Oleh: Pauzan Fitrah*
Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) disahkan oleh DPR RI Selasa (2/7). UU yang berisi 87 pasal ini mengatur secera menyeluruh organisasi masyarakat yang ada di Indonesia, dan akan membatasi hak sipil politik bagi setiap warga negara dalam berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat.
Sebelum UU ini disahkan, berbagai bentuk kritik dan penolakan dari berbagai kalangan di nusantara pun kian bergelora, karena dinilai akan mempersempit ruang kebebasan berserikat, berkumpul, dan hanya akan menjadi alat legitimasi bagi pemerintah untuk mengontrol aktivitas berorganisasi masyarakat. Selain membatasi hak sipil politik, UU ini secara jelas akan membuat pemerintah sangat berkuasa terhadap ormas, termasuk mengatur larangan afilasi terhadap partai politik. Padahal, setiap masyarakat memiliki hak untuk ambil bagian dalam kegiatan politik.
Tidak hanya wajib mendaftar, semua organisasi dapat dibubarkan oleh pemerintah atau aparat penegak hukum, juga dimungkinkan akan dikecam sebagai kelompok ilegal apabila tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar, kelompok kritis atau kelompok yang terancam dibekukan karena dianggap menentang kebijakan pemerintah. Sementara berorganisasi dan berkumpul merupakan hak setiap orang tanpa terkecuali, sebagaimana dalam UUD 1945 pasal 28. Jika ini merupakan hak, maka seharusnya pemerintah memfasilitasi dan memberikan perlindungan, bukan malah melahirkan regulasi yang bertolak belakang dengan UUD tersebut.
Pada pasal 11 ayat (2) UU Ormas disebutkan “pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i dilakukan setelah meminta pertimbangan dari instansi terkait”. Pasal ini menjelaskan bahwa pemerintah berusaha melakukan kontrol secara ketat terhadap ormas, karena apabila dalam pertimbangan instansi pemerintah tidak diperbolehkan, maka ormas tersebut dilarang berdiri. Artinya pemerintah memiliki wewenang yang sangat besar dan rentan melakukan pemberian izin atau pelarangan secara sepihak dan sewenang-wenang.
Perlu kita ketahui, organisasi masyarakat sesungguhnya hanyalah istilah praktek. Bentuk organisasi atau kelompok yang dikenal secara hukum hanyalah yayasan dan perkumpulan. Namun UU ini juga mengatur tentang badan hukum yayasan dan pengesahan sebagai badan hukum sebuah perkumpulan. Sementara sebelumnya, pemerintah telah membuat UU No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan dan Aturan Perkumpulan dalam Staatblad No.1870-64. Dengan demikian, maka UU Ormas sangat tidak diperlukan dan justru akan melahirkan tumpang-tindih kebijakan.
Defenisi ormas dalam UU ini juga dinilai terlalu luas cakupannya, dimana seluruh wadah untuk berkumpul atau berserikat dianggap sebagai ormas tanpa terkecuali (dalam pasal 1 angka 1 UU Ormas). Dalam sejarah Indonesia, istilah ormas identik dengan politik serta organisasi yang berada di partai. Istilah ini mulai dikenal pada era Orde Baru melalui UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Sementara pada pasal 4 UU Ormas dikatakan “ormas bersifat suka rela, sosial, mandiri, nirlaba, demokratis, dan bukan merupakan organisasi dari sayap partai politik”. Sangat jelas pasal ini bertentangan dengan pasal 1 angka 1 dimana setiap wadah berkumpul dianggap sebagai ormas tanpa terkecuali. Artinya, organisasi sayap partai politik pun masuk dalam kategori ormas.
Menurut pemerintah, pembuatan UU ini bertujuan untuk mengatur tujuan berdirinya sebuah organisasi serta berbagai kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan tujuan dan keinginan pemerintah. Dengan demikian pemerintah sesungguhnya mencurigai apa yang sedang dilakukan dan diperjuangkan oleh rakyat, kerena salah satu tujuan berorganisasi bagi rakyat adalah sebagai alat perjuangan. Dalam pratek sosial, berkumpul dan saling membantu merupakan tradisi bagi rakyat, sementara UU ini lebih dalam akan menghacurkan kebudayaan kolektif tersebut dengan mengharuskan setiap kegiatan diatur dan melalui persetujuan pemerintah terlebih dahulu.
Dari awal pembentukan UU ini (RUU Ormas), pemerintah telah memiliki paradigma yang salah terhadap rakyat, dimana rakyat diposisikan sebagai ancaman dan sumber konflik sosial. Hal ini dapat dicermati dalam pasal-pasal UU Ormas yang mengatur tentang organisasi masyarakat mulai dari defenisi, azas, syarat pendaftaran, pengaturan bidang kegiatan, larangan serta sanksi yang pada dasarnya akan memberatkan dan cenderung menyempitkan ruang kebebasan bagi organisasi-organisasi yang hari ini menjamur dalam setiap lapisan masyarakat Indonesia.
Jika pembentukan UU ini didasarkan atas kekhawatiran pemerintah terhadap tindak kekerasan, penyimpangan ideologi Pancasila, sumbangan pihak asing, maka tidak tepat jika pemerintah harus membuat UU Ormas, karena sudah ada beberapa aturan Perundang-Undangan lainnya yang mengatur tentang hal tersebut. Namun pada kenyataannya, UU ini telah disahkan oleh DPR dan pemerintah. Artinya, DPR dan pemerintah telah melembagakan suasana saling mencurigai antar kelompok. Masyarakat pada akhirnya dipaksa menerima, bahwa akan ada perbedaan antara organisasi yang diakui dan tidak diakui oleh negara. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa potensi perpecahan antar kelompok masyarakat akan semakin besar.
Disisi lain, penulis meyakini bahwa rakyat Indonesia bukanlah makhluk yang terbiasa dengan aksi berdiam diri melihat satu ketimpangan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk pemerintah. Terbukti sejak awal UU ini dirancang, aksi-aksi penolakan berkobar dimana-mana, kecaman-kecaman pun ikut mewarnai pemberitaan di seluruh media. Sepanjang kita masih meyakini dan memahami bahwa kebebasan berkumpul dan berserikat merupakan hak yang harus difasilitasi negara, maka kehadiran UU Ormas sudah selayaknya mendapat penetangan dari seluruh rakyat Indonesia.
*Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN STS Jambi
Tidak ada komentar :
Posting Komentar