Wenny Ira Reverawati, S.I.P., M.Hum. |
Oleh: Wenny Ira Reverawati, S.I.P., M.Hum.*
Sejarah bangsa ini mencatat, bahwa pada 1 Juni 1945 telah dirumuskan satu ideologi bangsa yang diambil dari nilai-nilai hidup masyarakatnya dan telah dijadikan pedoman dalam kehidupan bersama sejak berabad lamanya, ialah yang dinamakan dengan Pancasila. Kelahirannya sebagai sebuah ideologi dicetuskan oleh pendiri sekaligus pemikir bangsa dengan kecerdasan luar biasa, dijaman yang menganggap bahwa sebuah ideologi adalah sebuah identitas teramat penting dan merupakan harga mati dalam kerangka kebangsaan dan kehidupan kenegaraan.
Pemikiran untuk mencetuskan ideologi Pancasila saat itu sungguh mendesak, tapi dapat terwujud dengan konsensus yang penuh dengan nuansa intelektual, merangkul segala perbedaan, menyingkirkan arogansi kepentingan pribadi dan golongan, karena satu tujuannya bahwa negara Indonesia yang akan didirikan ini memerlukan satu fondasi bangunan ideologi untuk memperkuat bangunan kenegaraan dan identitas kebangsaannya.
Selanjutnya kita tahu, bahwa sejak dimuatnya Pancasila dalam teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno pada Agustus 1945, ia telah menjadi sebuah perangkat yang menjalin kesatuan sistem hukum di Indonesia dan tempatnya ada pada hirarki teratas. Seiring orde kekuasaan bergulir, kita menyaksikan dalam rekaman catatan sejarah bangsa ini, sebagai sebuah ideologi yang dipersiapkan dalam keadaan darurat itu ternyata mengalami berbagai pasang surut dalam implementasi dan pemahamannya.
Pasang surut Pancasila sebagai sebuah ideologi sejak ia dilahirkan yang bukan dari pemikiran satu orang dan kepentingan yang mengikutinya, adalah hal yang wajar. Bukankah saat itu tugas yang utama adalah merumuskan, dan hal itu bukanlah perkara yang mudah disaat kesadaran akan kebangsaan dan kenegaraan sedang menjadi kebanggaan tersendiri serta merupakan suatu yang penting bahkan sempat menghangat menyulut kegentingan yang bahkan dapat memicu terjadinya peperangan di berbagai belahan dunia.
Menyadari akan hal itu, konsep dan rumusan Pancasila yang berbeda dari ideologi manapun didunia ini dapat kita lihat, siap dirumuskan dan di konsep serta dicapai dalam perjalanan konsensus yang panjang dan alot, tetapi masih meninggalkan satu jejak yang harus diikuti sampai kepada tujuan besarnya, yaitu penjabarannya dalam ranah filsafati sebagai sebuah ideologi bangsa yang merupakan fondasi kehidupan bersama.
Bangsa ini memang punya sejarah kelam ketika Pancasila dijadikan sebagai ideologi yang hanya sekedar alat melanggengkan kekuasaan di bawah rezim orde baru. Tidak dapat saya pungkiri, bahwa dijaman itu yang sempat saya rasakan dalam kesadaran saya meskipun hanya sekejap, Pancasila menggeliat bangun mencari sandaran filsafatnya sebagai sebuah ideologi bangsa meskipun dibawah tekanan implementasi rezim yang dzalim, korup, dan hanya mengandalkan moncong senapan dan selongsong peluru. Tapi, saat itu saya yang baru bertumbuh sebagai remaja seperti halnya Anak Baru Gede (ABG) dijaman keterbukaan, dan wabah kebebasan berdemokrasi ini berlangsung, berhasil memandang dan merekam Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa yang utuh, sakral, tak tergantikan.
Pun ketika saya bertumbuh mengalir bersama era reformasi yang di cangkokkan di negara ini, dan memiliki kesempatan untuk memahami ideologi lainnya yang berkembang didunia dimana ketika rezim orde baru bertahta ada sebagian yang sangat terlarang untuk mempelajarinya, tidak dapat saya temukan tandingan yang dapat mengungguli kejeniusan ideologi Pancasila, kecuali ruang bangunan penjabarannya secara filsafati yang belum banyak terisi dan belum selesai dibangun.
Saat ini, saya bertemu dengan fakta kegelisahan semua orang yang hidup di negara ini untuk merevitalisasi kembali Pancasila ditengah pusaran ideologi lainnya, yang mengalir deras tak terbendung masuk ke seluruh sendi kehidupan, dan tengah berusaha untuk menggesernya menjadi sebuah ideologi yang usang tidak populer, ada juga yang memfitnahnya sebagai sebuah ideologi hasil pembelokan konsensus untuk menyepakati golongan keyakinan tertentu vs keyakinan tertentu.
Mungkin kita telah terlewatkan, bahwa revitalisasi sebuah ideologi itu tidak hanya cukup membawanya ketengah perbincangan, debat kusir, diskusi, keseluruh penjuru tanah air. Apa yang dibutuhkan dalam rumah kebangsaan bernama Indonesia ini, adalah memperkuat dan mempertahankan fondasi bangunan rumahnya agar tidak rapuh gampang rubuh meskipun penghuninya terpolarisasi kedalam berbagai polemik, agar siapapun yang menjadi pemimpin didalamnya tidak sampai terpikir untuk menggadaikan rumah kebangsaan ini demi kepentingan sesaat.
Untuk itu, kita tidak perlu alergi terhadap kata indoktrinasi yang sempat menjadi hantu selama rezim orde baru berkuasa, atau bahkan curiga seperti dunia mencurigai beberapa negara yang masih setia dengan paham komunisme dan bisa bangkit karenanya. Kita dapat belajar dan mengambil hal terbaik darinya, bagaimana mereka menjalankan sebuah perangkat ideologi, menanamnya disetiap sanubari dan lahan kehidupan bernegara, tapi dengan cara-cara yang kita tahu tidak boleh mengulanginya kembali, yaitu daur ulang demi status quo dan kepentingan tertentu. Bukankah ideologi tanpa indoktrinasi sama seperti halnya pepesan kosong?
Begitu juga, indoktrinasi tanpa persiapan dan kelengkapan perangkat penjabaran filsafatinya bagaikan menghadapi lawan tanpa peta strategi kekuatan? maka sudah saatnya bangsa ini memformat pemikir-pemikir cerdas yang tak kalah jeniusnya dengan pendiri bangsa ini, untuk mewujudkan bangunan filsafat ideologi pancasila, dan juga mempersiapkan langkah penanamannya dijalan yang tidak alergi terhadap indoktrinasi yang justru terhadap ideologi bangsa sendiri. Kita dapat belajar dari negara lain, bahwa bangunan bangsa yang kuat dibangun terlebih dahulu dari politik yang berlandaskan ideologi yang juga tertanam dalam galian fondasi yang dalam.
Semoga tulisan ini dapat menjadi alarm kesadaran saya dan anda semua, dimana generasi sekarang, yang tengah baya menyingkir dari ideologi Pancasila dan memilih merangkul ideologi yang pro terhadap kepentingan hedonis sesaat, kemudian mewariskannya kepada yang muda untuk tidak mau susah memahami ideologi Pancasila sebagai jati dirinya yang merupakan bangsa Indonesia.
*Dosen di jurusan Ilmu Pemerintahan dan merupakan Wakil Ketua II Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah Jambi, juga anggota Komunitas Penulis Jambi, Pelanta.
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-mencari-jalan-revitalisasi-pancasila.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar