Citra Darminto, S. I. P., M. I. P. |
Oleh: Citra Darminto, S. I. P., M. I. P.*
Memang dalam kehidupan ini yang paling sulit adalah jika kita berhutang budi dengan seseorang, karena hutang budi seperti kata pribahasa, “Hutang Emas Dapat Di Bayar, Namun Jika Hutang Budi Di Bawa Sampai Mati”. Pribahasa tersebut memang benar benar di gunakan oleh orang orang yang berkepentingan dengan para elit pemerintahan dalam memenuhi hasrat ketamakan pribadi. Sebagian dari mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah kesempatan, sementara sang Elit yang sudah terlanjur memiliki hutang budi juga tidak dapat menolak permintaan orang yang telah memberinya jasa. Maka apa yang terjadi?, pastinya akan banyak masalah yang timbul, dan pelayanan terhadap masyarakat akan menurun. Saya akan memberikan satu contoh kasus mengenai Bahayanya politik balas budi dalam sektor kepemrintahan, “ ada seorang pegawai rendahan di pemerintahan yang memiliki jasa kepada atasa nya, ia bermaksud untuk minta naik jabatan walaupun kapasitas kemampuan nya masih sangat jauh di ragukan.
Namun apa hendak di kata sang atasan tidak dapat menolak permintaan tersebut, dan singkat cerita sang pegawai rendahan tadi naik jabatan. Kemudian ada lagi, katakanlah seorang masyarakat biasa namun memiliki pamor di masyarakat dan ia mengikat kontrak politik dengan Politikus berpengaruh yang pada saat sebelum menjadi pejabat ia sebagai Tim sukses nya. Setelah sang politikus naik ke kursi panas ia pun meminta agar kerabat dekatnya dijadikan pegawai, tidak ada penolakan dari sang politikus, senang atau tidak senang, terpaksa ia harus memenuhi permntaan tersebut. walaupun kapasitas dan kapabilitas kerabat dekat tim suksesnya tersebut masih meragukan.
Dari fakta di atas coba saja anda bayangkan jika hal tersebut terus menrus terjadi, maka Birokrasi akan lamban dalam berjalan, karena banyak orang yang sesungguhnya tidak bisa bekerja dengan profesional memaksakan diri untuk bekerja. Sungguh sesuatu yang sangat merugikan bagi bangsa ini jikalau para pegawainya banyak yang tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Uang negara yang sesungguhnya uang rakyat hanya akan habis di berikan dengan orang orang yang tidak profesional. kalau sudah begitu negara ini tidak usah ada lagi Test Pegawai negeri, karena test pegawai merupakan suatu yang sia sia dan hanya membuang buang waktu. kenapa begitu ? ya jawaban nya ada pada Politik balas budi yang semua nya melalui lobi lobi kepada para pejabat dan elit politik yang berkepentingan.
Hati-Hati Politik Balas Budi yang Menjadikan Korupsi di Daerah
Kementrian Dalam Negeri mencatat 171 kepala daerah bermasalah dengan hukum. Mulai dari mengeluarkan sembarang izin, melancarkan proyek, dan korupsi dana APBD, dari kebanyakan kasus, kepala daerah terlibat korupsi memang tidak berniat menjadi abdi negara. "Mereka berkompetisi bukan karena pengabdian, tapi karena kekuasaan dan uang," Parahnya, partai penyokong malah membiarkan. Saat berkampanye, kebanyakan penyokong dana merupakan orang luar partai. Sebagai imbalan, saat menjadi kepala daerah, proyek serta perluasan usaha harus disetujui. Masyarakat belum siap berdemokrasi juga menjadi faktor penyulut kepala daerah terbelit rasuah, begitupun ketika berkampanye, masyarakat tak segan menerima uang dari tim sukses, alhasil ketika berkuasa, orientasi pertama ialah mengembalikan modal menjadi kepala daerah. "Ada sistem balas budi,"
Berita korupsi saat ini seperti tiada henti. Lebih-lebih penanganan kasus melibatkan kepala daerah jumlahnya sudah mencapai 34 bersifat putusan tetap (in kracht). Peran otonomi daerah saat ini seperti pisau bermata dua, bisa merusak dan membabat korupsi itu sendiri. Korupsi juga terjadi karena biaya tinggi untuk pemilihan kepala daerah. Dengan kewenangan begitu luas digunakan untuk mencari dana buat ikut pemilihan lagi. Kalau dikatakan akibat otonomi daerah, bisa iya, bisa tidak. Penyebab lainnya karena gagalnya penegakan hukum di daerah. Otonomi daerah saat ini sudah mencapai desentralisasi radikal. Penulis menyayangkan pengawasan daerah hanya berpusat dalam Kementerian Dalam Negeri dan tidak dialihkan kepada gubernur. Bahkan menurut penulis dengan otonomi daerah saat ini peran gubernur seperti pengangguran karena kebijakan daerah dipegang langsung oleh bupati dan wali kota. Mereka berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri. Ketika seseorang jadi gubernur dia sudah mengalami disfungsi. Jabatannya mentereng tapi kewenangannya lebih rendah dari bupati atau wali kota.
Meski begitu, banyak orang masih ngotot mengejar jabatan itu lantaran uangnya banyak namun kerjanya sedikit. Untuk mengurangi korupsi kepala daerah, pemerintah pusat membagi kewenangannya kepada gubernur buat mengawasi bupati dan wali kota di bawahnya. Misalnya sejak 2010 presiden langsung mengawasi semua peraturan daerah soal pajak dan retribusi, Sejak di tangan presiden, nyaris tidak ada perda dibatalkan, tidak terurus. Pembatalannya cukup di gubernur, jangan di Jakarta lagi. Problem otonomi daerah saat ini adalah korupsi. Sebab sistem ini memberikan kuasa begitu besar soal wewenang dan dana, di mana ada kekuasaan, di situ ada korupsi, Desentralisasi kita saat ini pincang. Uang diberikan banyak, kuasa luas, serta tidak diimbangi kontrol dan akuntabilitas. Kepala Daerah mudah melakukan korupsi karena sistem deteksi dan audit internal daerah itu sendiri dimatikan, contohnya Badan Pengawas Daerah tidak berfungsi karena diisi orang buangan dan yang menjelang pensiun. Karena itu, otonomi daerah dan korupsi saat ini seperti berjalan beriringan.
Walaupun saya tidak menulis seperti ini pun saya rasa hal ini merupakan rahasia umum, dari mulai pemerintahan pusat hingga ke pelosok daerah tetap saja Politik balas budi menjadi perioritas utama dalam menentukan suatu kebijakan. Saya hanya dapat mengajak kepada para pembaca untuk bersama mendoa`kan semoga mereka yang melakukan politik balas budi dapat di bukakan pintu kesadaran, bahwa sesungguhnya hal tersebut sangat merugikan masyarakat umum.
*Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan STISIP NH dan Anggota Pelanta (NIA.201307019 ).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar