Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Senin, 03 Juni 2013

Catatan Drama Sejarah Sultan Thaha Saifuddin Produksi Teater Air Jambi

Nukman, S.S., M.Hum.
Drama Sejarah yang Bersejarah
Oleh: Nukman, S.S., M.Hum.*
Cahaya lampu panggung Teater Arena Taman Budaya Jambi menggerayangi tubuh para aktor Drama Sejarah Sultan Thaha pada 28 Mei 2013. Alunan musik sesekali terdengar lirih mengantarkan pilu bersama beberapa orang terkapar. Panggung yang mulanya terang, berangsur gelap,  lalu disambut dengan tepuk tangan penonton, yang kemudian menjadi adegan akhir dari pertunjukan Drama Sejarah Sultan Thaha Saifuddin Jambi Karya/Sutradara EM. Yogiswara.
Pertunjukan Drama Sejarah Sultan Thaha Saifuddin berlangsung dari tanggal 28 – 31 Mei 2013. Malam itu (28 Mei 2013), ratusan penonton dari berbagai kelas sosial hadir menyaksikan pertunjukan yang berangkat dari sebuah peristiwa sejarah perjuangan Sultan Thaha, dan pada malam itu pula, Teater Air telah mencatat sejarah di tahun ini, sebagai group teater pertama yang mementaskan Naskah Drama Sultan Thaha Saifuddin.
 
Usai menyaksikan pertunjukan ini, saya mencoba untuk menyimpulkan beberapa peristiwa yang dihadirkan oleh para aktor yang tergabung dalam Teater Air ini. Pertama, Sultan Thaha merupakan sosok yang taat beragama. Kedua, Sultan Thaha menolak semua bentuk perjanjian yang telah dibuat oleh Ayahnya dengan Belanda. Ketiga, Sultan Thaha tidak pernah mau bernegosiasi dengan Belanda, dan Keempat, pertunjukan ini seakan menyembunyikan satu peristiwa penting, yaitu penghianatan terhadap Sultan Thaha (mungkin saja).
 
Klimaks pertunjukan ini dibangun dari masuknya Residen yang diperankan oleh Randa Gusmora dan Letkol GW Beeger yang diperankan oleh Sean Popo Hardi. Usai pembicaraan Letkol GW Beeger memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan pasukan, dan juga melakukan negosiasi kepada Sultan. Selain adegan itu, dialog Sultan kepada pasukan Fisabillah yang berisikan “tempat kita sudah diketahui musuh”, dan juga dialog yang berisikan  “menurut gerak perasaan saya, suatu malam mendekat fajar akan ada perang besar di Betung Berdarah […..]”  Menyiratkan pesan, bahwa Sultan telah mengetahui terjadinya penghianatan atas dirinya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.
 
Tersurat pada Sinopsis pertunjukan, Sultan Thaha Saifuddin yang hidup di tahun 1816 sampai tahun 1904 adalah Sultan terbesar di Jambi. Ia sangat taat kepada agama Islam. Pada masa hidupnya. Belanda telah menanamkan pengaruh kekuasaannya di Jambi. Sebagai umat muslim yang taat, Sultan Thaha tak mengenal komporomi dengan penjajah Belanda. Karenanya Sultan Thaha selalu dikejar-kejar Belanda. Untuk kepentingan Perjuangan, Sultan Thaha Saifuddin rela meninggalkan Kota Jambi menuju daera-daerah pedalaman. Di Bungo, dan Tebo, Tembesi, misalnya, ia membuat kubu pertahanan dan melaksanakan perang gerilya. Karena Sultan Thaha Saifuddin sangat tangguh dengan penderiaannya dalam menghadapi Belanda, dan rela mengorbankan segala-galanya demi agama Islam dan pembangunan masyarakat Jambi. Maka tidak mengherankan bila masyarakat Jambi menjadi pengikutnya, dari hari-hari senantiasa bertambah [……..]   
EM. Yogiswara berada pada posisi yang sulit dalam menyelesaikan naskah dan pertunjukan ini, sebuah naskah yang berangkat dari fakta sejarah perjuangan Sultan Thaha. Mengungkapkan penghianatan terhadap Sultan Thaha atau sekedar memberi legitimasi akan sebuah perjuangan bersejarah di negeri Jambi? Posisi sulit ini, telah dilewati EM. Yogiswara dengan memosikan diri hanya sebagai kreator yang mengadaptasi sejarah sebagai sumber kekaryaannya. Apa yang menjadi rahasia di balik perjuangan Sultan Thaha adalah tanggungjawab bersama yang mesti di suguhkan dengan cara yang lebih “nyaman”.

Naskah Drama Sejarah Sultan Thaha karya/Sutradara EM. Yogiswara telah melewati satu lorong sempit yang berliku, tidak mudah untuk mengadaptasi fakta sejarah ke panggung teater. Akan tetapi, untuk langkah awal, EM. Yogiswara bersama Teater Airnya telah memulainya dengan menyuguhkan sebuah pertunjukan di tengah gersangnya pertunjukan Teater di Jambi.
 
 Di kali lain, insan teater Jambi dapat melirik kembali dokumen-dokumen arsip yang kononya belambun dan selama ini tersimpan itu, untuk kemudian satu persatu dapat ditransformasi ke dalam bentuk Pertunjukan. Penonton teater di Jambi, tentu saja menanti suguhan pertunjukan yang dapat memberi pengetahuan akan serentetan fenomena sejarah yang ada di Jambi, untuk kemudian dijadikan catatan harian pada ruang sunyi yang telah dihantui ketidaktahuan. Arsip yang tersimpan sebagai dokumen penting itu; dengan pendekatan metode peneltian sejarah, dapat membantu kita untuk masuk ke dalam peristiwa masa lalu yang tidak kita saksikan.
 
 Jika Meneliti dan Menuliskan Sejarah, maka kita akan teringat akan Ranke dan Lucien Febvre(salah satunya). Marihandono(2009) dari terjemahannya atas buku Peter Burke,  menyebutkan bahwa Lepold Von Ranke telah memulai penelitian kesejarahannya dengan menjadikan arsip pemerintah sebagai sumber peneltiannya. Paradigma Ranke ini adalah tuntutan untuk setia kepada apa yang tertulis di dalam arsip sebagai sumber tulisan mereka. Bagi mereka, sejarah adalah sebagimana adanya dahulu, sebagaimana tertulis di dalam arsip.
 
 Paradigma Ranke ini kemudian dibantah oleh sebuah mazhab bernama Annales, yang beranggapan bahwa sejarah bukan hanya menyoroti tokoh-tokoh ternama, tetapi juga mencakup seluruh masyarakat yang membentuk suatu struktur tertentu. Penganut mazhab ini tetap memanfaatkan dokumen sebagai sumber, dengan membuat penafsiran yang lebih mendalam sampai pada “apa yang ada di balik tulisan dokumen itu.” Sehingga tidak hanya dokumen berupa arsip, tetapi juga mata uang, pedang, dan lain sebagianya. Kaitannya dengan sumber yang dijadikan EM. Yogiswara dalam penulisan Naskah Drama Sejarah Sultan Thaha, secara perlahan --untuk menuju kesempurnaan-- EM Yogiswara telah masuk ke dalam dua pendekatan ini. Semoga.
 
*Pemerhati Budaya, Anggota Pelanta
 Kalibatas, 31 Mei 2013

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2