Drs. H. Navarin Karim, M.Si. |
Oleh: Drs. H. Navarin Karim, M.Si*
Tanggal 20 Februari 2009 opini penulis tampil di Jambi Ekspres dengan judul Lelucon Caleg. Opini ditampilkan dengan motivasi agar keanehan itu tidak terjadi lagi, nyatanya keanehan-keanehan Pemilu di Republik ini masih saja terjadi bahkan cerita lelucon baru (jilid II) akan kita temukan lagi. Pada kesempatan ini penulis menyajikan temuan-temuan lelucon baru tersebut, sebagai berikut:
Pertama. Tetangga saya yang kebetulan memelihara anjing, bercerita kepada saya bahwa pada malam sebelum pencoblosan dia membuka lebar pagarnya dengan harapan seandainya ada serangan fajar, si penyerang dapat mudah masuk ke halaman rumahnya. Malamnya dia mendengar hampir empat sampai lima kali anjing menggonggong, tapi karena ngantuk ia tidak keluar, biasanya tidak demikian. Paginya dia tidak menemukan adanya serangan fajar dari caleg. Kemudian dia berfikir seandainya anjing tidak ditempatkan di dalam pagar rumah, si caleg tidak digonggong dan mungkin sudah mendapat uang Rp. 400.000 sampai Rp. 500.000 dari empat sampai lima caleg. Saya sampaikan kepada tetangga saya, lain kali pak, di depan pagar cantumkan saja nomor rekening dan nomor HP. Jadi uang dikirim ke nomor rekening kemudian si caleg tentu akan sms jangan lupa coblos saya.Kedua. Lain lagi dengan si pemilih dengan lugunya dia bercerita dengan penulis, ketika memilih caleg untuk DPR RI, DPD hingga DPRD Provinsi dari rumah sudah ada nama yang dia kantongi, namun untuk DPRD kota dia tidak punya nominasi. Ketika lembar kotak suara sudah dibuka dan akan mencoblos, terlihat olehnya nama caleg dari satu partai yang sama dengan dengan nama orang tuanya yang sudah almarhum, akhirnya dari pada golput dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim dicobloslah nama caleg yang sama dengan nama orang tuanya.
Ketiga. Penulis dapat sms dari rekan, katanya untuk mengeliminir golput bagaimana kalau disebarluaskan kepada pemilih pemula (wanita) dan para janda agar tidak memilih pasangan yang golput, karena ketika malam pertama ia tidak akan mencoblos tapi cuma melihat saja. Ini betul-betul gagasan gokil (istilah bahasa gaul).
Keempat. Seorang nenek-nenek yang sudah tua renta mungkin karena ada yang menyuruhnya untuk mencoblos dan bukan kesadarannya sendiri, ketika di bilik suara memanggil salah seorang petugas TPS dan dia bilang nak saya lupa nama yang dipesan kepada saya untuk di coblos. Jadi saya coblos yang mana? Kebetulan saya duduk dekat dengan bilik suara dan mendengar percakapan itu dan mungkin juga sadar bahwa saya adalah pengamat, maka petugas TPS dengan nada agak keras menjawab : terserah neneklah, tapi jangan tidak memilih nek, nanti nenek dibilang golput. Apo pulo golput tu nak katanya……
Kelima. Cerita tentang golput, ada kawan yang tidak setuju dengan istilah itu, seharusnya orang yang tidak memilih karena factor idiologis jangan disebut golput, karena kesannya golput itu orang bersih (putih), padahal dia tidak ikut menyukseskan/tidak berpartisipasi dalam pemilu. Rekan saya mengusulkan ganti namanya menjadi godil (golongan idiologis). Saya bilang nanti dikira “Gokil” lagi.
Keenam. Ketika hari pencoblosan kesannya seperti hari raya nyepi. Anehnya pedagang-pedagang informal juga tidak beraktivitas. Setelah penulis berhasil interogasi. Kenapa tidak beraktivitas hari ini? Padahal bisa giliran/gantian untuk jaga warung atau dagangannya. Jawabannya keuntungan untuk satu hari sudah tertutup dari pemberian beberapa caleg. Artinya money politic masih sulit diberantas dan perlu sosialisasi yang lebih meluas dan intensive dimasa yang akan datang, karena money politik sudah merupakan ancaman yang sangat berbahaya untuk mendapatkan legislator yang benar-benar bebas dari potensi korupsi.
Ketujuh. Di TPS nama-nama dan foto caleg untuk DPRD kota/kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI hingga DPD ditempelkan di papan pengumuman TPS. Salah seorang pemilih ketika sedang melihat nama dan foto caleg tersebut bicara dengan saya : yang tertera di papan pengumuman itu “caleg atau caluk” pak. Kebetulan dia baca opini penulis yang dimunculkan di media lebih kurang delapan bulan yang silam ini dengan judul “caleg dan caluk”. Saya jawab, diantara caluk ada juga pak yang benar-benar caleg, tinggal kita yang identifikasikan secara teliti dan cermat sebelum memilih. Saya analogikan seperti coklat yang belum dikemas dalam bentuk cetakan, dan diletakkan dekat dengan caluk juga belum dikemas dalam cetakan. Sepintas warna caluk hampir sama dengan coklat, tapi kalau kalau kita cermati dengan mencium baunya, maka caluk lebih menyengat ketimbang bau coklat. Tinggal kita mau pilih yang mana ketika itu coklat atau caluk. Istilah insan politik : tergantung kepentingan bukan!
*Ketua Pelanta (NIA 201307002) dan Dosen PNSD Kopertis Wilayah X dpk STISIP NH Jambi.
Keenam. Ketika hari pencoblosan kesannya seperti hari raya nyepi. Anehnya pedagang-pedagang informal juga tidak beraktivitas. Setelah penulis berhasil interogasi. Kenapa tidak beraktivitas hari ini? Padahal bisa giliran/gantian untuk jaga warung atau dagangannya. Jawabannya keuntungan untuk satu hari sudah tertutup dari pemberian beberapa caleg. Artinya money politic masih sulit diberantas dan perlu sosialisasi yang lebih meluas dan intensive dimasa yang akan datang, karena money politik sudah merupakan ancaman yang sangat berbahaya untuk mendapatkan legislator yang benar-benar bebas dari potensi korupsi.
Ketujuh. Di TPS nama-nama dan foto caleg untuk DPRD kota/kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI hingga DPD ditempelkan di papan pengumuman TPS. Salah seorang pemilih ketika sedang melihat nama dan foto caleg tersebut bicara dengan saya : yang tertera di papan pengumuman itu “caleg atau caluk” pak. Kebetulan dia baca opini penulis yang dimunculkan di media lebih kurang delapan bulan yang silam ini dengan judul “caleg dan caluk”. Saya jawab, diantara caluk ada juga pak yang benar-benar caleg, tinggal kita yang identifikasikan secara teliti dan cermat sebelum memilih. Saya analogikan seperti coklat yang belum dikemas dalam bentuk cetakan, dan diletakkan dekat dengan caluk juga belum dikemas dalam cetakan. Sepintas warna caluk hampir sama dengan coklat, tapi kalau kalau kita cermati dengan mencium baunya, maka caluk lebih menyengat ketimbang bau coklat. Tinggal kita mau pilih yang mana ketika itu coklat atau caluk. Istilah insan politik : tergantung kepentingan bukan!
*Ketua Pelanta (NIA 201307002) dan Dosen PNSD Kopertis Wilayah X dpk STISIP NH Jambi.
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-lelucon-caleg-jilid-ii_1.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar