Wakil rakyat kembali membuat kejutan. Setelah hingar-bingar pengesahan RUU Ormas, seminggu kemudian wakil rakyat mensahkan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Meskipun hujan protes dan kritik pedas terhadap RUU ini, tidak mengurangi niat anggota DPR untuk mensahkan menjadi UU.
Jika kita elaborasi lebih dalam banyak muatan RUU P3H yang mengadobsi ketetuan yang ada dalam UU Kehutanan. Misalnya pasal 50 ayat (3) huruf c mengatakan “setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang”. Kalimat ini ditemukan dalam pasal 12 huruf a RUU P3H. Begitu juga kalimat “mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan” dalam ketentuan pasal 50 ayat (3) huruf h UU Kehutanan juga mewarnai UU P3H. Jadi untuk apa UU P3H ini jika pengaturan yang sama sudah ada dalam UU Kehutanan. Kenapa tidak memaksimalkan UU Kehutanan dan kewenangan yang sudah ada.
Kegagalan
Sejatinya UU P3H dibuat untuk memberantas illegal loging. Padahal illegal loging telah mengalami penurunan dari 80% di tahun 2001 menjadi 40% tahun 2006 dan terus mengalami penurunan. Justru perusakan hutan beralih pola dari illegal loging menjadi perusakan hutan dengan dengan kedok legalisasi perizinan seperti HTI, HPH, perkebunan dan pertambangan yang menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan.
Berdasarkan catatan KKI Warsi telah terjadi penyusutan luasan hutan Jambi sebesar 1,1 juta hektar dalam 2 dekade terakhir. Saat ini luas hutan Jambi diperkirakan hanya tinggal 1,3 juta hektar. Perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) memiliki andil besar dalam mengurangi luasan hutan Jambi. Kawasan hutan di Provinsi Jambi yang dikuasai untuk berbagai kepentingan usaha saat ini telah mencapai 853.430 hektare. Termasuk di antaranya untuk HTI dan lahan perkebunan besar lainnya. Padahal, luas di provinsi tersebut 2,1 juta hektare. Warsi mencatat terdapat 18 perusahaan HTI definitif, dengan luas areal yang dikelola 663.809 hektare. Selain itu, ada pula perusahaan HTI yang telah mendapatkan areal pencadangan seluas 110.755 hektare. Bahkan di daerah hulu jambi yang nitabene merupakan kawasan lindung sudah diberikan konsesi baik itu HTI dan perkebunan sawit.
Sebenarnya UU Kehutanan mengatur penegakan hukum terhadap pelanggaran di bidang kehutanan, begitu juga UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengendalian Lingkungan Hidup mengatur sanksi terhadap perusak lingkungan. Persoalan sebenarnya adalah Kemenhut dan aparat penegak hukum setengah hati untuk menjerat pelaku perusakan hutan dan lingkungan. Lemahnya pengawasan, penegakan hukum dan menjamurnya praktik KKN dan barter perizinan antara pemerintah dan pengusaha jelas semakin mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan. Buktinya kerusakan hutan, bencana alam, kabut asap setiap tahunnya adalah wujud nyata kegagalan pemerintah dalam mengelola kelestarian hutan dan lingkungan.
Kriminalisasi
UU P3H lebih mengedepankan unsur kriminalisasi karena lebih banyak mengatur sanksi pidana yag ditujukan kepada masyarakat, perseoranagn dan korporasi. Dari 12 Bab dan 114 Pasal terdapat 27 pasal pidana yaitu pasal 82 sampai pasal 109.
Terhadap pelanggaran yang dilakukan korporasi, selama ini Kemenhut cenderung berbaik hati dan memaafkan dengan cara mengeluarkan izin pinjam pakai sehingga terbebas dari jeratan hukum. Bagaimana dengan masyarakat? Selama ini masyarakat cenderung di kriminalisasi dan diabaikan hak-haknya. Masyarakat yang berkegiatan atau berada dikawasan hutan tanpa izin Menhut akan di pidana. Wujud kriminalisasi ini dikuatkan melalui UU P3H.
Kenyataannya masyarakat sudah berkegiatan di dalam dan sekitar hutan. Kemenhut mencatat ada 31.957 desa didalam dan sekitar kawasan hutan, 71,06% diantaranya menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan. Lahirnya UU P3H tentu akan menjadi petaka bagi masyarakat yang selama ini sudah berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Walaupun masyarakat sudah hidup turun-temurn dan bergantung kepada hutan, akibat penerapan UU P3H masyarakat terancam dipidana.
Pembangkangan Konstitusi
Konstitusionalitas penguasaan kawasan hutan oleh negara sudah ada putusan MK yang mengaturnya. Seharusnya Putusan MK dijadikan pedoman karena MK menguji konstitusionlitas UU terhadap UUD 1945. Disamping itu Putusan MK bersifat final berarti tidak ada upaya hukum lainnya dan mengikat bagi seluruh penyelenggara negara termasuk pembuat UU P3H ini.
Menelisik substansi UU P3H jelas legislator mengabaikan Putusan MK terkait konstitusionalitas kawasan hutan. Ada tiga putusan MK yang diabaikan. Pertama Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 terkait definisi kawasan hutan yang mempersamakan status penunjukan dan penetapan untuk menentukan kawasan hutan. Penunjukan kawasan hutan merupakan tahap awal dan harus dilanjutkan penataan batas, pemetaan dan diakhiri dengan penetapan kawasan hutan.
Kesalahan Kemenhut ini menyebabkan banyak desa dan masyarakat yang hidup dalam kawasan hutan terancam keberadaanya. Hingga 2012 hanya 12% kawasan Hutan yang baru ditetapkan sedangkan 88% hanya sebatas ditunjuk. Seharusnya pemerintah segera menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan Putusan MK 45/PUU-X/2011, bukan membuat aturan represif yang merugikan masyarakat.
Kedua Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 terkait penguasaan dan penentuan kawasan hutan serta non hutan harus memperhatikan hak masyarakat atas tanah. Putusan ini mengkoreksi kewenangan negara dalam penetapan kawasan hutan yang mengabaikan hak masyarakat atas tanah. Harus ada inventarisasi hak-hak masyarakat yang berada dikawasan hutan agar tidak tumpang tindih.
Ketiga Putusan MK 35/PUU-X/2012 terkait Hutan Adat. MK mengeluarkan hutan adat dari hutan negara dan memasukannya dalam kategori hutan hak. AMAN mengatakan terdapat 50-70 juta jiwa masyarakat hukum adat dengan luas wilayahnya 40 juta Ha yang tersebar di Indonesia seperti Suku Anak Dalam, Dayak, Badui dan suku di Papua serta masyarakat hukum adat lainnya. Jika UU P3H ini diterapkan tanpa ada inventarisasi mayarakat hukum adat, berarti akan melanjutkan kriminalisasi terhadap masyarakat hukum adat dan mengangkangi putusan MK 35/PUU-X/2012.
Penulis menilai UU P3H justru akan membelenggu masyarakat. Akan banyak masyarakat dibelenggu dibalik jeruji dan mengkebiri hak-hak masyarakat. kiranya tepat kita berjuang menghentikan legalisasi tindakan kriminal ini dengan mengajukan Judicial Review ke MK. Pengabaian hak konstitusional warga negara dan pembangkangan putusan MK merupakan perbuatan inkostitusional. Semoga 9 hakim MK menerima suara rakyat yang tertindas dan membatalkan UU P3H.
*Peneliti Hukum dan Kebijakan KKI Warsi, Alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-belenggu-dalam-uu-p3h.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar