Bahren Nurdin, S.S., M.A. |
Oleh: Bahren Nurdin, S.S., M.A.*
Tahun politik! Tensi politik dapat dipastikan memanas. Adalah hal yang sangat alamiah bahwa dalam sebuah kompetisi akan ada kalah dan menang. Para calon legislator (Caleg) telah diberi kesempatan untuk mensosialisasikan diri dengan berbagai cara selama masa kampanye, baik yang resmi sebagaimana diatur oleh undang-undang maupun yang ‘nyolong’ start dengan cara-cara yang tidak diatur dan tidak mengikuti aturan.
Tidak beberapa lama lagi mereka tinggal menunggu hasil ‘kerja’ tersebut. Keputusan tentunya ada di tangan rakyat. Biarkan rakyat sendiri yang akan menentukan siapa orang-orang yang mereka anggap mampu menjadi wakil mereka menduduki kursi dewan dari daerah kabupaten dan provinsi (DPRD) hingga di pusat (DPRD-RI), begitu juga dengan DPD. Apa pun hasilnya nanti, itulah keputusan rakyat. Dan harus diterima.Kesiapan untuk menerima ‘keputusan’ rakyat itulah yang harus ditanamkan kepada para kontestan (caleg) yang sedang bertarung. Harus diakui bahwa para caleg telah mengorbankan banyak hal dari uang milyaran rupiah hingga waktu dan tenaga yang melelahkan. Impian untuk menjadi bagian ‘orang penting’ di negeri ini tentu sangat besar. Segala hak dan keistimewaan seperti gaji besar, bisa jalan-jalan ke luar negeri gratis, rumah dinas, mobil dinas, dan lain sebagainya sudah di depan mata. Impian-impian ini membuat para caleg all out. Bagi caleg yang ‘pas-pasan’ sampai-sampai harus mengorbankan harta benda untuk dijadikan modal nyaleg. Rumah melayang, kebun dan kendaraan tergadai, perhiasan isteri melayang. Uang sudah banyak habis, waktu telah banyak terbuang, tenaga telah terkuras.
Tensi ini membuat orang sangat mudah untuk diprovokasi jika ada hal-hal dapat merugikan diri mereka. Pada tataran inilah agaknya kita perlu saling mengingatkan terutama kepada para caleg juga masyarakat umum. Kita meyakini aka nada orang-orang yang tidak menginginkan pelaksanaan pemilu di Indonesia tenang-tenang saja. Ada kelompok-kelompok tertentu yang mencoba mengambil keuntungan dengan ‘kekacauan’ di negari ini. Lebih-lebih lagi, setelah pileg ini akan ada Pemilu Pemilihan President (pilpres). Suhu politik di tanah air juga akan semakin memanas. Maka dari itu, satu kata waspadalah!
Kasus penembakan salah seorang anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Muaro Jambi oleh orang tidak dikenal merupakan salah satu bentuk provokasi nyata yang bisa saja memancing kekisruhan di tengah masyarakat. Tujuannya sudah jelas, mereka menebar terror di tengah masyarakat sehingga membuat masyarakat ketakutan dan selalu dibawah ancaman. Setelah mereka ketakutan maka ancaman, intimidasi, dan lain sebagainya akan sangat mudah untuk dilancarkan.
Maka dari itu, masyarakat harus disadarkan. Para caleg dan politisi yang sedang bertarung harus memiliki jiwa besar untuk membaca situasi-situasi seperti ini. Para provokator harus dilawan dari berbagai sisi. Jangan beri ruang buat mereka untuk mempengaruhi apa lagi ‘bermain’ dengan leluasa. Masyarakat harus diingatkan bahwa jika terjadi keos dan kekisruhan, yang akan rugi adalah masyarakat sendiri. Perekonomian terganggu. Keamanan dan ketentraman terancam. Jadi sama sekali tidak ada untungnya untuk saling berseteru apa lagi harus rusuh.
Satu-satunya impian kita adalah pemilu aman di Provinsi Jambi ini. Pemilu adalah ‘pesta demokrasi’. Maka pesta itu harus dilalui dengan suka cita. Jangan ada air mata duka dan lara. Maka semua pihak harus waspada dan mewaspadai orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang sengaja menginginkan pemilu ini cidera. Untuk melawannya, paling tidak ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu Pertama, memiliki kebijaksanaan berpolitik. Artinya, orang yang bijaksana dia tau yang terbaik untuk bangsanya. Dia tahu siapa orang-orang yang pantas menjadi pemimpinnya di negari ini. Kedua, hindari panatisme. Masyarakat yang memiliki panatisme yang terlalu tinggi akan sangat mudah diprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan melawan hukum. Seseorang yang sangat panatik biasanya tidak rasional, bahkan bisa saja membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Ketiga, hindari politik transaksional; jual beli suara.
Ketiga hal ini mudah-mudahan akan menjadi benteng yang kuat untuk melawan para provokator yang sedang gentayangan. Yakinlah, jika kita semua dewasa dalam berpolitik (bijaksana), tidak terlalu panatik terhadap pilihan, dan tidak transaksional, kita akan ‘plong’ menerima hasil pemilu nantinya. Kesimpulannya, jangan mau diprovokasi oleh siapa pun dalam kondisi apa pun!
*Ketua Melayu Institute IAIN STS Jambi. Sekjen PELANTA.
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-awas-provokator.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar