Oleh: Agus S Nugroho*
Pemilih dalam pemilu berdasarkan UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD mendefinisikan adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah atau pernah kawin. Mereka yang termasuk dalam umur 17 tahun adalah disebut sebagai pemilih pemula. Data dari komisioner KPU Pusat menyebutkan jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2014 nanti yang berusia 17 sampai 20 tahun sekitar 14 juta orang. Sedangkan yang berusia 20 sampai 30 tahun sekitar 45,6 juta jiwa, hitung-hitungan secara politik pemilih ini dinilai sangat potensial.
Perilaku pemilih pemula khususnya remaja memiliki karakteristik yang biasanya masih labil dan apatis, pengetahuan politik yang kurang, cenderung mengikuti kelompok sepermainan. Maka ruang-ruang tempat belajar politik terdekat pertama mereka adalah keluarga. Keluarga sangat mempengaruhi cara pandang mengenai politik dan secara otomotis keluarga pula sebagai agen pendidikan politik yang akhirnya akan membentuk perilaku pemilih mereka nantinya.
Kedua, teman sebaya atau peer group. Pengaruh teman sebaya atau sepermainan menjadi faktor yang patut dipertimbangkan, karena faktor eksternal ini bisa mempengaruhi informasi dan persepsi baik secara positif maupun negatif. Sehingga kecenderungan perilaku politiknya akan berpotensi mendekati perilaku politik teman dekatnya dalam pemilu. Ketiga, media massa dan alat komunikasi massal. Media massa mampu menyajikan sumber informasi politik kepada khalayaknya secara efektif dan efisien, dalam hal ini para remaja atau pemilih pemula dalam sehari bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan media, meskipun tidak selalu menonton program yang berkaitan dengan politik.
Dalam penggunaan alat komunikasi canggih (ponsel,smartphone dan lain sebagainya) pemilih pemula memiliki interaksi yang sangat aktif, sehingga hampir selama 24 jam aktivitasnya mereka akan saling berhubungan dengan sesama teman atau grup. Penggunaan dan pemakaian teknologi informasi dari sebuah situs majalah teknologi informasi nasional (chip.co.id) menyebutkan bahwa jumlah pengguna ponsel di Indonesia sampai akhir tahun 2013 mencapai 300 juta orang dan pengguna PC 9 juta orang. Sementara pengguna Internet mencapai 80 juta di mana 90 persennya menggunakan Internet dari perangkat mobile.
Sedangkan untuk pengguna internet, menurut hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dilakukan pada tahun 2012 lalu, didapatkan hasil pada 2014 pengguna internet mencapai 107 juta, dan pada 2015 mencapai 139 juta. Tingkat usia, umur 12 - 34 tahun mendominasi pengguna Internet di Indonesia dengan porsi 64,2 persen. Sedangkan kelompok pengguna berusia 20-24 tahun mencapai 15,1 persen dari total pengguna.
Dari data diatas dapat dijelaskan bahwa dengan begitu besarnya dominasi pengguna media internet di Indonesia oleh kelompok remaja dan dewasa, maka potensi kelompok pemilih pemula, bagi para caleg dan capres dianggap sebagai kelompok yang sangat potensial dalam mendulang suara pemilih, dengan pertimbangan secara psikologis kelompok pemilih pemula dicirikan sebagai kelompok yang dinamis, aktif dan selalu ingin mengetahui setiap informasi yang berkembang serta terbuka terhadap berbagai informasi.
Pemilu di 2014 ini, khususnya dalam kampanye nanti bisa dikatakan sebagai kampanye yang mulai memasuki era modern sebab akan bersinggungan dengan teknologi informasi, dimana para caleg maupun capres mulai meninggalkan cara-cara konvensional dalam menarik perhatian konstituennya seperti tatap muka (face to face) dalam jumlah yang besar; rapat umum, pengerahan massa maupun dalam kelompok kecil (door to door).
Pembangunan Image
Para petarung politik akan mulai mengoptimalkan semua teknologi informasi yang tersedia dan sering digunakan oleh publik, para petarung mulai membangun pesan dan citra pribadi (image personal) yang baik dan positif ditengah pemilihnya. Lantas bagaimana dengan media konvensional yang lain seperti baliho, spanduk, pamflet, pertemuan sosial masih memiliki kekuatan dalam mempengaruhi konstituen?.
Jawabannya masih, namun yang menjadi catatan adalah dalam tingkat demografi kependudukan dalam hal melek media dan kepemilikan media dari data diatas dapat dijadikan acuan. Pada kelompok sasaran tertentu, khususnya kelompok pemilih pemula mesti menjadi perhatian bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pemilu nanti seperti para caleg, KPU dan Panwaslu karena kepemilikian dan penggunaan media telah massif menyebabkan mereka bisa menjadi obyek terhadap pihak menyebarkan informasi negative.
Informasi yang sudah meluas dan masuk keruang publik melalui media massa akan mudah sekali menjadi opini publik. Dengan tingkat penerimaan pesan yang tinggi dikalangan pemilih pemula dan tingkat filter yang rendah (minim) yang memang diciptakan secara sengaja atau tidak, terhadap referensi perbandingan informasi yang positif akan data dan fakta yang akurat menyebabkan munculnya fitnah dan kebohongan publik akibat dilemparkan oleh pihak-pihak bertanggung jawab. Disinilah sebenarnya tanggung jawab pihak yang akan bertarung mengedepankan moral dan etika dalam melakukan kampanye.
Kajian relasi antara pengaruh media massa terhadap perilaku pemilih, secara sederhana dan mikro dapat dijelaskan memiliki hubungan yang kuat dan signifikan. Belajar dari beberapa fakta dari pelaksanaan pemilu tingkat nasional, internasional hingga daerah (pilkada) didapat hasil bahwa penggunaan teknologi media telah menggantikan peran kekuatan personal (figur, kewibawaan dan ketokohan) untuk menunjang keberhasilan pemilu atau pilkada. Dengan begitu faktor keberhasilan dalam pertarungan politik saat ini, tidaklah lengkap tanpa ditunjang oleh penyebaran informasi melalui perangkat teknologi media massa.
Sarana yang paling mudah dan sering digunakan oleh para petarung politik dalam melakukan kampanye politiknya dengan memanfaatkan media sosial. Media sosial yang begitu akrab dengan pemilih khususnya pemilih pemula, hadir dengan keunggulan lebih dekat secara pribadi (personal), sehingga baik pengguna (komunikan) dan penyebar informasi (komunikator), dapat berkomunikasi tanpa mengenal lebih dahulu.
Proses pertukaran isi pesan (content) antar kedua belah pihak yang bebas tanpa ada aturan hukum yang jelas dan diketahui baik oleh para caleg dan capres, dimasa-masa mendekati dan sebelum kampanye ini, menjadikan berbagai pihak berlomba untuk meraih simpati dengan berbagai cara termasuk menjatuhkan pihak yang disebut sebagai lawan politik melalui penyebaran informasi bersifat gossip, isu pemasangan status yang menggiring pada opini yang salah, bersifat SARA dan pembunuhan karakter seseorang. Bentuk pesan negative ini efeknya luar biasa karena sedikit banyak akan mempengaruhi dan merugikan tidak hanya bagi lawan politik juga bagi pemilih (pemula) telah mendapatkan informasi yang salah dan dipenuhi dengan informasi sampah (garbage information).
Politik Bermedia
Kecerdasan dan strategi politik memang harus, dalam usaha untuk memperoleh kursi kekuasaaan, untuk itu diera keterbukaan informasi sekarang perilaku dan startegi harus diredefinisikan ulang karena disebabkan perubahan kemajuan media dan teknologi informasi. Premis politik bukan lagi ditentukan oleh seberapa besar modal (finansial) seseorang, dan seberapa kekuatan (pamor/figur) dalam mempengaruhi publik. Tetapi yang menentukan saat ini adalah seberapa kekuatan masing-masing pihak mampu mengefektifkan kekuatan media informasi ditengah informasi yang berseliweran disekelilng kita.
Prinsip dasar media hadir ditengah masyarakat salah satunya untuk mempermudah dalam penyampaian pesan, menghemat biaya dan memiliki pengaruh yang secara psikologis kepada penerima pesan. Maka jika ada yang mengatakan bahwa bermedia politik sebagai alat kampanye dan sosialisasi politik adalah mahal dan tidak terukur, maka ini anggapan yang salah dan perlu diluruskan. Justru yang hadir sebaliknya, kini berbagai pihak mulai menyiasati media sebagai media yang powerfull untuk mempengaruhi publik pemilih, maka disinilah dimulai dengan serangan udara untuk mengeruk suara terbanyak melalui perubahan persepsi pemilih.
Mendekati masa pemilu serangan-serangan udara baik kepada pemilih atau konstituen tanpa dapat kita elakkan pasti akan hadir ditengah media yang kita gunakan tanpa diundang dan diminta, maka sikap yang bijak adalah ibarat permainan bola adalah fair play (bermain secara sehat) dengan mengedepankan etika dan moral, dan berikanlah informasi yang sehat, positif dan mengedepankan program yang pro rakyat bukan sekedar janji yang diumbar murah.
*Praktisi dan Dosen Ilmu Komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Nurdin Hamzah Jambi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar