Musri Nauli, S.H. |
Eksekusi Susno Duaji tidak berhasil dilakukan oleh Kejaksaan. Demikian berita yang berseliweran di berbagai media massa. Berita itu mengalahkan berita akan naiknya BBM, berita tentang Eyang Subur dan tentu saja meninggalnya Dai Uje.
Eksekusi Susno kemudian memantik perdebatan yang sangat alot. Dalam salah satu berita yang telah dirilis media massa, Susno Duadji sempat dijemput paksa di salah satu rumahnya di kawasan Bukit Dago Resort, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada Rabu, 24 April 2013 sekira pukul 10.20 WIB.
Eksekusi dilakukan oleh tim gabungan dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Kejati Jawa Barat, dan Kejaksaan Negeri Bandung, menggunakan 10 mobil. Terlihat puluhan petugas memasuki rumah Susno yang didominasi cat putih tersebut melalui samping rumah. Namun petugas tidak berhasil mengeksekusi Susno.
Eksekusi dilakukan oleh tim gabungan dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Kejati Jawa Barat, dan Kejaksaan Negeri Bandung, menggunakan 10 mobil. Terlihat puluhan petugas memasuki rumah Susno yang didominasi cat putih tersebut melalui samping rumah. Namun petugas tidak berhasil mengeksekusi Susno.
Seperti diketahui, saat ini Komjen Pol (Purn) Susno Duadji selalu berdalih tidak mau ditahan atas kasus dugaan suap Rp 500 juta terkait penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari dan kasus pengamanan Pilkada Jawa Barat tahun 2008 yang menguntungkannya dirinya hingga Rp 4, 2 miliar karena berlindung dalam pasal 197 KUHAP. Padahal, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memutuskan Susno bersalah dalam dua perkara korupsi, yakni kasus penanganan perkara PT Salwah Arowana Lestari (SAL) dan kasus dana pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008.
Dari dua perkara yang dihadapi Susno, terkait PT PAL, dia didakwa karena menerima hadiah Rp 500 juta untuk mempercepat penyidikan kasus itu, dimana dia menjabat sebagai sebagai Kabareskrim. Sedangkan saat dirinya menjabat sebagai Kapolda Jabar, dia memotong dana pengamanan sebesar Rp4,2 miliar untuk kepentingan pribadi.
Atas perbuatannya, Susno diganjar hukuman 3,5 tahun penjara. Mendapat vonis ini, Susno lantas mengajukan Kasasi. Namun, MA menolak kasasi Susno. Susno juga sudah tiga kali mangkir dari panggilan Kejaksaan. Kini Susno telah ditetapkan sebagai buronan
Perdebatan dimulai dengan “mengutak-atik” pasal 197 ayat (2) Huruf K KUHAP.
Yusril sebelumnya bertindak sebagai pengacara Parlin Riduansyah, dia dulu pernah mengajukan uji materi pasal tersebut ke MK namun ditolak. Pasal 197 ayat (2) KUHAP tidak dapat dipisahkan dari pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sehingga harus dibaca “Surat putusan pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Sedangkan pasal 197 ayat (2) menegaskan “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum".
Silang sengkarut mulai muncul. Bagaimana apabila terhadap putusan yang tidak mencantumkan agar “supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, tidak dibuat baik mulai dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga ke Mahkamah Agung?
Secara sederhana, mungkin kita dengan mudah beranggapan, ya, tidak bisa dilaksanakan eksekusi karena pada pengadilan sebelumnya sama sekali tidak mencantumkan mengenai hal itu. Tapi tentu saja tidak sesederhana demikian. Putusan MK menyebutkan menolak permohonan Pasal 197 (1) k lalu mengadili sendiri dengan menyatakan pasal 197 (2) huruf k, inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan mengikat.
Dalam perkara yang telah diputuskan oleh MK, harusnya dibaca lebih utuh. Pertama. Terhadap permohonan dari Yusril sebelumnya bertindak sebagai pengacara Parlin Riduansyah ternyata ditolak. Sehingga dalil yang sering disampaikan di berbagai media massa tidak tepat.
Kedua. MK sendiri telah merumuskan, Pasal 197 ayat (2) huruf “k” KUHAP apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD, tidak mempunya kekuatan hukum mengikat. Ketiga, yang harus dipahami mengenai pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP yang berbunyi “Surat putusan pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, berkaitan dengan putusan yang masih belum inkracht. Putusan ini harus dilihat dari putusan yang lebih tinggi. Asas ini biasa dikenal dengan “asas res judicata pro veritate habetur”.Dengan demikian maka pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP lebih dimaknai kata-kata “supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” masih dalam proses yang belum selesai.
Keempat. Putusan pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung sudah bersifat final. Sehingga bisa dieksekusi. Putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung yang sudah inkracht harus dibaca sebagai putusan judek jurist yang menterjemahkan para terdakwa harus menjalani pemidanaan. Bukan tahanan.
Kelima. Pasal 197 (1) k, dibaca satu nafas dengan pasal 1 angka 21 KUHAP, pasal 21 juncto pasal 22, juncto pasal 26, juncto pasal 27, juncto pasal 28, dan pasal 193 dan pasal 242.
Pasal tersebut menerangkan arti dari penahanan dimana dalam pasal itu disebutkan kalau penahanan itu satu proses dari persidangan guna kepentingan pemeriksaan persidangan, aritnya ketika satu keputusan sudah incracht tidak perlu lagi ada penahanan. Penahanan yang diputuskan dalam putusan atau perintah penahanan itu hanya berlaku untuk putusan PN dan PT Sedangkan putusan MA tidak memerlukan mengenai penahanan sebagaimana diterangkan didalam pasal 193 dan pasal 242
Dengan melihat analisis yang telah disampaikan, maka sudah semestinya, menggunakan tafsiran pasal 197 ayat (2) KUHAP tidak tepat. Putusan final (inkracht) Mahkamah Agung sudah bisa dieksekusi.
*Advokat, tinggal di Jambi, Anggota Pelanta
Tidak ada komentar :
Posting Komentar