Wenny Ira Reverawati, S.I.P., M.Hum. |
Oleh: Wenny Ira Reverawati, S.I.P., M.Hum.*
Baru-baru ini, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sekarang lekat dengan kepemimpinan Muhaimin Iskandar, memajang Rusdi Kirana boss Lion Air sebagai calon legislatifnya. Konon, Rusdi Kirana mengaku juga tertarik dengan PKB karena mengidolakan sosok Gusdur pendiri PKB. Hal ini kemudian memicu ketidaksukaan dari pihak keluarga Gusdur yang saat ini memilih untuk mengalihkan dukungannya pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pihak keluarga Gusdur mengeluarkan pernyataan bahwa Gusdur sendiri mewasiatkan, partai selain PKB boleh menggunakan gambar maupun nama dirinya, maka dari itu PKB apalagi Rusdi Kirana dilarang untuk membawa-bawa nama Gusdur dalam kiprah politiknya.
Banyak pihak kemudian juga bertanya, apa kepentingan Rusdi Kirana sendiri maupun PKB untuk melakukan join politik. PKB mengklaim bahwa bergabungnya Rusdi Kirana dengan partainya merupakan satu bentuk bahwa PKB juga peduli dengan pluralisme. Tetapi alih-alih demikian, media juga pengamat politik menyorotinya sebagai hal yang lain daripada isu mengangkat pluralisme. The Jakarta post misalnya, menyebut apa yang dilakukan PKB dengan menggandeng Rusdi Kirana adalah suatu bentuk Gimmick politik.
Gimmick merupakan kata yang tidak asing bagi dunia pemasaran maupun sulap. Dalam dunia sulap, gimmick adalah suatu trik tipuan untuk mengalihkan perhatian. Maka tidak jauh berbeda dalam dunia pemasaran, gimmick sebagai upaya memasarkan produk barang maupun jasa supaya dapat menarik konsumen dan mengelabui fakta yang sebenarnya tentang suatu produk. Konsumen teralihkan kesadaran dan perhatiannya pada wadah, bungkus suatu produk, atau bonus-bonus tambahan, potongan harga, dan lain-lain, dan tidak menyadari fungsi, maupun kualitas produk sebenarnya.
Sepertinya gimmick juga mulai berlaku dalam dunia politik, itu disebut gimmick politik. Kitapun sebenarnya tanpa sadar berhadapan dengan bentuk-bentuk gimmick politik, apalagi menjelang hajatan pemilu 2014 ini digelar. Kasus biskuit dari Kemenkes yang menampilkan pesan dan gambar seorang calon legislatif dari PKS, misalnya, adalah suatu gimmick politik yang lucu. Dimusim bencana alam banjir, itu merupakan gimmick politik yang telah diberikan oleh alam kepada calon legislatif. Mereka tinggal mengkreasikannya sedemikian rupa, melalui kunjungan, aksi keprihatinan, bantuan, dan lain-lain.
Ikon pluralis sebagai gimmick politik yang dicoba oleh PKB maupun partai Islam lainnya, baik dalam bentuk memajang calon legislatif, eksekutif, atau berusaha menarik simpatisan maupun kader yang bukan dari orang Islam, dapat dipandang sebagai upaya untuk mengalihkan urgensi keberadaan ikon tersebut dalam partai. Kebanyakan ikon pluralis tersebut disamping memang bukan beragama Islam, tetapi memiliki kekuatan finansial yang memadai, oleh karena kekuatan finansialnya tersebut, ikon ini menguasai sumber-sumber lainnya yang dapat disumbangkan bagi kepentingan partai yang pada akhirnya juga akan sehati dengan kepentingan sang ikon. Jarang ditemui bahwa ikon pluralis yang digandeng oleh partai Islam, dalam kategori untuk calon legislatif, maupun sekedar simpatisan, ataupun kader rekrutan, yang tidak memiliki kekuatan kapital ini. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa diera pasar bebas politik saat ini, kekuatan dan dukungan kapital ini sangat menentukan eksistensi partai kedalam maupun keluar, juga dihari-hari depannya.
Jika memang partai Islam ingin menampilkan wajah pluralis kepada masyarakat, sebenarnya, apakah perlu dengan jalan menampilkan ikon pluralis untuk dipajang oleh partainya?. Dalam pemahaman penulis, konsep pluralisme berbeda dengan hanya sekedar berdampingan pada sesuatu yang berbeda, atau sekedar rukun pada sesuatu yang berbeda. Kita di Indonesia, telah ribuan tahun hidup berdampingan pada sesuatu yang berbeda, apakah suku, agama, ras, budaya, dan lain-lain. Tetapi apakah hal tersebut menjamin bahwa satu sama lain dapat memahami perbedaan tersebut bukan sebagai sesuatu yang terpisah dan asing?, menjamin bahwa ketika perbedaan tersebut kadangkala menemukan suatu kondisi yang berhadapan wajah satu sama lain dapat didudukkan dalam kerangka dialog, konsensus? Perbedaan kita dengan banyak ragamnya di Indonesia memang tampak rukun, setidaknya itu suatu citra yang ingin ditampakkan. Tetapi apakah kerukunan tersebut didasarnya dipasang dalam fondasi pemahaman yang sepatutnya, sebagaimana Tuhan menciptakan perbedaan tersebut untuk suatu tempat saling mempelajari bahwa kita tidak bisa terlepas dari saling keterkaitan karena fitrah kita yang berbeda. Bayangkan kalau semua kita di dunia ini sama, tentunya apa hal yang dapat kita kaitkan dan kita pelajari dari kesamaan tersebut.
Penghargaan terhadap pluralisme yang didalamnya juga terkait dengan toleransi, nampaknya masih banyak hal yang perlu dipelajari dan dipahami oleh kita di Indonesia. Ada beberapa partai Islam peserta pemilu 2014, sebut saja itu selain PKB adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan-Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), selain PPP yang mengklaim bahwa tidak pernah memasukkan kader, calon yang diusung bukan dari orang Islam demi menjaga konsekuensi terhadap azas ke-Islamannya, partai Islam lainnya sudah sering dijumpai berusaha merangkul kader, simpatisan dan calon yang diusung bukan dari orang Islam. Seperti yang telah disebutkan dimuka, upaya merangkul kepada yang bukan Islam, mereka klaim sebagai suatu bentuk cerminan bahwa partai Islam ingin menampilkan sisi yang terbuka, toleransi, peduli terhadap isu-isu pluralisme. Langkah inipun ditiru oleh organisasi Islam, maupun gerakan massa Islam yang tersebar di seluruh Indonesia dan merupakan basis massa serta dukungan partai Islam. Pada faktanya, justru kita temui banyak contoh kasus sepanjang 2013 kemarin terutama, isu-isu penghargaan terhadap pluralisme khususnya toleransi terhadap perbedaan keyakinan, justru menunjukkan taraf yang mengkhawatirkan dan kritis pada masyarakat Indonesia, jika terutama sekali hal ini dibiarkan berlarut-larut kedepan. Sepengetahuan penulis, belum ada satu partai Islampun yang mampu memberikan solusi pemecahan masalah intoleransi perbedaan keyakinan yang semakin parah ini.
Ada banyak cara yang lebih mulia bagi partai Islam jika ingin menampilkan wajah pluralisnya, tanpa harus memajang ikon pluralis. Islam sendiri penulis yakini sebagai agama yang memahami fitrah perbedaan dan keragaman yang diberikan oleh Tuhan. Ketika umat islam telah menuju taraf berpolitik, bermuamalah demi kemashlahatan bersama, tentunya tidak diekslusifkan hanya bagi kepentingan umat Islam sendiri, ini dapat dicontoh dari teladan Rasulullah Muhammad S.A.W. Dalam hal ini partai Islam dapat saja bergerak menyebarkan semangat pluralisme tersebut kedalam bentuk yang nyata menuangkan program-program kerja yang terkait dengan fungsinya sebagai partai politik, mengusung aspirasi kebijakan, bergerak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, dimana manfaat dan pengaruhnya dapat dirasakan secara nyata menyentuh kepentingan semua golongan dan kaum demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan manusia yang hakiki.
*Wakil Ketua II, dan Dosen Tetap Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi, anggota PELANTA.
Sumber: http://jambiekspres.co.id/berita-12127-gimmick-politik-pada-partai-berlabel-islam.html
Dimuat di Opini Harian Pagi Jambi Independent, Jumat, 24 Januari 2014
Sumber: http://homosocialpoliticus.blogspot.com/2014/01/ikon-pluralis-partai-islam-perlukah.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar