Citra Darminto, S.I.P., M.I.P. |
Saat ini banyak kita jumpai demo - demo bayaran yang bermunculan di negeri ini, aspirasi seolah dapat dipengaruhi dengan oleh kwitansi. Nuansa kebebasan dalam demokrasi.mengalami kemajuan, namun semua hanya ilusi. Masih banyak rakyat yang buta demokrasi murni dan makna aksi.
Sebuah syair keprihatinan penulis terhadap demokrasi, karena masih sedikit aksi - aksi yang menyuarakan kebenaran. Aksi dijalankan lebih berorientasi kepentingan politik perorangan ataupun institusi tertentu.
Pendemo bayaran adalah lapangan pekerjaan baru di Indonesia. sehari penuh turun aksi hanya di bayar Rp 50.000, dari orang tua, hingga anak muda turut serta didalamnya. kebanyakan dari mereka turun satu keluarga. Hanya demi uang Rp 50.000 seorang. jika satu keluarga beranggotakan 3 orang. keluarga itu telah menghasilkan Rp 150.000 setiap aksi.
Fenoma ini sungguh sangat memprihatinkan, sebuah keluarga mau turun aksi sehari penuh hanya demi Rp 50.000 perorang, tanpa peduli apa yang disuarakan di aksi itu, bagi mereka yang penting dapat uang. Hal ini menunjukan kurang sejahternya rakyat dan masih banyaknya pengangguran di negeri ini. Bayangkan saja banyak orang tua lebih menyuruh anak mereka yang masih sekolah untuk ikut aksi, hanya demi uang gratifikasi. Uang memang telah membutakan matahati rakyat Indonesia, mulai dari pejabat yang korup hingga masyarakatpun ikut turut. Jadi tidak mengherankan jika data survey lembaga politik baru-baru ini menunjukkan bahwa 70,8 % masyarakat lebih memilih caleg yang mempunyai uang ketimbang yang berintegritas.
Mengenali Demo Bayaran
Kejadian demontrasi pajak terhadap keluarga Nurdin Hamzah, menggelitik penulis, penulis bertanya kepada pendemo, ternyata para pendemo tidak mengetahui nama orang yang di demo, tidak tahu masalah yang sedang mereka perjuangkan. Contoh si X (28 tahun), pengunjuk rasa tidak mengetahui, masalah didemokan, Warga Telanaipura ini mengaku diajak berdemo oleh temannya. Saat itu ia tengah mangkal di pangkalan ojek dan diminta bergabung untuk berdemo dan cuma dibayar sebagai pengganti ongkos ojek Rp 30.000.
Contoh lain, demo kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Kerinci, dalam aksinya menuntut Mantan Anggota DPRD periode 2008-2013 berinisial AM segera di eksekusi, Namun, begitu ditanya siapa nama mantan anggota dewan tersebut, mereka geleng-geleng kepala, yang anehnya demo tersebut dilakukan setelah ada pemberitaan konfrensi pers oleh mantan anggota DPRD tahun 2004-2009 berinisial AM membongkar kasus fee proyek 2008 yang terjadi terhadap anggota DPRD 2004-2008 Kabupaten kerinci, anehnya mantan anggota DPRD 2004-2009 kabupaten Kerinci penerima fee proyek tersebut tidak di demo, malah jadi boomerang. Si pembongkar kasus fee proyek tersebut malah di demo..
Modus lain pendemo mengaku dari kelompok mahasiswa dan memakai jaket almamater sebuah universitas. Namun, setelah dicermati lebih dekat, kampus mereka dicurigai fiktif. Ada juga modus menggunakan nama organisasi lengkap dengan atribut. Setelah dicek ternyata organisasi pendemo kadang tidak dikenal, tidak jelas nama dan riwayat pembentukannya. Jadi, terkesan asal-asalan dan spontan.
Bagaimana dengan pelaku orasi? . Dalam berbagai macam demonstrasi, ada beberapa oratornya yang itu-itu saja. Sang orator memang terlihat mahir berorasi, suaranya lantang, kendati isinya tidak bermutu dan tidak banyak berbeda.
Demo-demo bayaran diatas biasanya suka mencari simpati agar dilihat dan diliput oleh media massa. Karena eksistensi mereka dipandang sebelah mata serta tema demo yang tak menarik, mereka akan mencari perhatian dengan berbuat anarkis. Untuk itu, biasanya ada satu oknum pendemo yang bertugas memancing atau memanas-manasi suasana, entah itu mengolok-olok atau dengan melemparkan sesuatu ke arah petugas.
Sebagai penutup, penulis sangat ingat dalam gerakan Mahasiswa 1997-1998 yang berhasil menumbangkan rezim otoriter dan sarat KKN di era orde baru, namun saat ini, gerakan mahasiswa selanjutnya diterjemahkan sejumlah kelompok sebagai alat efektif untuk melakukan protes. Dan tidak jarang aksi unjukrasa saat ini hanya menjadi alat untuk melegitimasi kepentingan politik tertentu. Para oknum tidak tanggung-tanggung menyewa para preman untuk melakukan teror dengan meminjam istilah demonstration for democracy. Bahkan, ada juga unit mahasiswa saat ini melakukan demonstrasi dimotori oleh kepentingan tertentu. Demonstrasi berubah fungsi, tidak sekedar sebagai alat kontrol demokrasi, namun lebih pada komoditas ekonomi belaka. Mereka (para demonstran) mendapat bayaran, sehingga tidak jarang demonstrasi dilakukan bak orang kerasukan setan. Sehingga nilai demonstrasi pada demokrasi menjadi democrazy, orang yang dipenuhi nafsu kegilaan (setan).
Ciri khas negara demokrasi adanya kebebasan untuk bersuara dan berpendapat yang sering diterjemahkan oleh masyarakat saat ini dengan istilah demonstrasi atau unjukrasa. Untuk menyampaikan aspirasi, tentu ada tahap-tahapannya, mulai dari musyawarah, usulan, aksi turun ke jalan hingga gerakan mosi tidak percaya menyeluruh. Sebagai manusia yang beradab, sudah semestinya kita menggunakan cara yang elegan dan asertif untuk bersuara dan berpendapat. Pendemo yang tidak jelas ini perlu segera dihentikan dan dicari otak intelektualnya, Ini merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pihak-pihak terkait seperti BIN, Polda, Kesbanglinmaspol dan Satpol PP, merumuskan mana demonstrasi yang diizinkan dan mana yang harus dilakukan tindakan represif.
*Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi dan anggota Pelanta.
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-fenomena-demonstran-bayaran.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar