rasa syukur masyarakat melayu Jambi, Mandi Air Masin dengan media dupa dan ritual leluhur untuk memohon pertolongan, pengobatan, penyucian diri, Krinok yang kini diakui sebagai warisan kebudayaan nasional merupakan wujud menyenandungkan doa, harapan, duka-cita kepada Yang Maha Esa, dan yang tak kalah menariknya, sebagai pamungkas DKJ mempersembahkan Sike Sufi dari Kerinci, dimana zikir dinyanyikan dan ditarikan seperti tarian sufi Whirling Dervis yang terkenal di Turki sebagai bentuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa.
Akhir kata, penulis melihat bahwa identitas kemelayuan Jambi yang direfleksikan dalam seni budaya sebagai spiritualitas kehidupan sosial bersama, punya unsur keragaman cara dan makna untuk dihargai sebagai spirit bersama yang tak perlu dikoyak dan dirusak untuk diseragamkan menurut cara tertentu, tapi ini perlu dipertahankan dan dikembangkan sebagai identitas budaya melayu yang agung dan luhur, menghargai keragaman, toleransi.
*Wakil Ketua II dan Dosen Tetap pada Program Studi Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi. Anggota PELANTA.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar