Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Rabu, 05 Juni 2013

MK dan Hukum Adat

Musri Nauli, S.H.
Oleh: Musri Nauli, S.H.*
Putusan MK terhadap permohonan pembatalan kata-kata “negara” dalam definisi hutan adat menarik perhatian publik. Sebagaimana kita ketahui berdasarkan Putusan MK Nomor Nomor 35/PUU-X/2012 telah menyatakan “kata negara dalam dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dengan demikian, maka Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”

Demikian juga juga Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan harus dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Begitu juga Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan harus dimaknai “Hutan negara tidak termasuk hutan adat”

Eforia terhadap putusan MK disambut berbagai kalangan. Dalam berbagai media, putusan MK kemudian dimaknai sebagai penghormatan terhadap masyarakat adat.

Catatan Yuridis
Tanpa mengurangi semangat eforia, ada beberapa catatan penting untuk melihat putusan. Pertama. Putusan MK “sebenarnya” bentuk konsistensi” putusan MK yang berkaitan dengan definisi “hak menguasai negara”. Dalam berbagai putusannya, MK selalu mendasarkan “hak menguasai negara” bersandarkan kepada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi ” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Makna ”dikuasai oleh negara” (Hak Menguasai Negara/HMN) sangat berbeda dengan prinsip domein verklaring dalam Agrarische Wet. Dalam implementasinya, MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad). Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945 merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia.

Putusan MK sudah sering mengabulkan “paradigma” hak menguasai negara dalam pandangan konstitusinya. Putusan MK yang Sering mengabulkan permohonan para pihak. (Sekedar contoh dapat dilihat putusan MK 45/PUU-IX/2011, 32/PUU-VIII/2010 dan 34/PUU-IX/2011)

Jadi, Putusan MK tentu saja “meneruskan” paradigma konstitusi mengenai “HMN”.

Kedua. Problema di sektor kehutanan memang menimbulkan persoalan pelik. Terlepas dari penghormatan konstitusi melalui Putusan MK mengenai Desa didalam hutan, Dalam berbagai catatan, masih ada desa didalam hutan sebanyak 18.784 desa atau 26,6% dari jumlah seluruh desa di Indonesia. Bahkan dalam identifikasi oleh Kementerian Kehutanan berjumlah 31.957 Desa.

Sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2003 tercatat sekitar 48,8 juta jiwa atau 22 persen dari 219,9 juta penduduk Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, 10,2 juta jiwa di antaranya masuk dalam klasifikasi penduduk miskin. Dari data tersebut diketahui sekitar 6 juta jiwa penduduk memiliki mata pencaharian langsung dari hutan dan sekitar 3,4 juta jiwa di antaranya bekerja di sektor swasta kehutanan

Problemapun muncul. Apakah status sebagai wilayah adat sudah berhasil diidentifikasikan dan diberi penghormatan oleh konstitusi ?

Ketiga. Lantas apakah putusan MK dapat menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat adat yang berkaitan dengan hutan. Apakah sudah dipersiapkan berbagai infrastruktur terhadap pola penyelesaian terhadap berbagai persoalan yang berkaitan hutan dengan masyarakat ?

Keempat. Apakah simbol-simbol adat seperti “Titian Teras Betanggo Batu atau Cermin Gedang Nan Dak Kabur atau Lantak Dalam Nan Tak Goyah, Kapik Dak Tak Gelensur atau Kato Mupakat atau Tidak Lapuk Di Hujan, Tidak Lekak Di Paneh masih berfungsi ?

Kelima. Apakah masih berfungsinya Struktur Dan Pranata Sosial didalam lapisan masyarakat adat (persekutuan hukum/rechtsgemeenshap). Apakah sistem pemerintahan masih berangkat dari nilai-nilai kearifan lokal (indigenous knowledge). Bagaimana dengan sistem pemerintahan terendah (village government). Apakah masih mengenal seperti dusun, mendapo, nagari, kampung ?

Padahal kita sudah mengetahui, lahirnya UU No. 5 Tahun 1979 tidak hanya mengganti sistem pemerintahan terendah (village government) menjadi seragam, namun “merusak” berbagai struktur dan pranata sosial.

Keenam. Bagaimana nilai dan norma dari nilai-nilai kearifan lokal (indigenous knowledge). Apakah masih “bertahan” atau sudah tergerus dengan perkembangan zaman ?

Mengutip pendapat Ter Haar yang menyebutkan identifikasi masyarakat hukum adat adanya Adanya tempat yang dilarang. Masyarakat bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terdapat dalam hutan.

Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan Penghulu (volkshoofd). Hak ini kemudian dikenal dengan istilah hak Membuka Tanah (ontginningrecht), Hak Menikmati (genotrecht) dan dan memiliki hak terdahulu (voorkersrecht) atas tanah yang digarapnya. Atau biasa juga dikenal ”Qui prior et tempore, potior est in jure orang yang pertama datang adalah orang yang paling pertama mendapat hak.

Sedangkan apabila ditanami tanaman keras dan diberi tanda-tanda berupa tanaman buah-buahan seperti durian, maka hak miliknya dilindungi.

Terhadap masyarakat yang membuka hutan telah sesuai dengan tata cara maka adanya pengakuan hak milik. Hak milik kemudian diakui. Soepmo merumuskan dengan istilah “kepemilikan hak milik membuka peluang bagi pemiliknya untuk berbuat apa saja terhadap tanah yang dimilikinya”. Dalam teori lain disebutkan dengan istilah “tak terpisahkan tetapi dapat dibedakan”

Begitu banyak catatan yuridis yang mendasarkan putusan MK membuat kita berkeyakinan. Putusan MK tidak menyelesaikan berbagai persoalan antara masyarakat adat (rechtsgemeenschap) dengan hutan. Namun Putusan MK “membuka” pintu untuk “sekedar” menengok persoalan antara masyarakat adat dengan hutan. Dan Putusan MK membuka mata kita dan menyadarkan kita, masih banyak yang harus kita kerjakan.

*Advokat, tinggal di Jambi, Anggota Pelanta
Sumber: http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/18893-mk-dan-hutan-adat.html

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2