Berdasarkan data yang diperoleh dari KPUD Kota Jambi, diketahui bahwa pasangan Bambang Priyanto dan Yeri Muthalib memperoleh suara 11,46 %, Sum Indra dan Maulana 34,135 %, Sy. Fasha dan Abdullah Sani 35,36 %, Effendi Hatta dan Asnawi AB 19,046 %. Data resmi yang dikeluarkan oleh KPUD ini, mentasbihkan pasangan dengan jargon FAS nian sebagai jawara pada perhelatan pesta demokrasi lima tahuan ini. Pasca pemilihan hingga keputusan resmi tersebut beberapa hari yang lalu, paling tidak mengakhiri klaim kemenangan yang dilakukan salah satu calon, yang mengacu pada hasil quict count atau hitungan cepat versi masing-masing calon.
Tentu hal itu adalah sah, mengingat masing-masing versi tersebut mempunyai metode tersendiri dalam mengimput data dari sumbernya. Hasil hitungan tersebut, pada kenyataannya, harus dianulirkan oleh keputusan KPUD, pihak penyelenggara yang independen dan bertanggungjawab. Kewenangan dan keputusan yang dimilikinya semestinya harus diterima dengan lapang dada dan berjiwa besar, bukan hanya ditujukan kepada kompetitor, tim sukses namun juga pada masyarakat yang telah menggunakan hak konstitusionalnya, demi kedamaian dan kemaslahatan bersama yang lebih besar.
Dalam logika pesta demokrasi seperti ini, dua istilah yang harus dinantikan oleh kontestan dan masyarakat umumnya, yakni “menang” dan “kalah”. Istilah inilah yang mesti dicapai, selama berbulan-bulan bahkan beberapa tahun hanya untuk mendapatkan label istilah kemenangan. “Menang”, pada satu sisi menjadi impian karena menempatkan sebagai policy maker atau pengambil kebijakan, pada sisi lain harus bertanggungjawab terhadap janji politik yang digembor-gembor bahkan menjadi ajang kampaye disetiap kesempatan, dan ini sesuatu yang sulit untuk diwujudkan karena banyak kepentingan yang tidak mudah dihindari. Sementara, “kalah” meskipun pada hakikatnya adalah tujuan mulia yang tertunda, tapi harus merelakan kehendak dan pilihan masyarakat yang sudah cerdas dalam menilai sosok pemimpin yang mengayominya. Karena itu, makna kedua hal ini secara arif dan bijaksana, dan bila perlu meneladankan sikap kesatria lawan politik Barack Obama pada pertarungan Presiden Amerika, yang merelakan turunan kulit hitam itu untuk kedua kalinya, sehingga, meskipun kalah tapi dicatat dengan tinta emas karena menjadi petarung sejati yang siap kalah dan siap menang, sebagaimana diikrarkan siap menang dan juga kalah.
Beberapa bulan kedepan, masyarakat sepucuk Jambi sembilan lurah dapat dipastikan akan dinahkodai oleh tokoh muda progresif, yang diharapkan dapat memenuhi ekspektasi masyarakat akan perubahan ke arah yang lebih baik lagi. Banyak pekerjaan menunggu, misalnya tata kelola kota yang “simpang siur”, tidak beraturan, sampah menjadi pemandangan disetiap langkah yang dituju, dan masalah-masalah lain yang juga tidak kalah penting. Perpaduan kedua tokoh ini: ekonom-penguasaha dengan “ulama”—akademis, dapat menyejukkan relung hati masyarakat yang dipimpininya seraya mewujudkan janji politik yang diujarkannya disetiap kesempatan. Tentu ini tidak mudah, laik membalik telapak tangan atau semudah berteori, tapi bila mempunyai political will dan kerja keras demi dan atas nama masyarakat yang telah mengamanatkan kepercayaannya, semuanya pasti bisa.
Legitimasi yang diberikan kepada pasangan dengan slogan Jambi Baru Pemimpin Baru ini, dianggap “mampu” melakukan ekspektasi masyarakat, bukan maksud mengatakan yang lain tidak sanggup, tapi masalahnya adalah kesempatan. Bambang Priyanto, sebagai incumbent dinilai tidak mampu membawa perubahan yang berarti selama lima tahun kepemimpinannya menuju Jambi Beradat yang Bernas 2013. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada ektabilitas dan public trust kepada pasangan Sum Indra dan Maulana yang tersendera sebagai ban serap akibat pecah kongsi pada memasuki tahun kedua pemerintahannya. Padahal kota Bernas yang menjadi bingkai kerja, terpampang dan menghiasi sudut kota Jambi ini bermuara pada keinginan yang tulus untuk mewujudkan dari cita-cita besar tersebut, tapi masyarakat malah menilai sebaliknya, dengan pertimbangan dan alasan-alasan tersendiri. Paling tidak, inilah salah satu ‘itibar yang dapat dipetik mereka yang membenamkan dirinya pada ranah politik ini, agar tidak mengalami nasip serupa yang dialami oleh kedua incumbent yang terjungkal pada saat kekuasaan dan kekuataan ditangan yang seharunya menjadi modal penting untuk mencapai tujuan, yakni kemenangan tadi.
Terlepas dari itu, masyarakat Kota Jambi pada konteks ini, selaiknya bersyukur karena perhelatan ini berjalan dengan baik, sesuai dengan tahapan yang ditetapkan oleh KPUD. Kelancaran dan kesuksesan ini tidak terlepas dari sikap kedewasaan masyarakat dalam memahami hakikat perbedaan pilihan, yang pada dasarnya tidak bisa dihindari apalagi dilawan karena ia adalah sunah Tuhan yang nampak di alam ini untuk dijadikan rahmat bukan perpecahan. Selain itu, pasangan yang bertarung dalam perhelatan ini nampak menerima hasil yang ditetapkan oleh lembaga resmi, meskipun adanya riak-riak kecil yang muncul kepermukaan namun itu sebagai bumbu pesta demokrasi dan itu dalam bentuk skala yang relatif kecil, tidak signifikan akan merubah keadaan. Di atas semua itu, saatnya masyarakat Kota Jambi menaruh harapan kepada pasangan Fasha Abdullah Sani ini dalam menciptakan kedamaian, kenyaman, kesejahteraan, dan pada masyarakat hendaknya menjadi oposisi kritis-obyektif dalam mengawal roda pemerintahannya. Kesewenangan terjadi di antaranya disebabkan oleh check and balance antara penguasa yang dikuasai (rakyat) tidak berjalan dengan baik, sehingga masing-masing berjalan pada ranahnya sendiri, padahal revolusi terjadi karena kekuatan masyarakat yang mengakar dibelakang kekuasaan.
*Penulis adalah staf Pengajar pada IAIN STS Jambi, fakultas Adab-Sastra dan Kebudayaan Islam
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-pemimpin-baru--harapan-dan-tantangan.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar