Nasuhaidi, S. Pd., S. Sos., M. Si. |
Oleh: Nasuhaidi, S.Pd., S. Sos., M. Si.*
Beberapa waktu yang lalu, Jambi TV mengadakan Sarasehan Politik, bertempat di Graha Jambi TV di Jl. Patimura Jambi. Pertemuan politik satu-satu yang dihelat media tersebut, menghadirkan 12 partai politik peserta Pemilu 2014. Pada kesempatan itu, pihak Jambi TV juga menghadirkan para pengamat politik lokal Jambi, termasuk penulis sendiri beserta ketua KPU Provinsi Jambi dan tidak ketinggalan ketua Baswaslu Provinsi Jambi.
Awalnya tema yang diusung relatif luas yakni Strategi Pemenangan Pemilu 2014, namun pada saat pembahasan tema tersebut mengerucut pada sebuah topic yaitu Pelaksanaan Kampanye Pemilu 2014, yang sudah diatur dalam PKPU No. 15 Tahun 2013. Masing-masing Parpol peserta Pemilu diberi kesempatan untuk menanggapi keberadaan PKPU No. 15 tahun 2013, sehingga muncul berbagai argument dengan berbagai gaya. Poin yang dapat ditarik dari pembicaraan yang dipandu Syaiful Roswandi (host Jambi TV) adalah keberadaan PKPU tentang kampanye dianggap penghalang bagi sebagian caleg untuk bersosialisasi guna mendekatkan diri dengan konstituen. Tentu, pandangan itu tidak sepenuhnya benar.
Yang jelas, keberadaan PKPU tersebut ditujukan untuk mewujudkan keadilan dan fairness dalam pelaksanaan kampanye. Pedoman pelaksaanan kampanye tersebut merupakan tantangan bagi caleg untuk mengaktualisasi diri di tengah masyarakat yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat menyerap aspirasi yang berkembang. Untuk itu, blusukan ke desa-desa, bertemu pemilih termarjinal atau pemilih disabilitas menjadi pilihan. Logikanya calon pemimpin dituntut agar mengetahui kondisi kehidupan real konstituennya dan sebaliknya masyarakat juga perlu tahu kepribdian, emosi dan cara bertutur dan lain-lainnya atas figure yang akan mewakili mereka di legislatif kelak.
Di sisi lain, fakta menunjukan bahwa aturan main pelaksaanaan kampanye realtif banyak yang dilanggar oleh para kontestan. Sampai saat ini, baleho para Caleg masih banyak yang terpampang di pinggir jalan, dipersimpangan dan lokus lainnya yang dianggap strategis, padahal sudah ditur bahwa Caleg tidak diperbolehkan memasang baleho, kecuali calon perseorangan DPD. Iklan di media massa sudah mulai marak di berbagai media baik media cetak maupun media elektronik, padahal jadual kampanye dalam bentuk iklan di media sudah dijadualkan bersama Kampanye dalam bentuk Rapat Umum selama 21 hari, mulai tanggal 16 Maret 2014 sampai dengan 5 April 2014.
Bagi sebagian caleg, melanggar aturan kampanye seolah-olah menjadi hal yang biasa. Dan, memang Jika ditelusuri lebih mendalam tidak ada sanksi terhadap pelanggaran. Di sini pendidikan politik menjadi semakin penting dalam masyrakat agar tidak terpengaruh untuk memilih caleg yang tidak taat aturan. Dengan demikian, Caleg yang melanggar tidak diberikan sanksi secara normative tapi ada sanksi social berupa penolakan masyarakat untuk memilih caleg yang “nakal”.
Ke depan, tentu, Caleg diharapkan mampu mengajak warga masyarkat memilihnya karena pertimbangan visi, misi dan program yang ditawarkan dari hasil pertemuan langsung di lapangan. Kita tidak berharap pilihan dijatuhkan kepada salah satu Caleg karena godaan ekspresi yang pampang di baleho, spanduk dan kartu nama atau iklan di medi massa. Cara-cara seperti itu tidak semuanya salah tpi sering mengecoh pemilih karena tidak mengenal kepribadian, wawasan (track record) dan emosional calon sebenarnya. Mestinya Caleg senantiasa memberanikan diri untuk berkampnye dengan bertemu langsung dengan masyarakat dalam berbagai bentuk sehingga para Caleg dapat menjadi problem solving bagi warga yang akan diwakilinya.
*Dosen Stisip NH Jambi, salah satu anggota Pelanta.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar