Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Senin, 04 November 2013

Ruang Sunyi di Ujung Ranting Matahari

Afriyendy Gusti, S. S., M. Hum*
(Satu Resepsi terhadap Karya Ketujuh E.M. Yogiswara)
Oleh: Afriyendy Gusti, S.S., M.Hum.*
“Matahari adalah api kehidupan, dan ranting adalah kata dari urat perjalanan jiwa.”
Jika diasumsikan kumpulan puisi Ranting Matahari sebagai peta sebuah petualangan, kutipan di atas merupakan marka yang mesti diacu agar perjalanan benar-benar mengonkretkan alur peta. Kutipan di atas adalah kalimat pembuka yang dengan sadar “dikibarkan” E.M. Yogiswara di bawah atap Catatan Penyair.


Sebagai antologi tunggal, buku ini merupakan kumpulan puisi E.M. Yogiswara yang ketujuh. Namun, sebagai bentuk, ini adalah kumpulan puisinya yang kedua. Gaya penyajian yang lebih condong kepada formula narasi seolah menyampaikan pengalaman baru seorang Yogiswara dalam mengekplorasi makna. Sejatinya, kumpulan puisi ini tak hendak mengungkapkan, tetapi menceritakan. Hal ini tidak berarti puisi-puisi dalam Ranting Matahari hampa dari pesan moral. Sebaliknya, pesan moral justru dikembalikan kepada kematangan apresiasi pembaca. Dengan demikian, Yogiswara telah menunjukkan usahanya untuk menuju strata kebijaksanaan yang tidak lagi latah dengan doktrin dan sifat menggurui. Substansi dari puisi justru dititipkan dalam cerita.

Meskipun dikemas dengan kecenderungan naratif, diksi-diksi yang dihadirkan tidak serta merta bermakna verbal seperti kecenderungan narasi.  Diksi memang harus dimaknai dalam kapasitasnya sebagai sebuah kalimat, tetapi kalimat akan hambar jika didekati secara denotatif. Inilah bentuk konsistensi dari kebijaksanaan sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Puisi “Akar Gerah”, misalnya, yang dijadikan pembuka kumpulan ini diawali dengan menonjolkan latar. Masih ada ruang tuk kau isi. Meski keheningan usai dari kekosongan. “Keadaan di ujung malam masih sendiri.”. Pengedepanan waktu sebagai latar tidak berarti pemaknaan akan dimonopoli juga oleh waktu. Waktu justru memperkuat pencitraan suasana batin pengarang. Dikatakan suasana batin karena memang kutipan di atas berisi dialog pengarang dengan dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud marka pada paragraf awal tulisan ini. Marka yang diharapkan memandu pembaca kepada perjalanan katarsis seorang Yogiswara. 

Religiusitas Seorang Yogiswara
Ada yang menarik ketika mempertahankan sisi waktu untuk memahami puisi-puisi dalam Ranting Matahari ini, yakni terintipnya jejak yang seolah (di)samar(kan). Sekali lagi, argumentasi menaati marka sebagai bingkai resepsi membuka jalan menuju ruang sunyi yang sesungguhnya sarat kegelisahan. Pemunculan mitra tutur dalam bentuk pronomina orang ketiga hanyalah sebuah kamuflase untuk menyembunyikan pertarungan internal penyair. Jika dicermati, meskipun diksi ranting dan matahari secara umum berkonotasi dengan waktu siang, pemaknaan tersebut akan dengan segera memunculkan tanda tanya kala mengikuti satu per satu lembaran puisi dalam kumpulan ini hingga tuntas. Justru, suasana sepi, tenang, lirih atau apa pun yang identik dengan malam mendominasi suasana puisi. Inilah kamuflase yang dapat menjebak penafsiran bila tidak konsisten dengan marka yang telah dipasang.

Sebagaimana catatan Yogiswara yang dikutip pada bagian awal tulisan ini, esensi matahari dalam kumpulan ini lebih mirip dengan api dalam novel The Road karya Cormac McCarthy. Sementara itu, ranting merepresentasikan ekstraksi  dialektika pengalaman dan pengamatan personal. Dengan menghubungkan kupasan-kupasan di atas, kecurigaan justru dominan kepada sebuah istilah yang disebut autobiografi. Artinya, Ranting Matahari merupakan pencapaian seorang Yogiswara dalam sisi filosofi hidup.

Kecurigaan akan filosofi hidup penyair ini memang terasa sulit dipertahankan bila apresiator hanya berkutat pada argumentasi dialog batin penyair dengan salah satu dalih bahwa pemunculan (ka)mu sebagai pronomina ketiga benar-benar nyata. Akan tetapi, sekali lagi, sebuah argumentasi justru ditemukan pada bagian akhir kumpulan ini, yakni pada puisi “Sulur” tepat pada kalimat “Hidup adalah penyerahan diri!”. Kecenderungan Yogiswara menegaskan bagian-bagian tertentu dalam perjalanannya terefleksi dalam penggunaan tanda kutip dalam setiap puisinya. Merujuk kepada logika bahasa, penggunaan tanda kutip dalam sebuah kalimat menandakan ada hal yang berbeda atau perlu ditekankan melalui kata-kata yang diapit tanda kutip tersebut. Demikian juga halnya dengan narasi perjalanan Yogiswara yang kerap mengekstrasi serangkaian makna menjadi sebuah kata kunci. 

Kembali kepada kutipan pada puisi “Sulur” di atas, Yogiswara mencoba kembali berusaha menyamarkan ekstraksi perjalanannya dengan kalimat konotatif yang sesungguhnya merupakan sebuah deklarasi sebuah pencapaian. Melalui “Hidup adalah penyerahan diri!”, Yogiswara telah sampai pada sebuah konklusi bahwa ia hanyalah satu individu yang terbatas. Individu yang tidak memiliki kemampuan untuk menguasai waktu bahkan diri sendiri. Individu yang menyadari fakta kehambaannya. Pernyataan ini tidak berarti kekalahan. Sebaliknya, ini justru sebuah sikap yang dipilih dalam sebuah ranting dalam mataharinya. Sebuah ranting yang tidak dibumbui dengan kelatahan pemasangan atribut tuhan dan hamba secara vulgar. Dengan kata lain, jalan religiusitas yang dipilihnya merupakan ranah pribadi yang tidak perlu disorak-soraikan. Religiusitas yang tetap bergelora di ruang sunyi seorang Yogiswara.

Puisi Bersayap: Sebuah Konsep
Selain pengungkapan perjalanan religiusitas, Ranting Matahari memiliki keunikan dari segi bentuknya. Keunikan tersebut terletak pada cara penyair memunculkan atau memulai setiap bait. Jika diperhatikan, setiap awal bait memuat kata atau frasa yang terdapat pada akhir paragraf sebelumnya. Eksplorasi bentuk ini bukan lagi sekadar eksperimentasi karena bentuk ini sudah pernah dilakukan penulis pada kumpulan puisi sebelumnya, yakni Galur Tulang. Bentuk puisi dengan teknik pengulangan ini bukanlah hal yang lazim di Indonesia sebagaimana tidak lazimnya bentuk penulisan puisi-puisi Sutadji Calzoum Bachri dan Remy Sylado.

Untuk bentuk ini, Yogiswara menawarkan sebuah konsep, yakni sajak bersayap. Sajak bersayap dimaknainya sebagai pemakaian kata akhir maupun kata kedua dan ketiga akhir menjadi kata awal pada baris berikutnya atau menjadi pengantar lirik di bait berikutnya. Pengertian yang ditawarkan Yogiswara ini hampir mirip dengan puisi lama yang dibentuk dengan pengulangan baris kedua dan keempat pada baris pertama dan ketiga bait berikutnya atau dikenal juga dengan seloko. Akan tetapi, bentuk yang ditawarkan Yogiswara ini hanya melakukan pengulangan pada kata atau frasa pada baris terakhir. Sebagai contoh dapat dilihat dalam kutipan puisi “Haluan Tubuh” berikut.

Pelangi di angan-angan tak merasa terusik warna mimpi.
Ia tetap menjadi awan di kebangkitanmu.

Membangkitkan reruntuhan mimpi. Lebih sulit menghidupkan kekuatan kaki. Dan mengalahkan waktu adalah pelajaran menyinari sepi

Sepi kan mengantarmu ke biru langit. Di sana biru tak lagi membiru....

Seperti yang diungkapkan Yogiswara dalam “Catatan Penyair”, pengulangan hanya dilakukan pada kata yang terdapat dibagian akhir setiap bait. Bentuk seperti ini memang bentuk baru dalam penulisan puisi. Meskipun demikian, sebagai sebuah konsep, sajak bersayap yang ditawarkan oleh Yogiswara sudah berada pada jalur tantangan dalam kontestasi puisi Indonesia. Untuk itu, konsistensi Yogiswara merupakan acuan bagi masyarakat sastra khususnya perpuisian untuk mengadilinya. Sekadar mengingatkan bahwa konsep mantra Sutardji atau pun mbeling Remi Sylado juga melewati polemik untuk mendapatkan legitimasi. Terlepas dari persoalan tersebut, dunia kesusastraan Jambi khususnya puisi layak memberikan respons positif karena—paling tidak—Jambi telah berani bersuara untuk masalah konsep. Sebuah konsep yang menjadi salah satu ranting dari mataharinya Yogiswara.

*Tenaga Teknis Kantor Bahasa Prov. Jambi.
Dimuat di halaman Punjangga Jambi Ekspres Minggu, 3 November 2013

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2