Dr. Elita Rahmi, S.H., M.H. |
Oleh: Dr. Elita Rahmi, S.H., M.H.*
Dunia hukum, sedang mempertontonkan uji shahib kewenangan Jaksa eksekutor dalam menemukan Susno Duadji yang telah diputus pengadilan dan berkekuatan hukum tetap (infracht) bahwa Susno Duaji terbukti bersalah (Vonis hakim menjatuhkan 3,5 tahun penjara) atas kasus Korupsi PT Salmah Arowana Lestari plus kasus korupsi dana pengamanan pilkada Jawa Barat. Kinerja Jaksa Eksekutor sangat dinantikan seluruh rakyat Indonesia? Semoga Susno, dengan kesadaran hukum yang tinggi tidak menambah catatan panjang buruknya negeri ini memaknai cara berhukum. Andaikan Susno sudah tertangkap, manuver apalagi yang akan dilakoni Susno. Pengejaran konon masih terus berlangsung, mudah-mudahan ketika susno ditemukan tidak dalam dalih sakit lupa ingatan.
Betapa buruknya cara kita berhukum di negeri ini, Susno yang dikenal sebagai pendekar hukum Indonesia, justru menjemeeh hukum secara terbuka. Sesat pikir, sesat niat untuk menegakkan hukum bukanlah sesuatu yang kesatria. Untuk Sumber daya manusia sekelas Susno.
Pepatah minang menyebut “ awak yang tidak pandai menari, lantai yang disalahkan” sangat tepat untuk memotret sesat niat Susno dalam berhukum, Alias Susno tidak mau di hukum berdalih, kealpaan mencantukam Pasal 197 ayat 1 huruf “k” UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, dan kesalahan penulisan nomor putusan, sekalipun hal tersebut terkait dengan persoalan administrasi, namun tidak terkait dengan kekuatan hukum infracht.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 69/PUU/X/2012, tegas menyatakan bahwa tidak ada korelasi untuk menyebut atau tidak menyebutkan dalam putusan, menyebabkan putusan batal demi hukum. Artinya pasal pasal itu bersifat alternatif dan tidak mutlak. Mengapa kemudian pihak-pihak melarikan duduk persoalan infracht pada yang lain (Pemuatan pasal 197 ayat 1 huruf “k” KUHAP). Kepentingan siapa apa di balik ini semua?
Betapa rusak binasanya hukum, apabila batal demi hukum diterjemahkan secara perorangan, atau main hakim sendiri oleh Susno Komjen Polisi (pur). Siapa lagi yang harus menghormati hukum, apabila penegak hukum menodai hukum secara terbuka. Tidak akan pernah ada satu kekuatan pun yang mampu membatalkan suatu keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap kecuali menggunakan upaya hukum lain. Prinsip kepastian hukum ini menjadi demikian penting, untuk dipahami oleh semua orang bahwa masing-masing kita harus berada pada koridor kewenangan masing-masing.
Memandang hukum dari kaca mata kuda, akan memburuk kondisi hukum yang ada. Persoalan kekeliruan penulisan nomor putusan dalam kasus Susno, jauh dari korelasi mengugurkan materi perkara. Alias lain ladang lain belalang. Sesuatu yang tidak kontektual.
Hukum tidak pernah tidur, ada baiknya Susno tafakur meresafi filosofi kekuatan hukum tetap (inkrach). Tidak mendengar orang-orang yang melakukan sesat pikir, hanya karena tidak memandang persoalan hukum secara holistik, satu kesatuan hukum yang utuh. Perdebatan kusir tentang Kusno harus diakhiri.
Dalam penantian pelarian Sus”No”, seluruh rakyat berharap, kapan kinerja jaksa eksekutor menemukan Suno. Apa perlu bantuan seluruh rakyat untuk menghadirkan Susno melaksanakan hukum. Tukang bisik Susno. Mari kita hormati hukum secara legowo. Hukum adalah cermin budaya bangsa Indonesia.
*Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi (PELANTA)
Dimuat di Opini Harian Jambi Ekspres, Sabtu, 4 Mei 2013
Tidak ada komentar :
Posting Komentar