Budaya patronase yang berkembang di Indonesia tidak hanya di birokrasi ternyata tumbuh juga di partai politik. Banyak partai politik yang masih menerapkan sistem politik dinasti (kerabat keluarga). Bahkan ditemukan partai politik yang mencalonkan nucleus family yang terdiri dari, bapak-anak atau ibu-anak, hal ini tentunya menggambarkan bahwa partai politik cenderung menjadi milik segelintir elit atau keluarga tertentu. Sehingga bebas memasukkan keluarganya dan ini merupakan cerminan mandeknya proses rekrutmen dan kaderisasi oleh partai politik. Sehingga tanpa selektif semua dimasukkan untuk memenuhi ketentuan undang-undang.
Politik kekerabatan merupakan bias dari manajemen partai yang oligarkis, parpol yang ada sekarang belum menunjukkan ciri sebagai partai modern. Selain itu, parpol belum mempraktekkan sistem keterbukaan. Iklim parpol yang oligarkis ini cenderung menjadi penyebab keinginan partai untuk memperbanyak lingkaran kekerabatan pada kekuasaan, parpol yang masih kental dengan aroma kekerabatan sudah menjadi bukti bahwa Indonesia terseok-seok karena aroma nepotisme masih kuat. Mereka berpengaruh dalam pengambilan keputusan di Partai menentukan daftar caleg sesuai selera dan kepentingan mereka. Proses rekrutmen caleg berdasarkan hubungan keluarga ini akan merusak mekanisme kaderisasi partai politik.
Sebab seharusnya, dan idealnya, promosi kader dilalui dengan kaderisasi. Sehingga ada pemahaman visi partai, ideologi, dan loyalitas. "Jangan ujug-ujug jadi caleg," hanya karena nepotisme dan kemampuan finansial. Hal lain dari fenomena ini, juga menunjukan bahwa orientasi elite partai hanya untuk berkuasa dan menumpukkan kekuasaan.
Politik dinasti sebenarnya sudah ada sejak zaman Soekarno-Hatta. Seolah kultur Indonesia (kekeluargaan, kekerabatan) telah menjadi tradisi hingga sekarang. Disamping itu talenta politik seolah telah diturunkan dari bakat orang tua. Talenta Bung Karno diturunkan kepada Megawati Soekarnoputri, dilanjutkan dengan Puan Maharani. Demikian juga dengan SBY dengan Ibas. Mohammad Hatta dengan Meutia Hatta. Hal serupa juga sering terjadi di negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Singapura, di mana pihak-pihak yang memiliki hubungan kekerabatan sama-sama terjun langsung ke ranah politik.
Namun menurut penulis bagaimanapun juga keputusan terakhir ada pada rakyat sebagai pemegang hak suara. Jika memang para tokoh tersebut dinilai tidak cukup layak untuk menjadi pejabat atau wakilnya di parlemen, maka rakyat patut memberikan sanksi dengan cara tidak memilihnya sebagai anggota legislatif. Mengenai apakah keluarga itu bisa dipercaya atau tidak oleh publik, masyarakat akan menghukumnya sendiri dengan tidak memlihnya.
Adanya dinasti politik ini justru bisa dibuat sedemikian rupa, dengan kesadaran dari semua, namun tetap dengan kontrol dari masyarakat. Sementara saat ini persoalannya, tidak ada teori politik umum yang bisa menjelaskan dalam demokrasi Indonesia.
Selain itu, keterbukaan politik tidak semua masyarakat bisa memahaminya. Memang dinasti politik ini sudah bagian dari negara Indonesia sejak dulu, dari sistem kerajaan yang ada. Namun, keberadaan dinasti ini jangan sampai berdampak negatif dalam politik, dan juga jangan sampai terjadi perebutan dinasti yang merugikan masyarakat dan negara.
Untuk itu, dinasti politik ini sudah menjadi kultural, tetapi tetap jangan sampai sistem dinasti ini menjadi sesuatu yang struktural dan jangan sampe ini mempengaruhi pertarungan politik yang menjadi perhatian masyarakat banyak. Hal yang harus di ketahui bahwa dinasti politik menjadi paradoks. Karena Satu sisi negara telah jalankan demokrasi tapi sisi lain demokrasi itu justru menyuburkan politik dinasti. Oleh sebab itu sudah saatnya ke depan, partai mempromosikan bakal caleg ataupun bakal kandidat dalam pemilukada secara obyektif dan transparan, sehingga masyarakat tidak lagi dibodohi.
*Penulis adalah Dosen dan Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah Jambi serta anggota PELANTA.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar