Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Selasa, 13 Mei 2014

Sukseskah Pileg 2014

Oleh: Abd. Mukti, S.Ag.*
Secara nasional, hasil rekapitulasi Pemilu legislatif (pileg) 2014 sudah ditetapkan oleh KPU pada Jumat (9/5) malam, di menit-menit terakhir batas waktu yang ditetapkan undang-undang. Angkanya pun tidak jauh berbeda dengan hasil Quick Count dari berbagai lembaga survei. Tiga besar parpol nasionalis,yakni PDIP,Partai Golkar dan Partai Gerindra masih bertahan sebagai peraih suara terbanyak pileg 2014. Sementara PBB dan PKPI tidak lolos masuk parlemen karena suaranya ada dibawah ambang batas parlemen 3,5 persen.
Partai-partai yang mencantumkan asas Islam dan berbasis massa Islam, peraihan suaranya, ada yang naik ada yang turun. Namun, kalau ditotal seluruhnya ada peningkatan suara.Adapun golput sebesar 24,89 persen, mengungguli suara yang diraih PDIP sebagai partai peraih suara terbanyak sebesar 18,95 persen.Keputusan hasil pileg ini dituangkan dalam keputusan KPU Nomor 411 dan 412 Tahun 2014.(Jambi Independen,10/5).

Meski ada sebagaian pengamat politik yang menyatakan pileg tahun ini termasuk sukses,lantaran tidak adanya gangguan keamanan yang berarti, namun sama-sama kita saksikan bahwa pileg 2014 ini kualitasnya masih jauh dari harapan semua pihak. Tertukarnya Surat Suara antar dapil, penggelembungan suara, money politicts,dan berbagai kecurangan pemilu masih banyak ditemui, baik oleh penyelenggara pemilu, caleg maupun anggota masyarakat.

Tak ayal, beberapa partai politik pun, karena partainya dan atau calegnya dicurangi, akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Yaitu antara lain, PKB,PDIP,Partai Nasdem,PKS dan PPP.(Kompas TV,10/5). Jadi, rasanya cukup sulit untuk menyatakan bahwa Pemilu kali ini sukses.Sukses proses pelaksanaan, apalagi sukses hasil. Kalau demikian, maka perhelatan yang cukup banyak mengeluarkan dana dan menguras banyak pikiran ini rasanya sulit untuk dikatakan sebagai pesta demokrasi. Bahkan mungkin yang paling tepat sebagai ‘musibah demokrasi’.

Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu demokratis kemarin nampaknya kalau dikatakan sukses tentu ‘kesuksesan’dalam bentuk lain. Pertama, Pemilu demokratis ini telah ‘sukses’ memperdaya rakyat untuk meramaikan ‘pesta demokrasi’, rakyat diajak untuk berpesta demokrasi, tapi nampaknya sekedar ‘meramaikan’bukan sebagai penikmat pesta.Yang benar-benar menikmati pesta hanyalah parpol dan para caleg. Rakyat hanya penggembira. Memang, selama pesta rakyat disanjung dan dipuja. Suaranyapun sangat diharapkan, bila perlu dihargakan dengan uang. Namun, usai pencoblosan, rakyat segera dilupakan. Parpol dan para wakil rakyat kembali menjauhi rakyat, bahkan seolah-olah tak pernah kenal dengan rakyat yang pernah memilih mereka.

Belajar dari pengalaman Pemilu sebelumnya, suara rakyat justru dipakai untuk membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Privatisasi, menambah utang luar negeri, menaikkan harga BBM, semuanya atas nama rakyat. Padahal omong kosong Pemilu demokratis untuk perbaikan selama tidak ada perubahan sistem kapitalisme yang menjadi pangkal derita rakyat.

Kedua, Pemilu demokratis sukses mengokohkan kembali sistem kapitalisme yang menjadi pangkal derita rakyat Indonesia. Apalagi pemenang Pemilu adalah partai atau elite politik yang punya trackrecod  buruk dengan kebijakan-kebijakan neo-liberal yang menambah derita rakyat.

Hal ini yang ditegaskan pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy. Menurut dia, pemenang Pemilu akan melanjutkan neoliberal dan ikut arus globalisasi(Media Umat,Edisi 126).

Ketiga, Pemilu demokratis sukses membongkar elite politik yang tunduk kepada negara-negara imperialis Barat dengan berupaya mencari restu dari mereka.Belum berkuasa, capres
Jokowi sudah sowan meminta restu pihak asing dalam pertemuan dengan para dubes asing termasuk Dubes Amerika. Penting dicatat, pertemuan ini dilakukan di rumah pengusaha Jacob Soetoyo yang juga pernah tercatat dalam barisan dewan pengawas Center of Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2005.

CSIS adalah lembaga thinkthank penting era Orde Baru. CSIS selama Orde Baru dikenal dengan pemikirannya yang sekular, liberal dan cenderung anti Islam.

Pertemuan ini menunjukkan capres yang bersangkutan sangat bergantung pada restu pihak asing, khususnya Amerika. Kalau sudah begini bagaimana kita bisa berharap ada kemandirian dan kedaulatan atas negeri ini ?. Dan, tak heran jika banyak cibiran masyarakat tentang adanya capres boneka.

Keempat, gebyar Pemilu dengan berbagai pencitraan partai dan elitnya sukses menghapuskan memori rakyat. Rakyat menjadi lupa siapa penjahat politik yang selama ini membuat mereka menderita. Lewat pencitraan media yang dikuasai pemilik modal mereka muncul seolah-olah pro rakyat, bisa membawa perubahan untuk rakyat.

Padahal PDIP dan Golkar sebagai dua partai besar yang berasas nasionalis-sekular sebagai pemenang Pemilu sarat dengan cacat politik. Golkar dengan kejayaannya di masa Orde Baru, dengan kebijakan represif dan liberal. PDIP dan elit-elit partai Gerindra juga terjerat berbagai masalah.

Saat jadi Presiden, Megawati mengeluarkan kebijakan outsourcing kaum buruh yang membawa derita buruh.Pemberian release & discharge (R & D) kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI),penjualan Indosat dengan harga murah ke SingTel, penjualan kapal tanker VLCC milik Pertamina dan kemudian pihak Pertamina harus menyewa dengan harga mahal serta penjualan aset yang dikelola BPPN ke pihak asing. Semuanya terjadi pada masa rezim Megawati.

Pada masa Megawati pula, Indonesia menjadi surga bagi konglomerat hitam. Mereka mendapatkan Release anda Discharge (R&D), yang arti harfiahnya adalah bebaskan dari bayar utang. Para pengemplang uang negara dalam kasus BLBI ini oleh Megawati diberi kemudahan dengan mengembalikan cicilan kerugian negara dengan potongan 16-36 persen.Mereka pun bebas dari tuntutan pidana. Ketentuan itu diatur dalam MSAA (Master Of Acquisition and Agreement) dan merupakan perjanjian penyelesaian utang di luar pengadilan (settlement out of count).

Kelima, Pemilu demokratis sukses memandulkan partai-partai yang menyebut Islam sebagai asas. Partai Islam yang seharusnya menyerukan ideologi Islam dengan tegas, menyerukan syariah Islam sebagai solusi dan kewajiban menerapkan syariah Islam dalam semua aspek kehidupan, nyaris tidak bersuara berdasarkan tuntutan Islam.

Mereka hanya membangun opini yang mendorong umat Islam untuk memilih.Dibangun opini seolah-olah kalau tidak ikut Pemilu, orang kafir akan berkuasa, kelompok sesat akan duduk di parlemen dan lain.

Keenam, Pemilu demokratis menunjukkan kesenjangan antara harapan umat Islam dan perilaku partai-partai Islam. Umat Islam termasuk ormas-ormas Islam ingin partai-partai Islam bersatu.Mengajukan capres dan cawapres sendiri. Namun, partai-partai umat Islam sendiri lebih memilih jalan pragmatis, mencari koalisi yang memungkinkan untuk ikut berkuasa, tanpa melihat lagi apakah asasnya Islam atau tidak.

Tak heran, kalau dalam perjalanan pemerintahan, aspirasi umat Islam sering dilupakan. Padahal kaum Muslim ini merupakan penduduk mayoritas di negeri ini. Sebagai contoh,saat pengesahan RUU Anti Pornografi di parlemen begitu alotnya, karena dari fraksi nasionalis kurang setuju. Kalaupun akhirnya disahkan, RUU itu menjadi Undang-Undang Pornografi, bukan UU Anti Pornografi. Selanjutnya, Ahmadiyah yang benar telah keluar dari aqidah Islam, oleh rezim pemerintah masih ‘dipelihara’, padahal tokoh-tokoh ormas Islam menghendaki untuk dibubarkan.

Dan, yang tak kalah menyakitkan adalah sikap pemerintah yang seolah-olah banyak umat Islam yang teroris, yang pada gilirannya tokoh-tokoh Muslim yang militan banyak mendapat stigma negatif dan bahkan dituduh sebagai teroris. Tidak sedikit diantara mereka ditembak mati sebelum melalui proses peradilan. Padahal mereka baru terduga teroris, belum tersangka, belum terdakwa apalagi terpidana, tapi mereka dimusnahkan begitu saja. Bahkan  ada diantara mereka yang masih di masjid baru menjalankan shalat berjamaah. Sementara jika ada tindak kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh oknum non Islam, pemerintah menganggapnya sebagai kriminal biasa, bukan teroris. Padahal korbannya adalah TNI seperti yang terjadi di Papua beberapa waktu yang lalu.

Semoga bermanfaat. Nasrun Minallah Wafathun Qarieb.   
*Pemerhati Sosial Keagamaan.
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-sukseskah-pileg-2014_1.html

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2