Oleh: Hanifah Hasnur, S. K. M.*
Sebagai penghasil pajak keempat terbesar, rokok masih diperdebatkan aturan peredarannya sampai saat ini. Ibarat pundak yang kekar, perdagangan rokok telah menjadi tempat bersandar wanita-wanita cantik yang mengeruk banyak keuntungan. Menarik saat mengupas permasalahan di sebalik ketidakmampuan pemerintah hingga saat ini untuk menandatangi aturan internasional tentang pengendalian masalah tembakau. Ada pihak-pihak yang diuntungkan dan menari-nari di atas bebasnya perdagangan rokok.
Faktanya pajak yang didapat pemerintah dari hasil penjualan rokok tidak cukup banyak untuk menutupi jumlah kerugian yang disebabkan oleh rokok. Jumlah pengeluaran makro akibat rokok seperti untuk penyembuhan Penyakit Terkait Rokok (PTR) membutuhkan biaya negara yang tidak sedikit, dan kerugian-kekurangan lain seperti kehilangan aset sumber daya manusia produktif yang tak terhitung jumlahnya.
Rokok dan Penyakit
Penulis sering mendengar celotehan rekan dan sanak famili bahwa rokok adalah teman setia baginya lebih setia daripada istri atau pacar. Sehingga, lazim kita melihat di warung kopi, banyak dari segala kelompok umur mulai dari anak sekolah, mahasiswa bahkan bapak-bapak merokok dengan leluasa, padahal di situ jelas ada sekelompok lainnya yang bukan perokok, atau memang kita tidak peduli sama sekali dengan hak orang lain.
Rokok yang dihisap umumnya memiliki filterisasi (penyaringan) sehingga zat-zat bahaya dalam rokok masih bisa tersaring sebelum masuk ke tubuh perokok, namun lain halnya dengan asap samping yang terlepas dari rokok tersebut, ia akan terhirup oleh ibu, anak, cucu atau siapa pun yang ada di sekelilingnya langsung masuk ke paru-paru tanpa penyaringan terlebih dahulu. Ini akan sangat berisiko bagi setiap orang-orang yang ada di sekitarnya. Bisa kita bayangkan, betapa berbahayanya bagi seorang ibu hamil yang suaminya merokok di dalam rumah setiap hari, bayinya terancam berbagai penyakit gangguan pernafasan, berisiko berat badan lahir rendah atau bahkan lahir prematur.
Di sisi lain, kelompok umur yang merokok di masa remaja umumnya akan ketagihan merokok hingga 20-30 tahun mendatang, bisa dibayangkan kelompok remaja ini akan tumbuh sebagai manusia sakit-sakitan sepanjang usia dewasanya, ironisnya, tidak banyak yang menyadari kondisi ini dikarenakan dampak yang terlihat itu tidak langsung bisa dirasakan dalam waktu relatif singkat. Sebut saja bahaya rokok terhadap risiko katarak pada mata. Dampak ini baru bisa dirasakan ketika umurnya beranjak 50 tahun ke atas.
Rokok dan Kemiskinan
Sepertinya proses pemikiran jangka panjang kita masih kurang terasah selama ini, kita hanya berpikir cetek. Anggapan bahwa merokok di masa muda merupakan salah satu cara untuk menikmati kehidupan sering membuat kita lupa memikirkan dan mempersiapkan masa tua yang mau tidak mau pasti akan kita hadapi. Bila saja rokok mengamanahkan beberapa penyakit kronis seperti radang paru-paru, diabetes atau penyakit jantung koroner untuk dinikmati di masa tua, hendaknya perokok juga memikirkan jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan masa tuanya bila memang ia tidak cukup egois untuk membebani anak-anak dan cucunya nanti.
Di samping itu, secara langsung maupun tidak langsung rokok sangat mempengaruhi perekonomian seseorang. Sebut saja orang yang membeli rokok satu bungkus setiap harinya bisa menghabiskan Rp.13.000-Rp.14.000,- per hari atau bahkan pecandu berat bisa menghabiskan rokok lebih dari 2 bungkus setiap harinya. Bila ditotalkankan biaya yang dikeluarkan untuk rokok berkisar antara Rp.390.000-Rp.1.000.000,- per bulan, padahal uang ini bisa saja disimpan untuk keperluan melanjutkan pendidikan anak-anaknya. Rasanya terlalu egois seorang bapak bila memutuskan harapan anaknya untuk sekolah di bangku perkuliahan dikarenakan ia tidak punya biaya padahal ia memiliki cukup uang untuk merokok.
Dalam kehidupan sehari-hari kita, hampir tidak ada dalam satu kelompok itu yang tidak merokok, baik itu dalam sekelompok remaja, orang dewasa, orang tua atau bahkan yang masih tergolong anak-anak. Dan bila ditanyai hampir semuanya tahu betul bahwa rokok tidak baik untuk kesehatannya, bahkan kadang bisa menyebutkan dengan gamblang beberapa penyakit yang dapat disebabkan oleh rokok padahal dia sendiri adalah perokok berat.
Mendapati kenyataan ini, penulis berharap setidaknya walaupun para perokok belum bisa menerima segala alasan di atas sebagai alasan yang cukup realistis untuk diterima oleh akal sehatnya setidaknya perokok bisa tergerak hati nuraninya sedikit saja untuk tidak merokok di tempat-tempat umum, karena sebenarnya ini membahayakan kesehatan orang lain. Semoga!
*Kandidat Master Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar