Bahren Nurdin, S.S., M.A. |
Oleh: Bahren Nurdin, S.S., M.A.*
Publik kembali terhenyak ketika diberitakan di berbagai media Kepala Sekolah SMU N 8 Tangerang ternyata pecandu narkotika jenis sabu-sabu. Dunia pendidikan (kembali) tercoreng. Melalui lembaran opini ini saya ingin sedikit melihat persoalan ini lebih luas dan komprehensif. Secara singkat, tentu persoalan ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari curat marutnya system pendidikan di negeri ini. Kita boleh saja menyebut kasus ini sebagai kasuistis yang berarti hanya sebagai kasus tertentu yang tidak boleh di-generalisasi. Namun, tentu kita juga tidak bisa melepaskan pandangan umum bahwa dengan kasus ini, dan beberapa kasus serupa lainnya yang akhir-akhir ini diberitakan, menggambarkan ada kerapuhan di dalam sistem pedidikan kita.
Kepala sekolah yang seharusnya menjadi panutan bagi guru dan murid (paling tidak) di sekolahnya malah melakukan tindakan yang melawan hukum dengan mengkonsumsi narkotika. Sebagaimana juga pernah saya tulis melalui opini koran ini bahwa inilah salah satu bentuk dari premitifisme kaum intelektual. Bahwa sebenarnya sistem pendidikan kita belum berhasil menjadikan manusia Indonesia ‘seutuhnya’ sebagaimana cita-cita luhur pendahulu negeri ini. Pendidikan kita hanya berhasil mencetak para ‘intelektual semu’. Kaum intelektual yang sesungguhnya gersang akan nilai-nilai.
Kita merasa selama ini, paling tidak beberapa dekade terakhir, telah mencetak manusia-manusia Indonesia yang cerdas tapi sebenarnya kita sedang memproduksi kaum-kaum intelektual yang primitif. Sungguh sangat ironis. Kita mengira, bangsa ini sedang mencetak penerus bangsa yang tangguh, tapi ternyata tidak lebih dari memproduksi robot-robot yang primitif. Kepala mereka diisi dengan ilmu pengetahuan tapi gersang nilai-nilai. Hati mereka kering kerontang. Mereka berpacu mencapai nilai tinggi atau berlomba mengalahkan orang lain dengan berbagai cara yang tidak benar. Halal dan haram, benar dan salah, merugikan orang lain atau tidak, bukan lagi menjadi persoalan selagi mereka menjadi yang ‘terbaik’.
Level kepala sekolah selayaknyalah ditempati oleh orang-orang yang berkualitas dan unggul dari berbagai aspek, baik aspek akademik mau pun non akademik. Ketika sistem pendidikan kita terlalu mendewakan angka sebagai satu-satunya penentu ‘keunggulan’ seseorang, maka nilai-nilai seperti moral, etika, religiusitas, sosial, dan lainnya akan terabaikan. Artinya, ketika seseorang memiliki nilai tinggi dalam penilaian akademik (raport, Indeks Prestasi, dsb) maka dia dianggap paling baik tanpa melihat bagaimana nilai itu didapat. Padahal kemampuan kognitif tidak selalu berbanding lurus dengan nilai-nilai seperti moral dan etika. Itulah faktanya yang sedang kita hadapi sekarang. Kita sangat yakin bahwa kepala sekolah yang ‘terperangkap’ narkoba ini telah memiliki kemampuan akademik yang dibutuhkan untuk menjadi kepala sekolah, tapi ternyata belum memiliki nilai-nilai ‘kepantasan’ untuk menjadi tauladan bagi orang di sekitarnya.
Selain itu, dunia pendidikan kita saat ini juga telah terjangkit penyakit politik praktis yang hitam dan bernoda. Tidak dapat dipungkiri, baik langsung maupun tidak langsung, kepala sekolah ditunjuk oleh kepala daerah (bupati atau wali kota) yang tentu saja penuh dengan muatan dan kepentingan politis. Kita bisa melihat akhir-akhir ini di berbagai daerah termasuk di Jambi tentunya, kepala sekolah dibongkar-pasang oleh para penguasa. Celakanya lagi, karena pertimbangannya semata kepentingan politis maka tidak jarang terpilih kepala sekolah-kepala sekolah yang ‘abal-abal’. Hal semacam inilah kemudian yang mendatangkan kehancuran yang luar biasa. Banyak kepala sekolah baru yang stress karena mengetahui dirinya belum siap untuk menjadi pemimpin yang berujung pada penyimpangan seperti narkoba. Dampak dari politisasi birokrat pendidikan semacam ini juga membuat orang-orang yang benar-benar memiliki kompetensi akan tersingkirkan. Maka jadilah negeri ini dipimpin oleh manusia-manusia ‘abal’abal’. Jadi jika ada kepala sekolah yang nyabu itu bukan sebab tetapi akibat dari kompleksitas persoalan system pendidikan kita saat ini.
Dalam bukunya “Islam and Secularism”, Prof. Naquib Al-Attas memang sudah mengingatkan kita semua bahwa ada tiga perkara penting yang sedang dihadapi umat saat ini yaitu 1. loss of adab (kehilangan adab), 2. Hilangnya keadilan (justice), dan 3. Confusion of knowledge (kekacauan ilmu pengetahuan. Memang tidak mudah menjabarkan tiga point penting ini, namun secara gamlang dapat dipahami bahwa saat ini peradaban kita dihadapkan dengan manusia-manusia yang tidak beradab, anti keadilan, dan orang-orang pintar (memiliki ilmu pengetahuan) tetapi ilmunya tidak mampu memberi manfaat untuk orang lain.
Akhirnya, jika saat ini sabu masuk sekolah maka kita tidak bisa semata menyalahkan oknum yang berbuat. Akan tetapi, kita harus melihat masalah ini dari akar persoalannya yaitu sistem pendidikan kita yang ada saat ini. Sudah saatnya kita kembali menata ulang cara pikir kita bahwa seseorang tidak boleh dilihat hanya dari kemampuan kognitifnya (otak) saja tetapi juga nilai-nilai yang ada pada dirinya. Sistem pendidikan kita sudah harus diarahkan pada kulitas bukan kuantitas (angka) semata agar sabu tidak terus masuk sekolah. Jika tidak, yakinlah akan ada pabrik sabu di sekolah.
* Pengamat pendidikan Jambi dan Anggota PELANTA
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-sms-sabu-masuk-sekolah.html
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-sms-sabu-masuk-sekolah.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar