Wenny Ira Reverawati, S. I. P., M. Hum. |
Oleh: Wenny Ira Reverawati, S. I. P., M. Hum.*
Dibukanya keran demokrasi pada era reformasi hingga kini, menyebabkan peluang untuk ikut serta kedalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara sebebas-bebasnya. Partai politik dengan berbagai ragam warna ideologi bertumbuh dalam kurun waktu pemilihan umum beberapa tahun ini. Begitu juga dengan jumlah peserta calon anggota legislatif yang meramaikan bursa perebutan kursi legislatif disetiap hajatan pemilu yang digelar.
Kini setiap orang dapat mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum. Terlepas siapa, apa, dan bagaimana latar belakang orang tersebut. Asal memenuhi kualifikasi yang disyaratkan oleh Komisi Pemilihan Umum, dengan minimal berbekal ijasah Sekolah Menengah Atas, dapat menjadi calon anggota legislatif dengan kendaraan partai tertentu yang ditumpanginya dan mendukung ambisi calon anggota legislatif tersebut.
Maka, imbas dari semua itu, kita saksikan maraknya iklan politik calon anggota legislatif yang bertaburan berupa sanduk, baliho, pamflet, dan lain-lain baik yang didukung oleh media cetak maupun elektronik. Iklan politik ini mengupayakan sedemikian rupa agar calon anggota legislatif memiliki sebuah gambaran diri yang sedemikian baik, mengesankan, sedap dipandang mata, meyakinkan untuk dipilih nanti ketika pemilihan umum berlangsung.
Gambaran ini harus sesering mungkin dilihat oleh pemilih, agar dapat terkumpul sempurna dalam memori pemilih yang dapat memperngaruhi untuk mendulang suara calon legislatif nanti. Tidak heran jika ditemukan iklan politik ini bertebaran jauh sebelum kampanye pemilihan umum diumumkan apalagi menjelang detik-detik pemilihan umum. Kita saksikan berbagai iklan politik ini berebut ruang diantara pohon-pohon, jalan protokol, sudut-sudut strategis hingga kepelosok tak kalah hebohnya dengan iklan produk consumer good. Meskipun ada upaya Komisi Pemilihan Umum akhir-akhir ini untuk menertibkan jumlah iklan politik yang akhirnya berkesan pada sampah politik ini, tetap saja diberbagai tempat masih ditemui sisa-sisanya yang luput dari penertiban.
Inilah yang dinamakan dengan era pasar politik bebas. Peluang berpolitik yang terbuka, disambut oleh jasa iklan politik di berbagai media tersebut yang siap memasarkan calon anggota legislatif juga eksekutif, lengkap dengan janji-janji manis politiknya layaknya produk permen atau makanan ringan. Iklan boleh dibuat seheboh mungkin, tetapi soal rasa atau kualitas produk urusan belakangan, yang terpenting bagaimana produk banyak laku dipilih sehingga pemasarannya dianggap berhasil meskipun harus mengeluarkan biaya yang tak kalah hebohnya. Bahkan diujung detik-detik mendekati pemilihan umum, manajemen pemasaran politik ini memberikan cashback politik bagi pemilih yang loyal terhadap pencitraan calon anggota legislatif, berupa money politik atau biasa disebut serangan fajar sebelum pemilihan umum.
Kondisi ini membuat calon anggota legislatif yang siap dengan modal besar dengan upaya manuver pencitraan diri, lebih dikenal dan sering disebut-sebut oleh masyarakat calon pemilih. Sangat mahfum, jika kemudian calon anggota legislatif yang terpilih kadang berasal dari aspek ketenaran karena pencitraan ini, seolah dekat dengan pemilih padahal hanya sekali kunjungan singkat yang digelar layaknya jumpa fans, selebihnya serahkan kepada jalannya iklan. Setelah benar-benar dilantik menjadi anggota legislatif, euforia iklan yang bersangkutan sepi, begitu juga dengan implementasi janji-janji manis politiknya selama beriklan. Posisi anggota legislatif sebagai wakil rakyat kemudian sangat sulit terjangkau ataupun tersentuh, karena pertimbangan iklan menempatkan mereka sebagai figur artis politik. Terlepas, apakah pada kenyataannya mereka benar-benar menyambung aspirasi pemilih di lembaga legislatif, atau hanya sekedar numpang hidup mewah demi status sosial.
Padahal sejatinya, seorang anggota legislatif adalah seorang wakil politik yang akan duduk dilembaga perwakilan politik. Tugasnya tidak hanya sekedar merespon kepentingan yang diwakili, tetapi juga pelayanan dalam kebijaksanaan, menengahi juga meredakan konflik antara dirinya dan yang diwakili. Hal ini membuat apa yang dilakukan oleh anggota legislatif selaku wakil politik dalam lembaga perwakilan politik memiliki dampak sistemik dalam kehidupan bersama, apalagi dalam kehidupan politik, karena konteks dari perwakilan politik tidak semata-mata hanya dalam segi politis, tetapi juga, budaya, sosial dan ekonomi melalui kebijakan dan porsi keterwakilan yang mereka perankan.
Pemilihan umum dalam hal ini adalah suatu prosedur dan tata cara untuk menjamin keabsahan seorang wakil politik dalam kedudukannya. Idealnya, untuk menjamin terlaksananya fungsi keterwakilan, ada kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seorang wakil, diantaranya seperti; kemampuan, keahlian, juga status. Tuntutan akan hal ini menempatkan seorang wakil politik dalam posisi yang tidak sembarangan, dalam pandangan dirinya maupun pemilih.
Keterpilihan seorang wakil politik atau elektabilitasnya secara ideal akan mempertimbangkan idealisme dari hakikat, dan juga terlaksananya fungsi keterwakilan ini. Merujuk padanya, maka faktor elektabilitas dikonsepkan pada kedekatan calon anggota legislatif atau wakil politik kepada pemilih secara nyata secara alamiah dekat, bukan semu. Wakil politik dikenal karena memang adanya mereka memperkenalkan diri bukan sebagai produk massal pemilihan umum yang bersinergi dengan jasa periklanan. Perjumpaan dengan pemilih adalah perjumpaan politis terhadap realisasi kontrak politik dalam jangka panjang.
Pencitraan untuk membangun kesan dan menyampaikan pesan disatu hal memang diperlukan dalam jaman derasnya informasi saat ini. Elektabilitas memerlukan dukungan pencitraan, agar pemilih sebagai konsumen politik memahami latar belakang dan sejauh mana wakil politiknya memenuhi kualifikasi yang berdampak dalam kehidupan bersama secara sosial, budaya dan ekonomi, apalagi politik. Pencitraan saja dengan mengesampingkan elektabilitas berkualifikasi, akan menyebabkan penurunan secara massal kadar mutu demokrasi yang dibangun bersama, karena lembaga perwakilan politik gagal memberikan jaminan bahwa pilar berdemokrasi yang baik akan tetap menyangga kehidupan bersama. Tetapi ini terserah kepada kita semua, akan tetap berpegang kepada pencitraan atau elektabilitas.
*Wakil Ketua II dan dosen tetap Jurusan Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi, dan anggota PELANTA NIA: 201307015
Tidak ada komentar :
Posting Komentar