Drs. H. Navarin Karim, M. Si. |
Oleh: Drs. H. Navarin Karim, M. Si.*
Saking ramenya pembicaraan tentang calon legislative (caleg) yang akan maju jelang pemilu 2014 seorang ibu jadi latah manakala mau membeli caluk di warung. Dia katakan beli caleg pak satu ons, kemudian dia baru menyadari bahwa yang dimaksudkan beli caluk untuk buat sambal.
Seorang caleg mestinya adalah orang yang wangi (baik), artinya orang yang benar-benar punya jiwa kenegarawanan, berintegritas, bermoral dan tidak cacat hukum. Menjadi legislative bukan hanya sekedar lahan untuk dijadikan sebagai lapangan pekerjaan. Caleg ideal harus ada yang akan diperjuangkan untuk rakyat. Bukankah dalam tujuan pemilu , telah dicantumkan sejak Pemilu pertama Orde baru ( UU no 15 tahun 1969) hingga sekarang dikemukakan bahwa : tujuan pemilu untuk penataan tata kehidupan yang dijiwai semangat revolusi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan landasan Pancasila.
Ini bisa kita maknai : (1) bahwa hasil Pemilu harus mendapatkan orang-orang yang berjiwa pejuang yang penuh ikhlas, tidak pamrih dust lebih mengutamakan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi dan golongan. Bukankah pejuang berjuang berani mengorbankan kepentingan pribadi dan golongan? (2) bahwa jika sudah terpilih menjadi legislator, mereka diharapkan dapat memperjuangkan tujuan Negara yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut dalam dalam perdamaian abadi. Bukan malah mencari kesempatan memperkaya diri dengan cara-cara korupsi. (3)bahwa caleg harus taat dengan agamanya masing-masing. Dapat pula kita maknai bahwa mereka harus punya prinsip yang kuat, bukankah orang taat beragama akan kuat dengan prinsip-prinsip? Lantas bagaimana dengan mereka yang pragmatis, pindah-pindah dan loncat partai dapat dikatakan orang yang mengamalkan agamanya secara baik? (4) bahwa caleg harus punya kepedulian terhadap penderitaan/kesusahan orang lain. Saatnya sekarang kita identifikasikan mana caleg yang peduli dengan kesusahan orang lain mana yang tidak. Caleg yang peduli dengan kesusahan orang lain berarti dia “care” dust bisa menimbulkan rasa berempathi. Jika ia memiliki emphati maka kemungkinan besar dia akan melaksanakan fungsi “agregasi kepentingan” jika terpilih sebagai legislator, dimana dia akan memperjuangkan aspirasi masyarakat (artikulasi kepentingan) menjadi program-program nasional dan daerah yang berpihak kepada wong cilik. (5) bahwa caleg yang diutamakan adalah yang tidak berfikir sempit kedaerahan atau mementingkan primodialisme. Apabila mereka terlalu kental sifat kedaerahannya, sebaiknya tinggalkan saja, karena jika dia terpilih sudah pasti tidak obyektif dan praktek nepotisme sudah pasti akan lebih mengedepan. (6) bahwa caleg harus memahami bagaimana mempraktekkan demokrasi secara baik. Ia harus paham bahwa demokrasi harus berdasarkan pemilihan, kebebasan memilih, toleransi dan menegakkan kebenaran. (7) bahwa caleg harus adil : tidak boleh berpihak atau menguntungkan satu golongan tertentu baik dalam distribusi maupun alokasi sumber-sumber penghasilan, barang dan jasa serta pemberian kehormatan.
Caluk
Penamaan lain caluk dalam bahasa Indonesia adalah terasi atau belacan kata masyarakat Kepulauan Riau (Kepri). Penulis tahu istilah belacan, karena penulis dilahirkan di Tanjung Balai Karimun dan pernah kelas 1 sampai dengan 5 Sekolah Dasar di Bagan Siapi-Siapi, setelah itu baru pindah ke Jambi.
Caleg yang tidak berkualitas penulis ibaratkan caluk yaitu tidak baik dan bau. Pertama. Makna tidak baik. Penulis analogikan asal jadinya caluk adalah bahan baku udang yang sudah busuk diinjak-injak dan diberi sedikit campuran tepung sehingga jadi caluk. dimaknai bahwa : (1) caleg tersebut kualitas sumber daya mahasiswanya tidak mumpuni dan tidak kreatif, asal pendidikan berasal sekolah/perguruan tinggi abal-abal, (2) tidak punya pengalaman organisasi dan pengalaman kerja, (3) tidak punya reputasi yang bisa dibanggakan, (4) dipromosikan jadi caleg karena factor nepotisme dan kelebihan financial bukan karena kualitas diri berdasarkan criteria obyektif. (5) Bukan kader sejati dari partai; secara instant dan terkesan dadakan tiba-tiba dipromosikan jadi caleg. Bayangkan para pensiunan PNS yang baru pensiun tiga sampai setahun, alih-alih jadi caleg. Kapan dia jadi kader partai dan menghayati idiologi, visi, misi partai. Dan yang lebih menyakitkan adalah berarti caleg yang baru masuk partai ini adalah caleg yang tidak punya hati nurani karena melangkahi kader-kader yang sudah lama bercokol di partai tersebut.
Kedua. Analogi Caleg yang berbau caluk, penulis maknai : mereka-mereka yang tidak kuat prinsip (idiologi), tidak bermoral dan cacat hukum. Breakdown-nya sebagai berikut : (1) Kader-kader yang seenaknya loncat dan pindah partai tanpa memperhatikan apakah idiologinya sejalan dengan idiologi partai yang pernah dijalani. Jika anda memilih caleg ini berarti anda akan memilih orang-orang yang tidak punya prinsip hidup (2) pernah melakukan tindakan-tindakan amoral : seperti selingkuh, menghamili wanita secara tidak bertanggung jawab, mantan peminum/narkoba, mantan penjudi dan mantan koruptor serta (3) mantan pidana. Mereka-mereka inilah penulis katakan bau caluk. Ada lagi caleg yang sudah usia 60 sampai dengan 70 tahu, ini bukan caleg berbau caluk : tapi lebih tepatnya caleg yang sudah dekat dengan bau tanah. Jadi teringat syair lagu Iwan Fals : Pak tua sudahlah. Artinya cukuplah soal dunia, beramallah lagi untuk persiapan untuk hari akhrerat.
*Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah Jambi dan Ketua Pelanta (NIA. 201307002).
gokil pak,,,,
BalasHapusmantap,,bangga punya dosen seperti bapak.