Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Selasa, 13 Mei 2014

Hidup Bahagia Tanpa Riba

Suwardi, S.E.Sy.
(Kritik Tim Kasser atas Konsep Bahagia Adam Smith)
Oleh: Suwardi, S.E.Sy.*

Adam Smith, (1759:166) selaku Nabi para ekonom Kapitalis-Hedonis-Materialis, dalam kitab sucinya The Theory of Moral Sentiments mencoba mengaitkan antara kekayaan (wealth) dan kebahagiaan (happiness). Mendiang Adam Smith menulis kekayaan adalah alat untuk menjadi bahagia (wealth is a means of being happy).
Konsep kebahagiaan yang begitu vulgar secara psikologis kemanusiaan ini begitu mendapat di hati para pengikutnya di seluruh penjuru dunia. Bahkan dikemudian hari penggagas teori Populasi yang terkenal yakni Robert Malthus dalam karya monumentalnya An Essay on the Principle of Population (1798 dan 1966:303), mengungkapkan jika kekayaan sebuah Negara pada umumnya juga menjadi tolok ukur bertambahnya kebahagiaan warganya (to increase the wealth of a state tend also, generally speaking, to increase happiness).

Teori kebahagiaan tersebut menjadi dampak nyata bagi kehidupan di Negara modern belakangan. Sehingga, tidak terlalu salah jika kekayaaan menjadi alat dan tujuan utama dalam mencapai kekuasaan dan kekuatan yang dianggap berdampak kepada kehidupan nyata individu terhadap kultur social ekonomi masyarakat dunia yang lebih dihargai dan dihormati secara strata sosialnya.

Teori kebahagiaan yang diperoleh dari uang tersebut kemudian di abad ke- 18 mendapatkan legitimasi dari seorang Filsuf berkebangsaan Inggris, Jeremi Bentham (1843), dirinya mengungkapkan the most accurate of the quantity of pain or pleasure a man can be made ro receive. Dengan kalimat senada Bentham ingin menyampaikan jika uang adalah pengukur rasa sakit, bahagia, sehingga, memiliki banyak uang adalah sebagai indikasi memiliki kebahagiaan yang nyata.

Tidaklah mengeherankan dikemudian hari, bahkan sampai dengan saat ini, mayoritas individu menginginkan kekayaan sebagai upaya mencapai legitimasi kebahagiaan yang hakiki sebagaiamana diungkapkan oleh Adam Smith. Kondisi yang demikian menyebabkan keadaan secara psikologis orang-orang materialis cenderung mementingkan diri pribadi dan menjauhkan diri dari rasa empati dan kemitraan, yang akhirnya menjauhkan diri dari rasa kedermawanan dan hilang harmoni kehidupan dengan lingkungan sekitarnya (unity with nature).

Tidaklah mengherankan jika pada periode 80-an, di Indonesia struktur ekonomi tidak terlalu terjadi penampakan terhadap geliat ekonomi nasional yang dijalankan oleh para pemilik modal, orang kaya dan seterusnya, mereka lebih banyak menempatkan dananya di Bank-bank pemerintah dan swasta tanpa harus memutar modalnya, yakni dengan cara menempatkan dananya dalam bentuk deposito, dengan suku bunga yang tinggi. Sehingga tidak perlu bekerja secara keras, yang penting memperoleh imbal kekayaan dari suku bunga perbankan.

Akan tetapi, teori Adam Smith dan juga pengikut dan penerus sabdanya yang mengatakan jika kekayaan adalah sumber kebahagiaan ternyata terbantahkan oleh hasil studi dan penelitian oleh Tim Kasser dalam the high of Materialism. (2002:9), yang menyebutkan ketika uang menjadi tekanan utama dan tujuan hidup, alih-alih membawa kebahagiaan, uang malah mengatarkan pemujanya kepada petaka.

Salah satu upaya mencari kekayaan yang dilakukan oleh para materialis adalah dengan jalan menerapkan system dan konsep ekonomi ribawi yang pada hari ini, keadaannnya sangat merajalela dan telah memporak-porandakan system keuangan dunia yang dipicu oleh keberadaan suku bunga bank yang sudah memasuki taraf mengkhawatirkan dunia perekonomian global.

Bunga Bank, Materialisme dan Kekayaan
Ideologi materialisme yang berdasarkan gagasan bahwa materi, harta atau kekayaan merupakan tolok ukur mulia tidaknya seseorang. Semakin kaya seseorang berarti ia dipandang sebagai orang mulia dan semakin sedikit materi atau harta yang dimilikinya  berarti ia dipandang sebagai seorang yang hina dan tidak patut dihormati. Maka di dalam sebuah masyarakat yang telah diwarnai materialisme setiap anggota masyarakat akan berlomba mengumpulkan harta sebanyak mungkin dengan cara bagaimanapun, baik itu jalan halal, syubhat maupun haram.

Dalam sebuah masyarakat berideologi materialisme semua orang manjadi sangat iri dan berambisi menjadi kaya setiap kali melihat ada orang berlimpah harta lewat di tengah kehidupan mereka. Akhirnya, salah satu jalan pintas yang tidak menggerus tenaga dan pikiran oleh sebagian kalangan materialis, mereka menjadikan kekayaan mereka berasal dari upaya membungakan uang, baik dari sisi pinjaman perbankan, pinjaman individu maupun dalam bentuk lainnya, yang jelas aktivitas membungakan uang adalah salah satu unsure sesorang mengejar kekayaan yang dianggap kebahagiaan hakiki.

Kritik Tim Kasser
Pakar Psikologi asal Knox College, Illinois, dalam bukunya The High Price of Materialism, mengingatkan dengan mengatakan the American Dream has a dark side, and the persuit of wealth and possessions might actually be undermining our well-being. Dari hasil penelitiannya tersebut, Kasser menemukan para pencari kebahagiaan dengan jalan menumpuk kekayaan, popularitas dan penampilan cenderung sering menderita sakit kepala, sakit punggung, termasuk radang tenggorokan dibandingkan mereka tidak terlalu menempatkan kekayaan sebagai tujuan hidup.
Dalam kesimpulannya, Kasser mengungkapkan The more materialistic values at the center of our lives, the more our quality of life is diminished - - mereka yang sukses secara material kebanyakan tidak bertambah kebahagiaan, malah sebaliknya merasa kosong (empty) dan tidak puas (unsatisfying) dalam kehidupannya.

Dalam perspektif Islam temuan yang dilakukan oleh Kasser tersebut sangat bisa diterima. sebab, Islam memang memboleh umatnya untuk memiliki banyak uang, tetapi dengan cara-cara yang halal, selain itu, kekayaan yang kita miliki hanyalah bersifat titipan semata, bukan mutlak milik kita pribadi. Sehingga, dituntut adanya sikap dan sifat dermawan dari orang-orang kayan (muzakki) kepada golongan miskin (mustahik).

Selain itu, hasil penelitian oleh Kasser tersebut sangat nyata jika orang yang menyatakan uang adalah sumber kebahagiaan adalah sesuatu yang keliru terlebih memperoleh kekayaannya dengan cara membungakan uang (riba). Sebagaimanan gangguan kejiwaan yang diperoleh jika kita menjalankan ekonomi ribawi. Yakni, pertama, Bagi jiwa manusia, hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri. Riba ini menghilangkan jiwa kasih sayang, dan rasa kemanusiaan dan sosial. Lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain.

Kedua, Bagi  masyarakat, dalam kehidupan masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. Sehingga membuat keadaan tidak aman dan tentram. Bukannya kasih sayang dan cinta persaudaraan yang timbul akan tetapi permusuhan dan pertengkaran yang akan tercipta dimasyarakat. Oleh karena itu, kita perlu bahagia namun tanpa riba dalam kehidupan kita.

Bahagia Tanpa RibaDalam Islam, riba merupakan dosa besar yang banyak dikecam oleh Al-quran maupun Sunnah. Al-quran secara tegas mengancam pelaku riba dengan masuk neraka yang mereka kekal di dalamnya (2 : 275). Al-Quran juga secara ekplisit menyebut riba sebagai perbuatan yang zalim (QS.2: 278 dan QS 4: 160).  Selain Al-quran, sangat banyak  pula hadits Nabi  yang dengan tegas mengutuk pelaku riba, juru tulis  dan para saksinya (H.R.Muslim). Riba  menurut Nabi Saw lebih besar dosanya dari 33 kali berzina. Bahkan dikatakan oleh Nabi Saw, Bahwa Riba memiliki 73 tingkatan, yang paling ringan daripadanya ialah seperti seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri (Al-Hakim).

Di dalam al – Quran (2: 275) juga dijelaskan orang yang memakan riba, kelak dihari kiamat laksana orang yang kerasukan setan dan berjalan sempoyongan. Jika, makna tersebut kita bawa dalam konteks kekinian (di dunia) ini, sangatlah memiliki korelasi jika orang yang mengumpulkan kekayaan dengan jalan memakan riba, membungakan uang akan mengalami sakit jiwa, stress, depresi, tidak memiliki jiwa kemanusiaan, egois dan sebagainya, sebagaimana temuan oleh Tim Kasser tersebut. oleh karena itu, sudah saatnya kita tidak mengejar kekayaan secara materialis-hedonis tanpa melihat rambu-rambu dan aturan Tuhan. Yakni, dengan jalan meninggalkan sisa-sisa riba yang belum dipungut. Wallahu A’lam

*Wakil Direktur FiSTaC, anggota Pelanta.
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-hidup-bahagia-tanpa-riba.html

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2