Sony Gusti Anasta |
Oleh: Sony Gusti Anasta*
Semangat pembentukan peraturan perundang-undangan setelah masa reformasi erat kaitannya dengan perlindungan hak asasi manusia sebagai amanah rakyat yang mesti ditunaikan. Hal ini sejalan dengan pengertian negara hukum menurut Jimly Ashidiqie bahwa salah satu ciri dari negara hukum adalah menghormati hak-hak warga negaranya.
Undang-Undang Tentang Praktik Kedokteran, dan Undang-Undang Tentang Kesehatan termasuk dari banyaknya undang-undang yang menjamin hak-hak kostitusional warga negara. khususnya dalam bidang kesehatan.
Inti dari undang-undang tersebut adalah penekanan tentang penentuan nasib sendiri. Jika di Indonesia, ethanasia secara aktif atau pembunuhan secara medis dilarang secara mutlak, maka bila kita cermati aturan didalam undang-undang tentang kesehatan, Indonesia menghormati penuh berlakunya doktrin ethanasia secara pasif. Maksud dari ethanasia secara pasif adalah penghentian tindakan medis yang kemungkinan besar karena penghentian tersebut, dapat membuat pasien meninggal dunia.
Secara yuridis dapat dikatakan kalau setiap pasien bertanggung jawab secara penuh terhadp tindakan medis yang akan dilakukan kepadanya. Jika pun pasien tidak sadar maka, tanggung jawab penentuan tindakan medis terpulang kepada keluarga si pasien. Dalam keadaan darurat yang secara logis dokter dan pihak rumah sakit harus bergerak secara cepat, dan baik pasien serta keluarga tidak dapat dilakukan hubungan komunikasi, maka tanggung jawab terhadap pasien akan secara otomatis-yuridis beralih kepada dokter dan rumah sakit dalam prinsip untuk menghindari kematian dan kecacatan tetap.
Informed Consent
Secara yuridis normatif, setiap pasien harus medapatkan edukasi mengenai penyakit yang dialami, bagaimana tingkat keparahan, dan metode serta tindakan medis seperti apa yang harus dilakukan. hal itu adalah fungsi edukasi dari profesi dokter, dan untuk pengambilan keputusan tetap menjadi tanggung jawab penuh pasien dan keluarganya. Termasuk jika pasien ingin menghentikan pengobatan hingga berdampak buruk terhadap konsdisi kesehatannya, atau besar kemungknan jika diberhentikan tindakan medis tersebut akan menyebabkan pasien meninggal dunia. Hal tersebut menjadi otonomi pasien sendiri, dokter hanyalah sebagai penyedia jasa kesehatan yang seperti apa dan bagaimana tindakan medis yang akan dilakukan bergantung kepada persetujuan pasien.
Doktrin hukum kesehatan dan Undang-Undang Tentang Praktik Kedokteran dewasa ini adalah konsep perwujudan kesehatan yang menggantungkan semua tindakan medis kepada persetujuan pasien itu sendiri.
Malparkatik Sebagai Premium Remedium
Untuk jenis sanksi, Undang-Undang Kesehatan maupun Undang-Undang Tentang Praktik Kedokteran menganut prinsip sanksi administratif. Maksudnya adalah kemungkinan malpraktik (dalam arti luas) yang dilakukan dokter akan dianggap sebagai kesalahan administrasi (premium remidium). Dan proses pencarian keadilan pun akan berkutat pada lapangan keperdataan dan adminstrasi. Tidak sampai kepada hukuman pidana.
Hukum pidana dijatuhkan jika lapangan hukum perdata dan hukum administrasi gagal menyentuh kulit permasalahan. Hal ini dinamakan hukum pidana berlaku ultimum remidium.
Oleh karena itu, hampir tidak mungkin seorang dokter karena kelalaiannya dihukum secara nestapa berdasarkan Undang-Undang Tentang Kesehatan, atau Undang-Undang Tentang Praktik Kedokteran. Karena secara asas, undang-undang tersebut menganggap kesalahan dan kealpaan seorang dokter hingga mambuat pasien catat tetap atau meninggal sekalipun akan dianggap sebagai kesalahan administrasi.
Namun jika didasarkan kepada pertimbangan kemanusiaan, bahwa dokter adalah wakil negara dalam mewujudkan kesehatan terhadap warga negara, hingga dapat dikatakan dokter memegang kendali penuh terhadap nyawa seseorang, dan demi terwujudnya keadilan bagi warga negara, serta untuk mewujudkan stabilitas nasional, pemerintah dalam artian yang luas (yudikatif), dapat memutus dengan berdasarkan kepada KUHP, teruama delik tentang kelalaian yang membuat orang lain meninggal.
Sebagai organisasi kekuasaan yang sah didalam masyarakat, negara mesti memberikan perlindungan hukum kepada setiap warga negaranya. Termasuk perlindungan hukum dalam hubungan antara pasien dan dokter.
Dokter akan dianggap sebagai perwujudan negara secara praktis dalam memberikan hak kesehatan kepada masyarakat. seseorang yang dinyatakan sebagai dokter berikut dengan pengalaman kerja, serta sertifikat yang dimiliknya seyogyanya menjadi jaminan bahwa dokter tersebut dapat melakukan pekerjaan secara tepat dan profesional untuk memberikan hak konstitusional warga negara, walaupun tidak selalu dengan pasti dapat memberikan keselamatan kepada pasiennya.
Namun hemat saya, ada prosedur yang harus benar-benar diperhatikan oleh dokter. Yaitu selain mereka harus meminta persetujuan terhadap tindakan medis yang seperti apa dan bagaimana yang akan diberikan (informed consent). Mereka juga harus cepat tangkap melakukan suatu tindakan darurat untuk menghindari kecacatan dan kematian, tanpa harus adanya persetujuan keluarga pasien.
Secara kritis saya mengangap tugas mulia yang diemban dokter menjadi tugas kemanusiaan yang amat sangat dihormati. Namun hukum tetaplah hukum. Kedisiplinan dalam hal tertib adminstrasi harus tetap ditunaikan. Bak pelangi yang muncul setelah hujan badai, kejadian yang menimpa dokter beberapa minggu lalu seharusnya dijadikan impetus untuk menjunjung tinggi ke-profesionalisme-an profesi dokter, serta sebagai sarana perbaikan untuk merefleksikan bangsa terhadap regulasi dibidang sanksi hukum kesehatan yang masih menimbulkan kebingungan.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Unja
Tidak ada komentar :
Posting Komentar