Musri Nauli, S. H. |
Oleh: Musri Nauli, S. H.*
Ada peribahasa yang biasa dikenal waktu belajar di Sekolah Dasar. “Muka buruk cermin dibelah”. Atau “Awak tidak bisa menari. Dikatakan Lantai yang tidak bisa berjungkit”. Demikianlah pandangan penulis ketika mengamati disahkan RUU PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN (RUU P3H).
Mengapa peribahasa ini disampaikan? Marilah kita perhatikan satu persatu pasal-pasal yang tercantum didalam RUU P3H. Menilik satu persatu kalimat didalam pasal 12, maka dengan mudah kita dapat mengingatkannya didalam pasal-pasal sebagaimana diatur didalam UU Kehutanan. Misalnya pasal 12 huruf a RUU dapat kita lihat didalam pasal 50 ayat (3) huruf c UU Kehutanan.
Didalam pasal 12 huruf a RUU P3 H dijelaskan “setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Padahal kalimat ini dapat kita temukan didalam pasal 50 ayat (3) huruf c UU Kehutanan “setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan...”
Begitu juga kalimat “mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan” dapat kita temukan didalam pasal 50 ayat (3) huruf h UU Kehutanan.
Sehingga hampir praktis, seluruh ketentuan yang dilarang didalam RUU P3H “sebenarnya” sudah dicantumkan didalam pasal 50 ayat (3) UU Kehutanan.
Padahal semula Pemerintaha ngotot mendorong RUU P3H karena melihat semakin maraknya illegal loging dan mulai tergerusnya hutan-hutan tropis Indonesia.
Berbagai data mencatat, laju deforestrasi menurut dari 104.747.566 hektare pada 2000, menjadi 98.242.002 hektar pada 2011 (Kementerian Kehutanan). Belum lagi berbagai indikator semakin rusaknya dan beralihnya fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit hingga mencapai 20 juta hektar, pertambangan maupun alih fungsi lainnya. Dengan angka-angka itulah, kemudian Pemerintah berkeinginan agar hutan tetap dapat dijaga.
Padahal apakah memang itu persoalannnya atau memang RUU P3H merupakan solusi terhadap persoalan diatas ?
Menggunakan UU Kehutanan terhadap para “pengrusak hutan” sebenarnya cukup kuat. Ancaman UU Kehutanan cukup baik dan pasal-pasal UU Kehutanan dapat menjangkau berbagai tindak pidana berkaitan dengan aksi para “pengrusak hutan”. UU Kehutanan dapat memberikan effek jera kepada para pelaku.
Tapi ternyata, dari sudut penegakkan hukum, UU Kehutanan mengalami persoalan yang cukup serius. Selain kesulitan untuk menjaga hutan, Pemerintah tidak mau dipersalahkan sehingga dengan argumentasi yang tidak mempunyai dasar yang kuat, maka Pemerintah mendorong lahirnya RUU P3H yang kemudian disahkan. Pemerintah “ingin” cuci tangan. Pemerintah ingin membangun citra dan bertindak sebagai “hero”.
Dan ketika RUU P3H disahkan, Pemerintah sudah “menjalankan” tanggung jawabnya dan kemudian mengalihkan persoalan kehutanan menjadi urusan yang lain.
Bagaimana ? Apakah pembaca setuju dengan ungkapan peribahasa yang disampaikan oleh penulis ?
*Pengacara dan Aktivis Lingkungan
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-mempersoalkan-ruu-p3h.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar