Oleh: M. Asrori. S. S. H. I.*
Semua orang pasti, punya keinginan besar guna meraih sebuah strata sosial tinggi atau memiliki profesi tertentu, seperti profesi wartawan, dokter, termasuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2014 mendatang, yang notabene juga sering dikonotasikan sebagai seorang “anggota dewan terhormat”, karena dengan profesinya itu, seolah-olah menjadi terhormat di mata masyarakat.
Sayangnya, kalimat terhormat yang melekat pada setiap anggota DPR itu, justru dirusak oleh segelintir oknum anggota legislatif yang lain. Tak sedikit mereka yang menjadi tersangka korupsi, lalu di adili dan di jebloskan ke penjara, karena merampok uang negara secara kolegial atau berjamah. Persekongkolan semacam ini, tidak saja dilakukan oleh oknum anggota legislatif periode-periode sebelumnya, yang terjadi di beberapa Kabupaten dan Kota di Provinsi Jambi, tapi juga di daerah-daerah lain di Indonesia.
Fenomena ini terjadi karena dalam banyak hal, misalnya proses rekrutmen dan upaya memperoleh dukungan dilakukan memalui politik uang. Maraknya politik uang merupakan warisan bubaya politik lama, dan akibat perubahan iklim politik dari sebelumnya tertutup menjadi terbuka, serta belum diimbangi dengan kedewasaan berpolitik, (Markus Gunawan,38:2008).
Ketika seseorang menyatakan diri masuk ke dalam ranah politik dan berpolitik, tentu tidak sekadar menyebut nama dan prestise wah dalam dirinya, tapi harus dibuktikan bahwa dirinya telah bergabung dengan salah satu partai politik (Parpol). Pengakuan selanjutnya, adalah agar lebih matang dan bertambah dewasa dalam berpolitik, tentu harus patuh dan taat raturan, pada Anggaran Dasar (AD dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan yang tak kalah pentingnya, adalah harus berpegang teguh pada etika profesi, yaitu etika politik, bertaut dengan hati nurani dan berpijak pada moralitas. Semua itu digunakan sebagai rambu-rambu (proteksi) diri agar terhindar dari perilaku-perilaku menyimpang yang dapat menodai keluhuran profesi itu sendiri.
Memahami Politik dan Partai
Politik merupakan penataan kehidupan bersama dalam kemerdekaan, serta kesamaan hak dengan berpedoman pada perikemanusiaan. Pemahaman ini memberi gambaran terhadap aspek-aspek kehidupan politik. Di Indonesia, aspek-aspek kehidupan politik ini antara lain menyangkut pembangunan dan keadilan sosial, pengakuan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia, (Beni A Saebani,167:2008).
Sedangkan Parpol adalah organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela, atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kiprah parpol tidak terbatas pada pengertian singkat. Namun, memiliki peran stragis yang sedemikian luas. Keberadaannya tidak hanya berfungsi sebagai infrastruktur politik untuk melengkapi suprastruktur politik, tapi juga berperan dalam proses demokratisasi, (UU No.2 Tahun 2008).
Dalam bahasa politik pun, keberadaan parpol di suatu negara, adalah merupakan kendaraan utama bagi siapa saja yang ingin tampil mencalonkan diri, baik sebagai anggota DPR pusat dan daerah, maupun maju sebagai Kepala Negara atau Kepala Daerah. Hal ini wajar, karena parpol merupakan wadah yang tepat bagi penyaluran kehendak politik masyarakat.
Politikus dari partai Golkar, Tantowi Yahya mengatakan, jika seseorang yang ingin menjadi anggota legislatif, mereka harus terlebih dulu berproses secara ketat. Tentunya, lewat perekrutan kader yang sistematik, parpol bisa mempersiapkan program untuk menggembleng kader dengan wawasan politik, ideologi, membekali mereka dengan pengetahuan tentang problem bangsa, dan menantang mereka untuk menemukan solusinya.
Ini proses yang dulu dilakukan politisi di era pergerakan. Bung Karno mendapatkan gemblengan dari para senior, kemudian ia melanjutkan tradisi itu dengan menggembleng kader PNI melalui kursus-kursus tentang paham kebangsaan dan lain-lain topik. Yang penting tidak saja untuk mengobarkan semangat kebangsaan, tetapi juga membentuk kader menjadi politisi yang kaya pengetahuan dan wawasan.
Dalam teori, kualitas atau kemampuan bisa lahir karena tiga hal. Pertama karena bakat, kedua oleh kursus kilat, dan ketiga karena upaya mengembangkan diri selama bertahun-tahun.
Kita berharap, para caleg mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, hingga Caleg pusat—bukan saja dari kalangan terhormat, melainkan juga dari latar belakang yang beragam—dapat memahami masalah ini, sehingga saat maju sebagai caleg, itu sah-sah saja. Tapi, yang menjadi latar belakang adalah panggilan hidup untuk mengemban tugas mulia tetapi berat. Dan yang paling terpenting, ketika seseorang memutuskan untuk maju mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif harus berani mengatakan sejujurnya tentang jati diri sebenarnya.
*Alumni STAI Ma’arif Jambi
Tidak ada komentar :
Posting Komentar