Nisaul Fadillah, M. Si. |
(PR Di Balik Wacana Pemekaran Wilayah)
Oleh: Nisaul Fadillah, M. Si.*
Pemekaran wilayah Kabupaten Bungo menjadi Kabupaten Bungo dan Kota Muaro Bungo sebagai calon Daerah Otonom Baru (DOB) menjadi wacana yang terus bergulir. Tidak hanya menjadi isu yang dimasukkan dalam beberapa ruang seminar, tetapi sudah meningkat pada usulan konkrit untuk diputuskan pada institusi yang berwenang yakni DPR. Dalam beberapa kali terbitan koran lokal, terkesan sekali dorongan untuk pemekaran wilayah Bungo menjadi persoalan yang harus segera diselesaikan, dimana pemerintah dan DPR memberikan pandangan tentang keseriusan mewujudkan pemekaran Kabupaten Bungo ini. Pemekaran pun dipandang wajib dan tidak bisa ditunda-tunda lagi karena dipandang menjadi kebutuhan masyarakat Kabupaten Bungo.
Walaupun wacana ini kian memanas, namun tampaknya DPR pusat masih belum memutuskan Bungo sebagai bagian salah satu DOB per Oktober 2013 baru-baru ini. Sebenarnya apa yang menjadi persoalan tentang DOB? Setidaknya kajian evaluasi DOB yang pernah dilakukan oleh Bappenas tahun 2004 yang lalu masih menjadi bagian dari persoalan-persoalan yang terus melekat dalam proses pembentukan DOB sampai hari ini. Kajian ini mungkin tidak terlalu baru, namun justru disinilah persoan sudah mulai nampak dan dikhawatirkan banyak ahli. Sebagai salah seorang yang pernah terlibat menjadi tenaga ahli dalam kajian tersebut, penulis merasa perlu mendistribusikan sumbangan hasil kajian tersebut sehingga pembentukan DOB termasuk Kabupaten Bungo tidak menciptakan persoalan baru.
Inkonsistensi DPR
Pasca diundangkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai buah dari reformasi memberikan ruang yang sangat besar bagi daerah untuk mengelola wilayah masing-masing. Pemerintah yang terpusat, dengan cakupan luas wilayah Indonesia yang berpulau-pulau semakin menjadi alasan kebutuhan pelimpahan kewenangan daerah tersebut. Di satu sisi, pelimpahan kewenangan dan hak merupakan hal yang ideal dan sangat potensial untuk memajukan daerah, namun sisi lain juga berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Eforia ini akhirnya berujung dengan lahirnya ratusan wilayah DOB di Indonesia, termasuk 6 Kabupaten Kota di Propinsi Jambi. Jumlah ini terus bertambah hingga saat ini dan tidak pernah ada satupun terjadi penggabungan wilayah sebagaimana diatur juga dalam UU ini.
Sekalipun banyaknya persoalan yang dihadapi oleh DOB dan daerah induk pasca pemekaran, dan DPR beberapa waktu yang lalu sempat membuat moratorium untuk menghentikan sementara pembentukan DOB, namun toh moratorium ini tidak berumur lama, karena bulan kemarin justru DPR mengesahkan kembali sejumlah DOB dengan memperhatikan kelengkapan usulan yang sebagian besar hanya bersifat administratif. Padahal persoalan DOB bukan saja menyangkut rekomendasi tetapi menyangkut fungsi pemerintahan yang paling substansial yakni pemenuhan hak-hak dasar warga sipil. Bagaimana pemerintah bisa menjamin kebutuhan pelayanan publik bagi masyarakat menjadi lebih baik dengan DOB karena ketersediaan dan kedekatan akses pelayanan itu sendiri dengan adanya DOB, bukan hanya bersandar pada indikator peningkatan PAD karena pemerintah bisa saja mencari sumber-sumber PAD dari pajak, yang ujung-ujungnya memberatkan masyarakat atau eksplotasi SDA yang tidak memikirkan kelangsungan anak cucu. Peningkatan pelayanan dan PAD yang ‘sehat’lah yang semestinya menjadi tolak ukur. Jika tidak terjadi peningkatan kualitas pelayanan dan PAD ‘sehat’ maka seharusnya disinilah sangsi itu bisa diberlakukan oleh DPR, panggabungan wilayah.
Peta Persoalan Pemekaran Bungo
Setidaknya, ada tiga aspek yang menjadi persoalan kesiapan menjadi daerah otonom baru (DOB). Pertama, keuangan daerah. Daerah dengan potensi sumber PAD yang besar tentu akan lebih siap dibandingkan yang terbatas. Kaitan dengan studi yg pernah diadakan, ada beberapa daerah dimana pada suatu saat terjadi kemiskinan pada daerah induk atau malah pada DOBnya. Hal ini tentu harus menjadi pertimbangan bagi pengambil keputusan. Idealnya tentu kedua daerah baik DOB maupun induk sama sama memiliki sumber PAD yang memadai utk menghidupi 'rumah tangganya' masing-masing, dan tidak mengandalkan dana yang bersumber dari pusat seperti DAU dan DAK. Dan dalam beberapa daerah terjadi degradasi di salah satu daerah tersebut entah induk atau DOB, sehingga banyak pemerintah memilih jalan pintas meminta ‘upeti’ dengan label pajak dan retribusi resmi lewat perda yang ujung-ujungnya justru membebankan masyarakat itu sendiri apalagi impikasi lebih jauhnya adalah ekonomi biaya tinggi.
Bungo adalah wilayah yang kaya dengan sumber daya alam, terutama batu bara, disamping perkebunan. Dengan adanya cadangan batu bara dan perkebunan yang ada maka secara signifikan bisa menopang PAD. Namun PAD pun harus ‘sehat’ tidak tentu tidak bisa bisa mengandalkan eksploitasi batu bara dan barang tambang, atau pajak/pungutan, serta DAU dan DAK pusat. Cadangan tambang batu bara dan sejenisnya suatu saat akan habis, pungutan pada akhirnya justru membebankan masyarakat sedangkan DAU dan DAK justru menunjukkan ketidakmandirian daerah, Maka disinilah pentingnya kajian terhadap sumber PAD ‘sehat’ yang memungkinkan diharapkan namun tetap memperhatikan kesinambungan pebangunan dan tidak membebankan masyarakat dan pemerintah pusat. PAD ‘sehat’ tidak hanya bagi DOB tapi juga daerah induk, apalagi daerah induk diberi kewajiban membiayai DOB setidaknya dua tahun sejak dimekarkan.
Kedua, kesiapan DOB juga menyangkut tentang SDM dan kualitas pelayanan sebagai bagian dari tujuan idealnya DOB. Bagaimanapun besarnya PAD yang dikelola tetapi dibawah pengelolaan SDM yang terbatas rendah kuantitas dan kualitas serta komitmen, akan menjadi persoalan dalam mengelolaan pemerintahan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbangda bekerjasama dengan LSI per September 2013 justru menunjukkan bahwa kualitas pelayanan masyarakat di 5 Kabupaten/Kota di Propinsi Jambi masih di bawah standar . Dalam skala 1-10 yang diterapkan, maka kualitas ini masih di bawah 5.5 atau setara D. Kelima kabupaten ini ironisnya termasuk Kabupaten Bungo, di samping 4 lainnya yakni Tebo, Merangin, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Lebih mengherankan lagi bahwa kabupaten induk yakni Kabupaten Tebo pun mengalami hal yang senasib dengan DOB, mendapat rapor merah dalam persoalan pelayanan publik.
Ketiga, persoalan batas wilayah dan aset. Sekalipun DOB secara de jure sudah terbentuk, namun persoalan terkait dengan batas geografis wilayah serta penyerahan sebagian aset kepada daerah kepada DOB tetap menyisakan persoalan. Jika hanya menyangkut teknis pembagian administrasi tentu akan mudah diselesaikan namun jika terkait dengan kepentingan ekonomi politik dimana terdapat potensi SDA, maka akan tetap melahirkan persoalan baru dan berlarut-larut. Daerah induk akan berat melepaskan wilayah yang menjadi aset dan SDA sebagai sumber PADnya sama halnya dengan DOB yang memiliki kepentingan yang sama. Maka tidak heran menjadi konflik batas territorial melibatkan masyarakat sehingga berkembang menjadi konflik horizontal dimana masyarakat acapkali terbagi menjadi faksi-faksi kepentingan penguasa.
Penutup
Pemekaran wilayah adalah strategi pemerintahan untuk optimalisasi fungsi pemerintahan yang pada akhirnya bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Indikator awal menuju peningkatan kesejahteraan adalah kepuasan masyarakat terhadap layanan public yang mudah dan murah. Pemekaran wilayah sangat memungkinkan diwujudkan pemenuhan kualitas karena semakin dekatnya pusat layanan dibandingkan dengan sebelumnya dan semakin kecilnya rasio antara aparat dan masyarakat yang dilayani. Namun tentu pelayanan yang diharapkan hanya bisa diperoleh dari aparat yang berkualitas (punya integritas, komitmen dan etos kerja ) serta system pelayanan yang punya SPM dan SOP sesuai standar. Jika benar DOB Kota Muaro Bungo adalah untuk kepentingan masyarakat, maka pemerintah harus bersungguh- sungguh memperhatikan aspek pelayanan ini. Rapor merah adalah ‘PR’ yang harus diselesaikan. Jika Kabupaten Bungo sudah memenuhi syarat administrasi untuk dimekarkan, maka DPR bisa saja memberikan limit waktu beberapa waktu kedepan untuk pembenahan aspek palayanan ini sebagai prioritas disamping kejelasan sumber PAD dan perbatasan serta penyerahan asset. Jika tidak, maka wacana DOB Kota Muara Bungo tidak akan pernah berpihak kepada kepentingan masyarakat.. Ia akan menjadi komoditas politik penguasa baru atas nama kepentingan masyarakat guna mendapat lahan politik baru yang justru tidak memberikan apa-apa kepada masyarakat, kecuali kesengsaraan, konflik dan korupsi, jauh dari semangat pemekaran yakni peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.
*Dosen IAIN STS Jambi, Anggota Pelanta NIA.201307011.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar