H. Sjofjan Hasan, S.H., M.H. |
Oleh: H. Sjofjan Hasan, S.H., M.H.*
Kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia saat ini sedang hingar bingar untuk melaksanakan salah satu system Pemerintahan Demokrasi, yaitu Pemilihan Umum untuk memilih para pemimpin yang akan mengelola kenegaraan selama lima tahun kedepannya. Ada gejala yang lagi hangat, yaitu musim tebar pesona atau merekayasa kesan oleh orang orang yang ingin dipilih menjadi pemimpin baik di eksekutif maupun di legislatif.
Dengan segala cara para caleg mengkampanye diri, dalam penampilan merekayasa kesan, baik secara verbal maupun non verbal. Rekayasa secara verbal,mengatur pembicaraan dan perilaku yang dapat di dengar dan dilihat, berkata kata, berpidato, dan perilaku yang sangat dekat rakyat banyak. Rekayasa secara non verbal / visual, mulai dari cara berpakaian, yang di tampilkam pada Baliho dan di media cetak maupun di media elektronik, adakalanya dengan menggunakan symbol symbol agama, menampilkan sosok yang saleh dan dermawan. Bahkan tidak jarang memanfaatkan situasi ini dengan mendatangi pemukiman/blusukan kepada warga masyarakat miskin dan menebarkan janji janji dan uang secara langsung pada masyarakat banyak. Bermunculanpara aktor sebagai pemain drama, berperilaku sebagaimana dengan naskah yang disiapkan sesuai kesan yang di inginkan, bahwa kami lah yang pantas dipilih untuk menjadi pemimpin. Kami adalah suara rakyat, kami akan memperjuangkan nasib rakyat banyak,akan meningkatkan kesjahteraan rakyat,akan mengadakan sekolah gratis, pelayanan kesehatan gratis, dan lain lain Memang semua yang diteriakan adalah yang sangat menyenangkan, dan memberi harapan kepada orang banyak, terutama bagi masyaraakat lapisan menengah kebawah.
Dengan maraknya tebar pesona dan rekayasa kesan ini, bagaimana kita sebagai pemilih ? Memang sebahagian besar masyarakat kiat masih banyak yang buta huruf secara politik. Maka yang dipilih adalah yang paling populer dan menyenangkan, kedekatan dengan rakyat diukur dengan berapa banyak menebarkan uang pada saat kampanye. Seharusnya kita harus lebih cerdas, kalau kita salah pilih,jangan sampai terjebak dengan orang orang yang pintar merekayasa pencitraan. Kita juga harus melihat rekam jejak, pendidikan, kompetensi sebagai wakil rakyat, dan mempunyai perilaku kenegarawan, yaitu yang mendahulukan kepentingan rakyat banyak dari kepentingan pribadi atau golongan. Kita butuh kenyataan, bukan hanya sebatas pernyataan yang muluk muluk saja.Kita harus juga bisa melawan lupa, karena terjebak dengan pencitraan, hasilnya kita rasakan kondisi bangsa kita masa lalu tidak ada program program yang signifikan berprestasi dan maju, sehingga bangsa kita bisa sejajar dengan bangsa lain. Bagimana kekayaan alam yang dikuasai dan dikeruk oleh perusahaan perusahaan asing, tenaga kerja kita di negeri orang terhinakan.
Dan ketika sudah duduk di lembaga yang mewakili rakyat, memahami sistem pemerintahann Negara Republik Indonesia yang di tegaskan dalam UUD 1945 dinyatakan Negara Indonesia Berdasarkan Hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan Kekuasaan Belaka (Machstaat). Pemerintah berdasarkan atas system Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat absolutisme ( Kekuasaan yang tidak terbatas). Dalam system kenegaraan Republik Indonesia dikatakan Hukum sebagai Panglima, bukan Politik sebagai Panglima. Bagi para wakil rakyat nantinya, dengan memahami amanat Konstitusi Dasar RI, sikap kenegarawan harus ditumbuhkan, dengan kata lain lebih mementingkan rakyat, daripada kepentingan kelompok atau golongan. Pengabdian utama adalah kepada Rakyat bukan kepada Partai.Melaksanakan kewenangan Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan jangan sampai di intervensi dengan kepentingan kelompok atau Partai. Selain dari itu untuk bisa menerima perbedaan pendapat dengan bijak, mempunyai kemampuan untuk bisa menyelesaikan masalah dengan cara dialog dan musyawarah sebagaimana yang dicontohkan dan diamanatkan oleh para perintis kemerdekaan, dan nilai nilai yang ada dalam falsafah bangsa Pancasila, memgutamakan musyarah untuk mencapai mufakat.
Dengan maraknya tebar pesona dan rekayasa kesan ini, bagaimana kita sebagai pemilih ? Memang sebahagian besar masyarakat kiat masih banyak yang buta huruf secara politik. Maka yang dipilih adalah yang paling populer dan menyenangkan, kedekatan dengan rakyat diukur dengan berapa banyak menebarkan uang pada saat kampanye. Seharusnya kita harus lebih cerdas, kalau kita salah pilih,jangan sampai terjebak dengan orang orang yang pintar merekayasa pencitraan. Kita juga harus melihat rekam jejak, pendidikan, kompetensi sebagai wakil rakyat, dan mempunyai perilaku kenegarawan, yaitu yang mendahulukan kepentingan rakyat banyak dari kepentingan pribadi atau golongan. Kita butuh kenyataan, bukan hanya sebatas pernyataan yang muluk muluk saja.Kita harus juga bisa melawan lupa, karena terjebak dengan pencitraan, hasilnya kita rasakan kondisi bangsa kita masa lalu tidak ada program program yang signifikan berprestasi dan maju, sehingga bangsa kita bisa sejajar dengan bangsa lain. Bagimana kekayaan alam yang dikuasai dan dikeruk oleh perusahaan perusahaan asing, tenaga kerja kita di negeri orang terhinakan.
Dan ketika sudah duduk di lembaga yang mewakili rakyat, memahami sistem pemerintahann Negara Republik Indonesia yang di tegaskan dalam UUD 1945 dinyatakan Negara Indonesia Berdasarkan Hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan Kekuasaan Belaka (Machstaat). Pemerintah berdasarkan atas system Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat absolutisme ( Kekuasaan yang tidak terbatas). Dalam system kenegaraan Republik Indonesia dikatakan Hukum sebagai Panglima, bukan Politik sebagai Panglima. Bagi para wakil rakyat nantinya, dengan memahami amanat Konstitusi Dasar RI, sikap kenegarawan harus ditumbuhkan, dengan kata lain lebih mementingkan rakyat, daripada kepentingan kelompok atau golongan. Pengabdian utama adalah kepada Rakyat bukan kepada Partai.Melaksanakan kewenangan Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan jangan sampai di intervensi dengan kepentingan kelompok atau Partai. Selain dari itu untuk bisa menerima perbedaan pendapat dengan bijak, mempunyai kemampuan untuk bisa menyelesaikan masalah dengan cara dialog dan musyawarah sebagaimana yang dicontohkan dan diamanatkan oleh para perintis kemerdekaan, dan nilai nilai yang ada dalam falsafah bangsa Pancasila, memgutamakan musyarah untuk mencapai mufakat.
Memang Pemilu adalah salah satu prosedur pelaksanaan Demokrasi, dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk menentukan siapa yang akan dipercaya sebagai penyelenggara negara lima tahun kedepannya. Seyogyanya pelaksanaan Demokrasi tidak hanya di pandang sebagai suatu prosedur, suatu sistim dan tehnis belaka. Lebih dari itu kita harus memaknainya dengan nilai nilai moral dan nilai politik yang baik. Nilai nilai itu antara lain untuk bisa menerima kemenangan dan kekalahan dengan kesatria, jangan pula kalau tidak terpilih sikap baik, dermawan, berhenti pula. Mulai dari masa kampanye hendaknya juga dilaksanakan dengan kejujuran, mentaati aturan main yang telah disepakati yang telah di tuangkan dalam Undang Undang. Keinginan untuk mendapatkan kedudukan sebagai wakil rakyat yang terhormat harus di landasi niat yang lurus, niat untuk berbuat baik dengan mensedekah diri, kemampuan, tenaga dan pikiran untuk kepentingan orang banyak. Bersedekah itu tidak hanya dengan harta, bagi seorang muslim pengabdian untuk kepentingan oarang banyak, akan menjadi amal saleh, yang akan mendapat ganjaran dari Allah swt dunia akhirat.
Bagi yang terpilih nantinya,terutama seorang muslim apa yang diingatkan empat belas abad yang lalu oleh Rasulullah saw akan jadi pegangan dalam memegang amanah rakyat.Di riwayatkan dalam sebuah hadist berikut,“Ketika Ma’qil bin Yasar, di jenguk Ubaidullah bin Ziad saat sedang sakit menjelang kematiannya, ia berkata kepada Ubaidullah, “aku sampaikan kepadamu suatu hadist yang aku dengar dari Rasulullah saw, aku mendengar Nabi saw berssabda: Tiada dari seorang hamba yang dijadikan Allah sebagai pemimpin rakyat namun tidak mempedulikan perkara mereka, melainkan ia tidak akan mencium aroma surga” (HR. Bukhari dan Muslim).
*Ketua STIE Muhammadiyah Jambi/ Pengamat Hukum dan Politik, anggota Pelanta.
Bagi yang terpilih nantinya,terutama seorang muslim apa yang diingatkan empat belas abad yang lalu oleh Rasulullah saw akan jadi pegangan dalam memegang amanah rakyat.Di riwayatkan dalam sebuah hadist berikut,“Ketika Ma’qil bin Yasar, di jenguk Ubaidullah bin Ziad saat sedang sakit menjelang kematiannya, ia berkata kepada Ubaidullah, “aku sampaikan kepadamu suatu hadist yang aku dengar dari Rasulullah saw, aku mendengar Nabi saw berssabda: Tiada dari seorang hamba yang dijadikan Allah sebagai pemimpin rakyat namun tidak mempedulikan perkara mereka, melainkan ia tidak akan mencium aroma surga” (HR. Bukhari dan Muslim).
*Ketua STIE Muhammadiyah Jambi/ Pengamat Hukum dan Politik, anggota Pelanta.
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-merekayasa-kesan_1.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar