Dalam tulisan saya sebelumnya berjudul “Bias Islam Nusantara” yang dimuat di harian Jambi Ekspres sekitar awalan bulan september 2013 menyimpulkan bahwa, sebagai negara yang mempunyai penduduk islam terbesar di dunia sudah saatnya Indonesia memakai dan menerapkan hukum islam sebagai regulator dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Interpretasi Pancasila sudah saatnya di amalkan dengan ide-ide yang tertera dalam Al-Quran dan Hadis, agar prilaku bangsa Indonesia mencerminkan prilaku bangsa yang beradab dan diridhoi Allah SWT.
Sebagai aspek Ilmu yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan islam di nusantara, aspek ilmu hukum menjadi prioritas utama untuk menggerakkan aspek ilmu lain agar berbumbu dan bercitra islami.
Aspek ekonomi, sosial, perdagangan, sampai hiburan adalah aspek-aspek yang penerapan dan cara kerjanya bergantung kepada rumusan hukum yang ada. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan politik hukum suatu bangsa adalah kunci utama untuk merubah segala lini kehidupan di bangsa yang bersangkutan.
Hukum dan Gejala
Dalam suatu sumber perkuliahan, saya pernah membaca bahwa hukum dapat mempengaruhi gejala, dan gejala dapat mempengaruhi hukum. Maksudnya adalah adanya hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala yang ada dimasyarakat. Hubungan tersebut adalah, di satu sisi hukum dapat menjadi (sosial engineering) pengubah pola sosial, sehingga atmosfir dan suasana sosial yang ada dapat terkontrol secara yuridis, dan disisi berbeda hukum dapat menjadi fasilitator yang memberikan sarana terhadap hubungan dan peristiwa sosial yang ada di masyarakat. Dalam pengertian ini, hukum menjadi aturan yang bersifat (reacting) atau mereaksi akibat yang timbul dari suatu peristiwa sosial.
Itu artinya, saat ini untuk penyebar-luasan asas dan nilai islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melewati dua cara, yang pertama adalah dengan memberikan sughesti agamis kedalam hukum nasional sehingga dapat menimbulkan gejala di masyarakat dan kedua menjadikan peristiwa atau gejala di masyarakat sebagai justifikasi untuk menelurkan hukum dengan energi syariat.
Cara yang pertama dibangun dalam sebuah pemikiran bahwa islam sebagai agama rahmatan lil alamin, adalah satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah SWT. Dasar pemikiran ini sangat lekat hubungannya dengan aliran pendukung teori hukum alam, dimana terdapat doktrin lawas yang mengatakan setiap sistem hukum berasal dari satu entitas hukum. Walupun saat ini kenyataannya hukum selalu dikotak-kotakkan secara teritorial, apalagi untuk negara semacam Indonesia yang memiliki berbagai macam suku, adat, dan agama.
Sedangkan jalan yang lainnya berarti, di masyarakat harus terjadi dahulu hal-hal yang tidak diharapkan untuk memberikan legitimasi kepada politisi yang mendukung nilai islam mengakar dalam hukum nasional agar berani menerapkan aturan syariat. Walaupun perisitiwa yang tidak diharapkan tersebut hanya sebagai justifikasi agar penerapan nilai islam dapat dieksekusi.
Di Indonesia sendiri, bentang sejarah penerapan nilai islam dalam peraturan perundang-undangan ibarat pisau bermata dua. Kita boleh bangga karena beberapa peraturan perundang-undangan yang ada sudah berasas islam dan mendukung cita-cita islam untuk mencapai kemaslahatan. Namun kita juga tidak dapat memungkiri kalau prestasi alim ulama maupun politisi islam dalam memperngaruhi substansi hukum relatif masih sangat lemah mengingat penduduk Indonesia mayoritas beragama islam.
Undang-Undang Syariat
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan merupakan satu potret keberhasilan alim ulama dan politisi dalam mewujudkan nilai islam menjadi salah satu sendi kehidupan bernegara. Tidak dapat dipungkiri undang-undang ini pun sangat kental dengan aturan islam yang diajarkan oleh Rasullulah SAW. Adanya integrasi antara hukum agama dan hukum positif menandakan bahwa hukum islam bermain penting dalam undang-undang ini.
Walaupun pada tahun 2012 lalu, alim ulama dan para politisi islam, serta kita masyarakat muslim Indonesia pada umumnya sempat ketar-ketir ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 43 undang-undang yang lahir dalam masa orde baru ini. Anak yang lahir luar kawin yang pada awalnya hanya memiliki hubungan waris dengan pihak keluarga ibunya dihapuskan. Karena Mahkamah Konstitusi menilai pasal ini betentangan dengan prinsip persamaan kedudukan didepan hukum yang dianut Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, putusan tersebut juga memberikan penafsiran bahwa kawin bercatat yang menjadi inti dari undang-undang ini hanya bersifat administrasi saja. Itu artinya dicatatkan atau tidak suatu perkawinan ke lembaga terkait tidak akan mereduksi hakikat beserta akibat perkawinan tersebut. Hal ini menandakan upaya masyarakat islam dalam mengintegrasikan hukum agama ke hukum nasional mendapat pertentangan.
Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi juga merupakan bukti bahwa nilai-nilai islam telah berkembang dan berhasil melewati halang badai di DPR. Walaupun disatu sisi kita kerap kebingunan, karena penerapan undang-undang ini dinilai masih setengah hati. Masalah orang pedalaman yang menggunakan koteka adat adalah salah satu alasan penentang keberadaan undang-undang ini. Karena sejurus dengan hal tersebut konstitusi telah mengamanatkan dalam pasal 18b (2) untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Di alasan lain, undang-undang ini juga dinilai dapat mempengaruhi pendapatan negara dibidang pariwisata dan kebudayaan karena berpotensi mereduksi jumlah turis yang datang akibat pengaturan dibidang pornografi yang semakin hari semakin ketat. Padahal seharusnya hal inilah yang menjadi nilai jual dimata dunia. Kebudayaan dan sopan santun serta etika yang beradab menjadi kelebihan indonesia dalam pergaulan internasional. Kita hanya menjual pariwisata tidak lantas dengan mengorbankan moralitas dan kesopanan.
Tugas berat selanjutnya telah menunggu didepan mata. Pengaturan gendak atau selingkuh, atau lebih tepatnya zhina mesti dijadikan prioritas dalam politik hukum RUU KUHP kedepannya. Kita tidak bisa membiarkan banyak anak muda yang harus aborsi, atau terkena HIV dan AIDS, hingga dengan dalih pencegahan, penjualan alat kontrasepsi berubah mainstream.
Pencegahan yang paling ideal sesungguhnya adalah dengan menelurkannya lewat aturan yuridis formal, sehingga nanti terdapat upaya penindakan sebagai efek jera di masyarakat, dan pada gilirannya akan membentuk pola pikir publik bahwa aturan syariat adalah aturan yang tepat.
Akhirnya tidak didasarkan kepada euforia islamiyah tulisan ini dibuat. Hanya sekedar merekonstruksi ulang bagaimana politik hukum syariat ini dapat berkiprah dalam substansi hukum Indonesia. Lebih dan kurang, dengan segala kondisi bangsa yang pluralistik, saya percaya hanya efektifitas yang dapat membuktikan.
*Penulis adalah warga Jambi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar