Oleh: Hafid Zakaria, S. H., M .H. dan Farida Hanum*
10 November 2013, tak terasa kita bertemu lagi dengan hari yang bersejarah ini (dulu), namun arti sejarah itu kini agaknya memang hanya tinggal sejarah. Bagaimana tidak, peringatan yang dilakukan hanyalah bersifat seremonial saja, ala kadarnya. Toh pada kenyataannya mereka yang hormat bendera memperingati hari pahlawan hanya manis di depan bendera saja, mental dan sikap mereka masih sama, mentok pada kekorupsian yang abadi, jiwa mereka masih belum ada yang trenyuh melihat makin banyaknya pengemis, makin banyaknya manusia-manusia melarat, justru parahnya, mereka malah menganggap itu adalah sampah masyarakat, mereka tak layak ada dan tak boleh hidup.
10 November 2013, tak terasa kita bertemu lagi dengan hari yang bersejarah ini (dulu), namun arti sejarah itu kini agaknya memang hanya tinggal sejarah. Bagaimana tidak, peringatan yang dilakukan hanyalah bersifat seremonial saja, ala kadarnya. Toh pada kenyataannya mereka yang hormat bendera memperingati hari pahlawan hanya manis di depan bendera saja, mental dan sikap mereka masih sama, mentok pada kekorupsian yang abadi, jiwa mereka masih belum ada yang trenyuh melihat makin banyaknya pengemis, makin banyaknya manusia-manusia melarat, justru parahnya, mereka malah menganggap itu adalah sampah masyarakat, mereka tak layak ada dan tak boleh hidup.
Mengenaskan
Esensi hari pahlawan adalah terletak pada bagaimana kita memaknai sosok pahlawan yang pernah ada, yang berkorban untuk kebebasan hidup kita untuk masuk dalam relung jiwa kita dan kita menjadi “dia” dalam konteks kekinian. Hari pahlawan adalah momen untuk flash back, mengenang kembali perjuangan mereka, agar kita dapat mengolah kembali semangat patriotisme dan jiwa nasionalis. Patriotisme dan nasionalisme harus selalu dipupuk, jangan memudar apalagi hilang karena arus kemodernan zaman. Jangan kira setelah pembacaan teks proklamasi pada tanggal 17 agustus 1945, penjajahan diatas bumi pertiwi ini musnah begitu saja, secara fisik mungkin “Ya” memang benar, tapi justru sebenarnya penjajahan ada masa kini lebih kompleks, bukan pada fisik tapi pada mental dan moral. Banyak rakyat saat ini terjajah oleh negerinya sendiri, oleh pemimpinnya lebih tepatnya.
Setelah bangsa ini kehilangan banyak para pejuang negeri, penjajahan yang lebih tragis baru terjadi, Bung Karno,Bung Hatta dan bapak pahlawan yang lain tak bisa melihat derita kita, penjajahan karakter baru terjadi saat mereka telah pergi, bersamaan dengan lepasnya tangan mereka untuk negeri ini, saat itu pulalah negeri ini mulai resah mencari sosok pemimpin sebenarnya. Pemimpin yang sekaligus pahlawan, yang dalam jiwanya terdapat keberanian, pengorbanan dan membela KEBENARAN.
Surabaya, 10 November 1945, tentara inggris melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30000 serdadu, 50 pesawat terbang dan sejumlah besar kapal perang. Berbagai bagian kota surabay dihujani bom, ditembaki secara membabi buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan banyak lagi yang luka-luka. Tetapi perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Pihak inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap termasuk kapal perang, pesawat terbang, tank dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.
Rupanya Tentara Keamanan Rakyat dan laskar-laskar yang dibentuka rakyat dianggap enteng oleh pihak Inggris. Tetapi diluar dugaan Inggris, ternyata perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu, pertempuran besar-besaran ini memakan waktu hampir sebulan. Lama bukan? Padahal para pejuang Indonesia hanya bersenjatakan beberapa pucuk senjata saja dan selebihnya adalah bambu runcing, padahal mereka menghadapi tentara Inggris yang memiliki persenjataan yang lengkap dan modern. Kerjasama, semangat dan kecintaan terhadap tanah airlah yang mampu membuat mereka bertahan sedemikian lama meski hanya bersenjatakan seadanya.
Kebesaran arti pertempuran Surabaya inilah yang kemudian di kukuhkan sebagai hari pahlawan, bukan hanya banyaknya pejuang yang gugur, dan bukan hanya besarnya pertempuran yang terjadi, tetapi juga terletak pada peran dan pengaruhnya bagi jalannya revolusi waktu itu. Menjadi pribadi/individu yang dapat membangun tatanan masyarakat yang lebih beradab, setara dalam segala hal, adalah pahlawan yang dibutuhkan pada era ini. Indonesia sedang membutuhkan pejuang-pejuang dalam bentu baru, di butuhkan pahlawan-pahlawan sejati tidak lagi mengangkat senjata, tidak lagi berhadapan secara fisik tapi dalam bentuk abstrak, tidak bisa dilihat oleh mata kepala tapi bisa dilihat oleh mata hati dengan menggunakan olah pikir. Tiap-tiap kita bisa dan dapat menjadi pahlawan, jika ada 3 aspek yang dimiliki, yaitu keberanian, pengorbanan dan membela kebenaran. Pahlawan saat ini harus kreatif dan inovatif.
Harus mampu membuat terobosan-terobosan baru yang mampu membuat perubahan yang lebih baik bagi dirinya dan masyarakat, mental dan moral adalah hal utama yang perlu dibina sebelum akhirnya terlambat, terlanjur menjadi manusia yang tidak beradab. Pahlawan harus bermoral, pahlawan harus memiliki mental berani membela KEBENARAN ! Teriakkan semangat baru, “ Selamat Hari Pahlawan!” jadilah pahlawan masa kini yang mampu merubah negeri ini kearah yang lebih baik, jangan tiru MEREKA, yang hanya bisa merepotkan kita. Jadikan kita adalah mereka yang dulu membuat kita MERDEKA, kita muda, kita BISA.
*Civitas akademika, STIA Setih Setio, Bungo.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar