Oleh: Bally Shada, S, Sos, I., S. H., M. H.*
Tahun 2014 sudah di depan mata. Pemilu legislatif yaitu DPR, DPD, DPRD dan Presiden tahun 2014 merupakan agenda penting dalam proses demokratisasi di Indonesia. Kita akan menghadapi masa-masa penuh gejolak politik, yang akan membuat semua perhatian dan energi yang akan “terkuras” ke dalamnya. Mereka yang akan bertarung dalam persilatan politik menuju kekuasaan politik di negeri ini akan segera memanfaatkan momen-momen tersebut untuk menyosialisasikan dirinya secara maksimal guna meraih dukungan dan memenangkan pengaruh di hati rakyat (winthe heart of people) dengan banyak turun ke lapangan. Maka, di berbagai media cetak dan elektronik, kita akan menyaksikan perlombaan pencitraan dan pengiklanan prestasi dari para kandidat.
Rakyat harus kritis mengenali para calon pemimpin mereka, agar mereka tidak terjebak oleh tipu daya penampilan, pencitraan, dan janji-janji kosong yang kerap diumbar di masa kampanye. Rakyat harus menyadari bahwa pemilihan umum merupakan sarana konsitusional yang tak boleh dianggap “remeh” guna mendapatkan pemimpin yang terbaik. Mereka harus jeli dalam memilih para pemimpin yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, menegakkan hukum, bersih dari korupsi, dan menjaga keamanan negara, dan persatuan bangsa.
Dalam konteks hajatan demokrasi tersebut, jangan sampai pertarungan politik menggerogoti semangat persatuan dan kesatuan bangsa dan wawasan kebangsaan kita. Hal ini penting dipertegas karena setelah Reformasi tahun 1998, masih banyak menyisakan persoalan serius yang mengancam kebangsaan kita. Seperti kita semua tahu, paham kebangsaan kita sedang digerogoti oleh paham-paham lain yang secara agresif masuk ke Indonesia dan menyebar dalam banyak lini kehidupan. Hal itu tampak dari fenomena intoleransi dan merasa benar sendiri sekelompok orang di masyarakat, adanya tindakan persekusi terhadap kelompok minoritas, minimnya perlindungan dan santunan terhadap rakyat miskin, maraknya kontrak asing yang banyak merugikan bangsa, perilaku korupsi di kalangan pejabat dan penegak hukum yang tidak peduli terhadap kepentingan bangsa, tindakan separatisme di beberapa daerah, radikalisme yang merambah dunia pendidikan, dan sebagainya. Jika pemerintah tidak mampu untuk menanggulangi hal-hal tersebut, negara Indonesia akan disebut oleh dunia luar sebagai negara yang gagal dalam melindungi kepentingan rakyatnya, menjaga harkat dan martabatnya. Akibat lebih jauhnya, menipisnya wawasan kebangsaan akan membuat persatuan Indonesia rentan pecah. Padahal negara Indonesia sejak awal kemerdekaan didirikan dengan tujuan untuk menjaga persatuan suku bangsa di Nusantara untuk melawan penjajahan.
Strategi-strategi penguatan wawasan kebangsaan di era demokrasi ini perlu segera dilakukan, baik dari perspektif pemerintah, perspektif partai politik, maupun perspektif penyelenggara pemilu. Ketiga pihak tersebut memiliki peran sangat penting, karena merekalah yang akan banyak bertanggung jawab atas baik buruknya para pemimpin yang terpilih di masa depan.
Perspektif Pemerintah di Era Demokrasi
Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, bukan negara agama atau yang berpaham lain. Indonesia juga menegaskan akan menjunjung tinggi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi perekat dan penguat rakyat di seluruh Nusantara. Dan dengan tegas kita menjadikan UUD 1945 yang menjadi Konstitusi bangsa ini telah disepakati sebagai dasar dan pertimbangan semua produk kenegaraan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, ke-4 Pilar Kehidupan Bangsa dan Bernegara itu harus menjadi pedoman politik (political guidance), pedoman nilai, dan pedoman sistem penyelenggaran pemerintahan bangsa kita.
Sistem demokrasi yang telah kita canangkan sebagai sistem yang dipilih untuk penyelanggaran pemerintahan harus kita tegakkan dengan sungguh-sungguh. Meskipun demokrasi bukanlah sistem yang sempurna dan masih banyak kekurangan di dalamnya, namun dengan demokrasi semua rakyat mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mengeluarkan aspirasi dan memperjuangkan kepentingannya. Maka, pemerintah harus menggunakan dan memanfaatkan sebaik mungkin era demokrasi yang sedang berjalan dan sudah terkonsolidasi ini untuk memperkuatan wawasan kebangsaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penguatan wawasan kebangsaan di tengah gonjang-ganjing politik menuju pemilu 2014 perlu dilakukan, oleh karena itu hendaknya Pemerintah melakukan strategi penguatan tersebut, yaitu:
Pertama, pemerintah harus aktif mengkampanyekan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Udang Dasar 1945 sebagai panduan dalam persaingan politik. Semua pihak-pihak yang menginginkan berdirinya negara agama ataupun negara dalam bentuk lainnya sebagai isu kampanye, misalnya, harus disadarkan bahwa Indonesia terdiri atas berbagai macam kelompok agama, suku, bahasa, kelompok, aliran, dan berbagai macam kebudayaan. Pancasila telah dipikirkan oleh para negarawan pendiri bangsa kita sebagai solusi yang mempertemukan berbagai macam kepentingan. Ia adalah titik temu bersama dari berbagai macam kelommpok, guna mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indoensia.
Namun penting diketahui, bahwa sosialisasi dan penyadaran akan nilai-nilai luhur Pancasila harus dilakukan dengan cara-cara persuasif, rasional, dan konkret, sesuai dengan kebutuhan di masyarakat. Ia tidak boleh dilakukan melalui cara-cara indoktrinasi yang tidak akan menghasilkan pengalaman sejati, kecuali sekedar karena ketakutan terhadap ancaman. Cara-cara dimaksud bisa ditempuh melalui diskusi yang membumi di dunia akademis, cerita-cerita rakyat yang mudah diterima, dan yang lebih penting lagi, melalui kebijakan pemerintah dan perilaku elite yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancila dan Undang-udang Dasar 1945. Hal terakhir ini perlu ditekankan karena rakyat Indonesia sampai sekarang masih dikenal sebagai rakyat yang banyak mengikuti contoh dari para pemimpin.
Kedua, pemerintah harus memerankan dirinya sebagai pelayan yang adil bagi masyarakat dan penerus kepentingan rakyat. Ia tidak boleh menempatkan dirinya sebagai penguasa yang mencoba mengambil keuntungan dari situasi yang terjadi di dalam masyarakat akibat persoalan politik menjelang pemilu 2014. Pemerintah harus sadar bahwa sebuah pemerintahan ada karena dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu, segala kebijakan yang dikeluarkan adalah demi kepentingan rakyat secara umum, dan bukan kepentingan sekelompok orang, keluarga, atau bahkan kepentingan asing yang ingin mempengaruhi hasil pemilu.
Ketiga,pemerintah harus tegas dalam menegakkan Supremasi Hukum. Di tahun politik seperti sekarang ini, sangat mungkin pihak-pihak tertentu di dalam pemerintahan menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi jalannya pengadilan sehingga merugikan pihak-pihak yang dianggap sebagai lawan politik. Manipulasi hukum seperti ini akan menimbulkan balas dendam hukum. Akibatnya bisa diduga, penegakkan hukum seolah-olah dilakukan saat pemerintah tersudut oleh sebuah kasus hukum, baik korupsi maupun kejahatan politik yang lain, dan bukan demi keadilan masyarakat. Padahal, sebagaimana dikatakan Martin Luther King, Jr., “Hukum dan ketertiban itu ada untuk mendirikan keadilan, jika hal itu gagal dilakukan, maka hukum tersebut akan menjadi penghalang bagi kemajuan masyarakat.” Penyalahgunaan hukum oleh pemerintah akan menghasilkan proses penyelenggaraan negara yang tidak beres.
Perspektif Partai Politik
Berdasarkan hasil survei di bulan Juni 2013 yang dilakukan oleh lembaga bernama Indikator Politik Indonesia, partai politik memiliki citra buruk karena para elite politik dianggap lebih memikirkan dirinya sendiri ketimbang rakyat secara keseluruhan. Mereka tidak menepati janji yang diucapkan saat kampanye, dan baru ingat kepada rakyat saat akan dilakukan pemilu. Sehingga, partai politik mungkin sedang tidak memiliki reputasi yang baik. Hal ini dikarenakan perilaku beberapa elite partai politik yang korup, baik di kalangan partai yang pemerintah maupun yang di luar pemerintah. Citra buruk partai politik ini mungkin saja disebabkan oleh kegagalan partai dalam mendidik anggotanya maupun proses perekrutan anggota yang kurang selektif.
Buruknya reputasi partai politik ini mungkin juga disebabkan oleh mekanisme pengelolalan keuangan partai. Sebagian besar keuangan partai berasal dari tokoh-tokoh utama dalam partai yang mampu memberikan dana operasional partai dalam jumlah besar. Akibatnya, mereka yang memiliki dana besar akan menempati jabatan yang tinggi di dalam partai. Partai ibarat sebuah perusahaan di mana siapa yang memiliki saham besar akan memiliki suara besar. Padahal, sejatinya keuangan partai haruslah didasarkan kepada dana dari anggota dengan ketentuan yang tidak memungkinkan adanya monopoli. Dengan kata lain, setiap anggota harus independen dan merasa memiliki kewajiban yang sama.
Keberadaan partai politik dalam sebuah demokrasi tidak dapat dipungkiri. Apapun situasinya, partai politik tidak mungkin dihapuskan, karena partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi. Partai politik merupakan salah satu sarana penyaluran aspirasi rakyat. Seorang pengamat politik terkenal, E.E. Schattschneider, menyatakan bahwa “dalam demokrasi modern, tak mungkin rasanya tanpa kehadiran partai politik. Pemerintahan yang representatif tidak mungkin bisa dijalankan tanpa kehadiran partai politik.” Oleh karena itu, negarawan dan tokoh pemikir Perancis, Alexi de Tocqueville, menyatakan bahwa partai politik adalah sebuah kejahatan yang inheren dalam pemerintahan yang merdeka. Sekalipun partai itu banyak berbuat jahat, ia tak bisa dinafikan. Oleh karena demikian pentingnya keberadaan partai bagi tegaknya demokrasi, maka partai harus segera melakukan perbaikan. Apa-apa yang menjadi keluhan masyarakat harus segera mendapatkan respon dan solusi yang tepat.
Dalam konteks memperkuat wawasan kebangsaan di tengah tahun politik, partai politik harus berpikir untuk mewakili dan memperjuangkan semua kepentingan masyarakat. Ia tidak boleh berdiri atas pertimbangan golongan, agama, suku ataupun ras. Ia juga harus menangulangi paham-paham yang mencoba merongrong kewibawaan negara Pancasila.
Untuk itulah, partai-partai politik di Indonesia harus menjadi penjaga gawang dan pejuang utama nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Partai politik yang ada di Indonesia tidak boleh menjadi agen dari kepentingan maupun organisasi-organisasi internasional, yang visi dan misinya belum tentu cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Mereka harus sadar bahwa segala paham dari luar negeri itu pasti lahir dari konteks sosial dan politik tertentu.
Menerima dan mengamalkan suatu paham tanpa mengkontekstualisaskan dengan kondisi di Indonesia adalah sama dengan berpikir a-historis. Namun di sisi lain, penting juga bagi partai politik dan para pemimpinnya untuk menggali Pancasila dan Undang-undang 1945, sebab bagaimanapun nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang 1945 harus disesuaikan dengan dinamika sosial di Indonesia. Semua pihak harus sadar, bahwa bangsa Indonesia bukanlah masyarakat yang statis.
Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, partai partai politik yang bertarung dalam pemilu tidak akan mengobarkan isu-isu yang bisa memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka tidak mudah tergoda menjual isu-isu agitatif yang hanya mementingkan kepentingan sendiri.
Perspektif Penyelenggara Pemilu
Kualitas Pemilu 2014 yang akan datang turut ditentukan oleh penyelenggara pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik ditingkat pusat hingga daerah merupakan faktor penentu penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Sebagaimana diketahui, demokrasi elektoral adalah pondasi bagi pembangunan demokrasi di Indonesia. Di sinilah, kualitas demokrasi elektoral di Indonesia di tentukan. Jika penyelenggaraan pemilu berlangsung tertib, aman, jujur, dan tertib, maka hasil pemilihan berupa pembagian kekuasaan partai politik, anggota legislatif dan juga presiden dan wakil presiden terpilih akan memiliki kredibilitas publik yang kuat. Dari sini, kepercayaan publik terhadap produk demokrasi yang cukup kuat akan memperlancar proses-proses politik dan demokrasi di masa lima tahun yang akan datang.
Untuk itu, KPU, KPUD dan PPK dituntut untuk bekerja secara profesional, independen, dan bebas dari kepentingan individu dan golongan. Dan yang terpenting dari itu, penyelenggara pemilu harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segala-galanya. Penyelenggara Pemilu harus menyadari bahwa tugasnya adalah menjaga dan menjamin tegaknya prinsip musyawarah mufakat (demokrasi) yang termaktub dalam Sila Keempat Pancasila. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan diambil tidak didikte oleh kepentingan mayotitas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas politik dan pengusaha (monokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmat/ kebijaksanaan yang memuliakan daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu. Pengejawantahan prinsip itu adalah pemilu yang luber dan jurdil, di mana tanggung jawab utamanya ada di pihak penyelenggara pemilu, di mana pemilu merupakan mekanisme yang paling representatif dan rasional untuk menghasilkan good and clean governance.
Secara lebih teknis, penyelenggara pemilu juga harus memiliki kemampuan untuk menjaga pemilu dari kecurangan-kecurangan politik maupun dari kendala teknis. Penyelenggara pemilu dihadapkan pada dua problem; yang pertama, problem teknis-administratif. Pada Pemilu sebelumnya, masih terdapat persoalan-persoalan teknis-administratif yang dapat mengganggu kelancaran pemilihan umum, seperti penetapan DPS dan DPT, DCS dan DCT, kesalahan cetak kartu suara, distribusi kertas dan kotak suara yang terlambat dan salah kirim, serta sistem tabulasi suara dan komputerisasi yang buruk. Kesalahan-kesalahan teknis administratif ini memiliki tingkat kerawanan yang tinggi, sebab dapat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk memanipulasi hasil pemilihan. Selain itu, kesalahan ini juga dapat mengurangi tingkat kepercayaan publik dan partai politik terhadap penyelenggara sekaligus penyelenggaraan pemilu.
Kedua, menyangkut kapasitas, kualitas, dan integritas penyelenggara pemilu. Santer terdengar kabar bahwa terjadi banyak praktek jual beli suara, kecurangan penghitungan suara, pemindahan atau penghilangan suara dari calon atau partai satu ke yang lainnya dalam perhelatan pemilu. Praktek ini tentu saja disinyalir melibatkan oknum penyelenggara pemilu dengan pihak-pihak lain yang tidak memahami makna dasar dari demokrasi elektoral ini. Tak pelak, sengketa hasil pemilu muncul akibat kualitas dan integritas penyelenggara pemilu yang medioker ini. Tentu saja, hal tersebut tidak akan terjadi jika penyelenggara pemilu bekerja dan konsisten menaati aturan formal yang berlaku. Di beberapa daerah, dalam kasus pemilu legislatif dan ekesekutif, kantor-kantor KPUD kerap menjadi sasaran kekecewaan massa, bahkan perusakan aset kantor.
Terkait dengan hal ini, maka wajib hukumnya bagi penyelenggara pemilu untuk menjaga independensinya, baik partai politik ataupun calon anggota legislatif. Dengan kata lain, penyelenggara pemilu harus berada di posisi tengah dan bebas dari kepentingan politik dan bisnis apapun. Penyelenggara pemilu juga diharapkan menjaga fatsoen politik, dengan tidak mengundurkan diri di masa tugasnya untuk bergabung dengan partai politik tertentu. Pada masa sebelumnya, kita menyaksikan salah seorang komisioner berhenti di masa tugasnya dan bergabung menjadi politisi partai politik. Tentu saja, hal ini seharusnya dapat dihindari, mengingat bergabungnya dia ke partai politik peserta pemilu menimbulkan syak swangka atas independensi dan kredibilitas anggota penyelenggara pemilu. Jika misalnya, anggota penyelenggara pemilu bergabung ke partai pemenang pemilu pasca Pemilu, maka publik bisa saja menduga telah terjadi “permainan bawah meja” antara dirinya dengan partai politik tersebut, meskipun sebenarnya anggota tersebut memiliki integritas, kredibilitas dan independensi, dan profesionalitas semasa menjabat sebagai penyelenggara pemilu.
Penyelenggara Pemilu juga harus menjaga independensinya dari kepentingan bisnis pengusaha. Pengadaan barang dan jasa Pemilu yeng bernilai miliaran dolar harus berjalan sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku. Tugas komisioner adalah memastikan tender pengadaan itu berjalan sesuai aturan. Maka tidak pantas jika seorang penyelenggara pemilu menjalin hubungan dengan pelaku bisnis, karena akan mempengaruhi posisi dan sikapnya dalam pengadaan tender dan kontrak bisnis. Kita berharap, penyelenggara pemilu dapat menjadi contoh dari sebuah praktik good and clean governance bagi institusi lainnya. Pengalaman dipenjarakannya penyelenggara pemilu akibat tersangkut praktek kolusi, korupsi dan nepotisme pada saat menjabat sebagai komisioner tidak boleh terulang kembali.
Selain penyelenggara pemilu KPU, KPUD dan PPK, kualitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia juga ditentukan oleh lembaga pengawas pemilu, yakni Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu dan Bawasluda berperan dalam mengawasi, dan mencatat serta melaporkan tindakan kecurangan dan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh partai politik atau perorangan caleg. Bahkan, Bawaslu juga dapat mengawasi kinerja penyelenggara pemilu, sehingga penyelenggaraan pemilu jauh dari kongkalingkong, kecurangan dan manipulasi politik yang merugikan. Lembaga ini, sebagaimana KPU, dituntut memiliki independensi dan ketegasan dalam menjamin aturan pemilu yang telah disepakati dapat tegak.
Untuk mencegah tindakan tidak adil, lembaga pengawas pemilu dituntut untuk memikirkan kepentingan bangsa dan negara jauh lebih penting dan besar dibandingkan kepentingan jangka pendek, politik, dan bisnis tertentu misalnya. Pengawasan atas berbagai pelanggaran pada pemilu tidak hanya dicatat saja, tetapi ditindaklanjuti sebagai alat bukti. Lembaga ini diharapkan memiliki keberanian dan ketegasan untuk menegakkan aturan main pemilu, sehingga siapapun atau partai apapun yang melanggar harus diproses sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku.
Akhirnya: Penguatan Wawasan Kebangsaan (Nasionalisme) menjadi pilar sangat penting dalam demoktrasi politik di Indonesia. Ia tidak saja pengikat, tetapi juga penyatu spiritualitas dan emosi kebangsaan, sebagai pra-syarat bagi terbentuk dan terpeliharanya gagasan dan praktik nation-state. Negara kita menganut prinsip republikanisme, di mana kepentingan dan urusan publik/ bangsa adalah yang paling utama. Dalam konteks Pemilu 2014, pemerintah, partai politik dan penyelenggara pemilu harus menjunjung dan mengimplementasikan gagasan dan wawasan kebangsaan ini dalam kerja dan kinerjanya. Konflik, sengketa pemilu dapat diantisipasi tidak terjadi, jika setiap pemangku kepentingan memiliki wawasan dan sikap yg sama; yakni menempatkan Pemilu 2014 sebagai kepentingan nasional bangsa dan negara.
Dengan berpegang teguh pada wawasan ini, kita semua berharap kegaduhan politik, sengketa dan konflik politik sebelum dan pasca pemilu tidak akan terjadi. Untuk itu, perlu semacam forum bagi para pemangku kebijakan di mana dapat duduk bersama dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di tahun-tahun politik ini. Mudah-mudahan perhelatan demokrasi lima tahunan tidak hanya berhenti pada penyelenggaraannya saja, tetapi dapat benar-benar berlangsung secara demokratis dan mengasilkan pemimpin legislatif dan eksekutif yang berkualitas dan memiliki wawasan kebangsaan yang utuh, demi tercapainya Tujuan Nasional.
*Fungsionaris DPD. KNPI Prov. Jambi dan PW. ISNU Prov. Jambi.
Sumber: http://jambiekspres.co.id/berita-11509-%EF%BF%BDindonesia-menyongsong-tahun-politik%EF%BF%BD.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar