Oleh: Suparmin, S.H.*
Putusan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri (PN) Sengeti, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi pada Rabu
(7/5), lalu telah menjatuhkan pidana hukuman tiga bulan penjara dan enam
bulan percobaan serta denda Rp 1 juta kepada pelaku pidana Pemilu
money politik pada masa tenang yakni Kartono. Meski vonis ini lebih
berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sengeti
yang hanya menuntut pelaku dua bulan penjara, empat bulan percobaan dan
denda Rp 1 juta. Tetapi di kalangan masyarakat, vonis ringan ini
dianggap mencederai asas keadilan. Vonis ini dituding hanya menjadi
sebuah formalitas penegakan hukum Pidana Pemilu dan melunturkan
kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana yang telah
berjalan.
Pernyataan dari masyarakat ini tidak dapat kita salahkan dan tidak dapat
dibantah. Apalagi, dari informasi yang didapat dan juga dalam
persidangan, diketahui jika seluruh alat bukti, saksi-saksi, ahli maupun
pengakuan terdakwa telah menegaskan jika tindak pidana Pemilu berupa
kegiatan money politik pada masa tenang telah terbukti secara gamblang
dan jelas memenuhi unsur dalam pasal Pidana Pemilu yang didakwakan,
yakni pasal 301 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, tentang
Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bunyi pasal tersebut secara lengkap adalah setiap pelaksana, peserta dan/atau petugas kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud pasal 84 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp 48.000.000,- (empat puluh delapan juta rupiah).
Terdakwa Kartono sudah jelas merupakan peserta kampanye Pemilu, karena dia sudah mengetahui jika ada Caleg dari Partai tertentu yang ikut menjadi peserta Pemilu dalam Pileg tingkat DPRD Kabupaten Muaro Jambi. Dia juga merupakan warga Negara Indonesia yang berdomisili di Daerah Pemilihan Muaro Jambi 4, yang meliputi wilayah Kecamatan Jambi Luar Kota. Unsur memberikan atau menjanjikan uang sudah sangat jelas dengan uang Rp 3 juta yang diakuinya sebagai uang pribadi yang diberikan kepada dua orang siswa SMAN Titian Teras Jambi yang juga pemilih pemula untuk dibagikan kepada rekan-rekannya guna memilih Caleg Nomor 2 dari Partai Hanura untuk DPRD Kabupaten Muaro Jambi, atas nama Samsul Bahari SE. Terdakwa juga sudah menyadari jika perbuatannya itu dilakukan di dalam masa tenang yang dilarang untuk melakukan perbuatan tersebut. Tetapi dia mengakui saat ini sedang khilaf.
Memang juga harus diketahui jika dalam pasal tersebut, ancaman hukuman pidana penjara maupun denda yang dicantumkan hanya maksimalnya saja . Sangat berbeda dengan UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Narkotika yang memberikan menuliskan secara tegas hukuman minimal dalam tindak pidana yang dilakukan. Sehingga memang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) bisa memberikan pendapat yang sangat subyektif terhadap berat atau ringannya tindak pidana Pemilu yang dilakukan para pelaku. Tergantung dari sisi mana JPU melakukan kajian ataupun pendapatnya.
Namun, kita tidak boleh berprasangka buruk bahwa sistem peradilan pidana (SPP) dalam penanganan kasus tindak pidana Pemilu atau yang lebih dikenal dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) tidak bisa memaksimalkan ancaman pidana yang ada. Tetapi kita harus menghargai proses hukum yang telah berjalan dan final itu. Kita harus memberikan acungan jempol para pihak yang sudah membantu terungkapkan kasus money politik ini. Mulai dari penemuan kasus oleh masyarakat dibantu dengan jajaran Badan Pengawas Pemilu, proses penyidikan di aparat kepolisian, proses penuntutan di kejaksaan hingga proses peradilan di pengadilan negeri. Vonis ini merupakan bukti jika Sentra Gakkumdu berhasil menjalankan fungsinya dengan baik dan sukses.
Apalagi kasus-kasus pidana Pemilu yang terkait money politik maupun pidana Pemilu lainnya kemungkinan besar jarang masuk ke sistem peradilan pidana (SPP). Sehingga referensi maupun yurisprudensi atas persoalan ini sangat minim. Ditambah lagi perubahan aturan perundang-undangan terhadap Pidana Pemilu ini terus berkembang dan berubah setiap lima tahun sekali, khususnya untuk Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden maupun Pemilu Kepala Daerah. Belum lagi faktor waktu beracara yang sangat singkat, sehingga tidak bisa memaksimalkan proses hukum terhadap pelaku terkait lainnya.
Terkait apakah putusan itu sudah memberikan rasa keadilan bagi masyarakat tergantung dari cara pandang kita. Karena berbicara tentang keadilan memang tidak bisa hanya dipandang dari satu sisi saja, tapi dari banyak sisi. Jika dilihat dari sisi aturan perundangannya, vonis hukuman percobaan bagi pelaku Pidana Pemilu memang sudah memenuhi rasa keadilan. Karena penerapan pasal dalam dakwaan, maupun besarnya tuntutan serta vonis sesuai dengan aturan yang ada, yakni pasal 301 ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 2012. Namun, perlu digarisbawahi UU No.8/2012 tidak memberikan tambahan hukuman bagi penyelenggara yang melanggar pasal dalam kasus ini. Sehingga ini memberikan ruang bagi para penyelenggara untuk bermain kotor.
Tetapi jika dari sisi memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana Pemilu atau money politik tersebut, saya tidak yakin jika hukuman tiga bulan penjara dan enam bulan percobaan serta denda Rp 1 juta itu bisa memberikan efek jera. Uang yang disita saja lebih dari Rp 3 juta, tentu denda Rp 1 juta tidak menjadi masalah yang berarti bagi pelaku. Ditambah lagi dalam kasus ini, pelaku juga merupakan penyelenggara Pemilu di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Sehingga vonis ini memang mencederai proses demokrasi dalam Pemilu Legislatif tahun 2014 ini. Karena kedepannya bisa saja nanti akan banyak pihak yang berani melakukan tindak pidana serupa. Kedepannya orang bisa seenaknya saja melakukan tindak pidana Pemilu, karena toh hukumannya sangat rendah.
Kondisi ini harus menjadi bahan renungan dan instropeksi bagi pemerintah dan kalangan legislator di DPR RI. Para pelaku politik uang atau money politik di masa tenang harus diberikan sanksi yang berat. Ini hanya bisa dilakukan dengan cara memberikan standar pidana penjara dan denda minimal yang tegas dalam aturan perundang-undangan. Termasuk jika pidana tersebut dilakukan para penyelenggara Pemilu harus ada aturan yang memperberatnya.
Dengan demikian, kedepannya diharapkan proses demokrasi yang akan dilaksanakan menjadi lebih baik dan lebih berkualitas dari saat ini. Kemudian output dari proses demokrasi itu juga tentu akan ikut lebih berkualitas dan berintegritas. Semoga saja keinginan itu dapat terwujud. Amin.
Apalagi kasus-kasus pidana Pemilu yang terkait money politik maupun pidana Pemilu lainnya kemungkinan besar jarang masuk ke sistem peradilan pidana (SPP). Sehingga referensi maupun yurisprudensi atas persoalan ini sangat minim. Ditambah lagi perubahan aturan perundang-undangan terhadap Pidana Pemilu ini terus berkembang dan berubah setiap lima tahun sekali, khususnya untuk Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden maupun Pemilu Kepala Daerah. Belum lagi faktor waktu beracara yang sangat singkat, sehingga tidak bisa memaksimalkan proses hukum terhadap pelaku terkait lainnya.
Terkait apakah putusan itu sudah memberikan rasa keadilan bagi masyarakat tergantung dari cara pandang kita. Karena berbicara tentang keadilan memang tidak bisa hanya dipandang dari satu sisi saja, tapi dari banyak sisi. Jika dilihat dari sisi aturan perundangannya, vonis hukuman percobaan bagi pelaku Pidana Pemilu memang sudah memenuhi rasa keadilan. Karena penerapan pasal dalam dakwaan, maupun besarnya tuntutan serta vonis sesuai dengan aturan yang ada, yakni pasal 301 ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 2012. Namun, perlu digarisbawahi UU No.8/2012 tidak memberikan tambahan hukuman bagi penyelenggara yang melanggar pasal dalam kasus ini. Sehingga ini memberikan ruang bagi para penyelenggara untuk bermain kotor.
Tetapi jika dari sisi memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana Pemilu atau money politik tersebut, saya tidak yakin jika hukuman tiga bulan penjara dan enam bulan percobaan serta denda Rp 1 juta itu bisa memberikan efek jera. Uang yang disita saja lebih dari Rp 3 juta, tentu denda Rp 1 juta tidak menjadi masalah yang berarti bagi pelaku. Ditambah lagi dalam kasus ini, pelaku juga merupakan penyelenggara Pemilu di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Sehingga vonis ini memang mencederai proses demokrasi dalam Pemilu Legislatif tahun 2014 ini. Karena kedepannya bisa saja nanti akan banyak pihak yang berani melakukan tindak pidana serupa. Kedepannya orang bisa seenaknya saja melakukan tindak pidana Pemilu, karena toh hukumannya sangat rendah.
Kondisi ini harus menjadi bahan renungan dan instropeksi bagi pemerintah dan kalangan legislator di DPR RI. Para pelaku politik uang atau money politik di masa tenang harus diberikan sanksi yang berat. Ini hanya bisa dilakukan dengan cara memberikan standar pidana penjara dan denda minimal yang tegas dalam aturan perundang-undangan. Termasuk jika pidana tersebut dilakukan para penyelenggara Pemilu harus ada aturan yang memperberatnya.
Dengan demikian, kedepannya diharapkan proses demokrasi yang akan dilaksanakan menjadi lebih baik dan lebih berkualitas dari saat ini. Kemudian output dari proses demokrasi itu juga tentu akan ikut lebih berkualitas dan berintegritas. Semoga saja keinginan itu dapat terwujud. Amin.
*Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum di Universitas Batang Hari, Provinsi Jambi dan anggota KPU Kabupaten Muaro Jambi.
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-adilkah-hukuman-percobaan-untuk-pelaku-pidana-pemilu-_1.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar