Oleh: Abd. Mukti, S. Ag.*
Di tengah senyapnya perbincangan kedaulatan negeri ini,Rektor Universitas Gajah Mada ((UGM) Yogyakarta, Prof.Pratikno bersuara menyentak. Ia mengungkapkan, 70-80 persen aset negara Indonesia telah dikuasai asing. Anehnya, para nasionalis yang biasa berkoar soal nasionalisme, sepertinya buta terhadap ‘musibah’ ini.
"Kondisi bangsa kita saat ini sudah mengkhawatirkan sehingga tanpa dukungan dan kebijakan oleh semua elemen bangsa maka lambat laun seluruh aset akan jatuh ke tangan orang asing," katanya saat membawakan arahan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Keluarga Alumni UGM (KAGAMA) menyambut pra Munas XII 2014 di Kendari, Sabtu (9/11).
Ia mencontohkan, aset di bidang perbankan misalnya, bangsa asing telah menguasai lebih dari 50 persen.Begitu pula di sektor lain seperti migas dan batu bara antara 70-75 persen, telekomunikasi antara 70 persen dan lebih parah lagi adalah pertambambangan hasil emas dan tembaga yang dikuasi mencapai 80-85 persen.Freeport yang sudah ditambang lebih dari 40 tahun sudah menghasilkan ribuan ton emas dan tembaga juga dikuasai asing. Sebagian sumur-sumur migas dudah ditambang dan kini sudah tua. Hasilnya pun tinggal sisa-sisa.
"Kecuali sektor perkebunan dan pertanian dalam arti luas, asing baru menguasai 40 persen. Namun demikian kita harus waspada agar tidak semua aset negara itu harus dikuasi asing," katanya yang dikutip ANTARA News, Minggu (10/11).
Oleh karena itu, kata Rektor UGM itu, untuk mempertahankan aset-aset yang belum dikuasai asing tersebut, perlu kebijakan dan terobosan yang lebih hati-hati dalam melahirkan keputusan sehingga aset yang belum dikuasi itu tetap milik bangsa Indonesia.
Ia mengatakan, memang sebuah ironi apabila rakyat Indoneia masih belum merasakan wujud kemakmuran merata dan berkeadilan.Di usia kemerdekaan 68 tahun, meskipun kaya raya dengan sumber daya alam namun hingga kini masih banyak didaulat oleh perusahaan negara asing.
Pernyataan profesor ini kembali menggugah kembali perbincangan tentang kedaulatan negeri ini atas kekayaan yang diberikan oleh Allah SWT. Kali ini kalangan akademika yang berbicara. Selama ini mereka seolah mengikut saja apa kata penguasa tanpa mau berani mengeluarkan pernyataan kritis.
Meski pernyataan Rektor tersebut bukan hal baru, keberaniannya untuk mengungkap fakta berbeda dengan mainstream menjadi penuh makna. Bukankah selama ini banyak pakar universitas yang begitu memuja investasi asing ? Bahkan pilar neoliberalisme di Indonesia diduduki oleh kalangan akademika khususnya yang tergabung dalam Mafia Berkeley.
Berpangkal kepada Sistem
Lalu muncul pertanyaan, mengapa Indonesia yang sudah lama merdeka ini tetap dikuasai asing ? Ada yang menyalahkan sisi pemimpinnya. Mereka dianggap mengeluarkan kebijakan demi kepentingan pribadinya. Atau yang paling mudah, mereka dianggap tidak amanah.
Jarang yang mau berfikir lebih dalam sedikit. Ternyata, pemimpin itu tidak bisa apa-apa selama semua kebijakannya telah dipagari dengan rambu-rambu. Rambu-rambu itu merupakan produk legislasi oleh wakil-wakil rakyat.
Nah, manusia-manusia yang menjadi wakil rakyat sekaligus orang-orang partai politik inilah yang menentukan sistem yang berjalan. Apalagi, jika ditengok ke belakang, ternyata Indonesia itu tidaklah merdeka tapi melanjutkan pemerintahan Hindia Belanda. Ini bisa dibuktikan dengan berlakunya hukum Belanda atas Indonesia dalam bentuk KUHP dan juga pemindahan utang pemerintah Belanda selama menjajah Indonesia.
Dan sistem legislasi ini berlangsung dalam kendali lembaga internasional yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik atas negeri ini. Lembaga inilah sebenarnya kepanjangan tangan penjajah. Maka, produk-produk legislasi pasti pro kepada pasar, sebagai hal prinsip yang diinginkan Barat.
Maka bisa ditelusur lagi, ternyata sejak Indonesia merdeka hingga kini, arah perubahan Indonesia makin mendekati kepada liberalisasi secara sempurna. Semuanya berlangsung secara sistematis dan terencana. Sampai-sampai, bangsa Indonesia pun tak merasa bahwa mereka telah dikadali oleh rezim penguasa mereka sendiri. Mereka tak tahu kekayaan alam mereka digondol kabur oleh asing. Tiba-tiba mereka kaget begitu bumi telah tinggal tanahnya.
Mana Suara Para Nasionalis ?
Hilangnya harta rakyat bukannya tiba-tiba.Semua berlangsung terbuka dan berproses. Anehnya, para nasionalis yang sering berkoar soal nasionalisme seperti buta terhadap kejadian ini. Mereka tak bersuara. Ke mana mereka ?
Apakah mereka tak mengetahui bahwa telah terjadi penjajahan di bumi pertiwi ? Atau jangan-jangan mereka diam karena mereka adalah bagian dari penjarah itu ?.
Partai-partai politik yang hadir sejak Orde Baru, bahkan ada yang lahir sejak Orde Lama pun menganggap biasa sumber pendapatan negara yang begitu besar. Seolah mereka secara koor mengiyakan seluruh kebijakan pemerintah menyerahkan aset negara kepada penjajah.
Pertanyaannya, di mana fungsi partai politik untuk mengawasi pemerintah ? Kalau semua partai politik merapat ke penguasa demi kekuasaan dan uang, siapa yang akan pro kepada rakyat ? Banyak pertanyaan yang tak terjawab yang akhirnya menggiring pada kesimpulan bahwa telah terjadi kerusakan akut pada sistem yang berlaku di negeri ini.
Tidak cukup masalah ini diobati dengan diagnosis perorangan. Soalnya yang terkena penyakit bukan satu dua orang. Yang rusak saat ini adalah sistemnya, karena menjadikan sistem sekuler sebagai pilar bernegara. Indonesia sebagai negara tak memiliki jatidiri.
Walhasil, kondisi ini hanya bisa diatasi sekaligus yakni ganti sistem dan ganti rezim. Sistem yang baik, apalagi datang dari Yang Maha Baik, pasti akan mendatangkan kebaikan dan membuat orang di dalamanya terbawa baik. Sebaliknya orang baik di tengah sistem yang buruk, pasti dia akan terseret kepada keburukan.
Sekarang pilihannya tinggal dua. Bertahan dengan sistem yang ada, berarti mengikuti alur asing di negeri ini atau memutus hubungan dengan Barat dan membangun sistem sendiri ? Orang yang cerdas dan punya kemuliaan akan memilih yang kedua.
*Pemerhati Sosial Keagamaan. Berdomisili di Kuala Tungkal, Tanjabbar
Tidak ada komentar :
Posting Komentar