Jasril Josan |
Gejolak perkembangan sistem pendidikan nampaknya semakin hari semakin jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri. Hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang sama terasa kandas hanya karena biaya yang sangat mahal. Dengan keadaan ini pula prestasi terkadang menjadi perhitungan terakhir dalam kompetisi penerimaan mahasiswa baru. Pada akhirnya biaya pendidikan mahal mengancam generasi-generasi muda berprestasi yang tidak memiliki biaya pendidikan untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Tingkat biaya pendidikan yang mahal ini akan dirasa oleh orang tua, terlebih ketika anak sudah mulai beranjak melangkah ke perguruan tinggi. Para calon mahasiswa dan orang tuanya harus mulai memilih program studi (prodi) yang sesuai dengan cita-cita anak.
Namun, tidak kalah penting adalah mencermati biaya pendidikan di setiap program studi yang nilainya berbeda. Pada umumnya, biaya pendidikan pada prodi favorit seperti pendidikan dokter, hukum, dan eksakta patokan biaya masuknya lebih mahal bila dibandingkan dengan prodi yang lain karena lebih banyak di minati. Tentu saja biaya pendidikan tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga.
Dengan keadaan demikian sehingga banyak orang tua yang terpaksa mengurungkan niat mereka untuk melanjutkan cita-cita anaknya. Sebagai contoh: dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan tingkat keinginan pelajar yang lulus di bangku SMA untuk dapat menimba ilmu di Fakultas Kedokteran. Tragedi di lapangan kembali terjadi, di mana mereka di hadapkan dengan tingginya Sumbangan Pengembangan dan Pembangunan Pendidikan (SP3) yang nilainya mencapai puluhan juta rupiah yang mesti di sumbangkan. Belum lagi pembiayaan untuk SPP biaya praktek, dan biaya liar yang lainnya.
Melihat situasi ini memunculkan pertanyaan, apakah orang miskin dilarang menjadi seorang dokter?. Memang tak bisa dipungkiri satu, dua, tiga bahkan lebih mereka yang tergolong ekonomi menengah ke bawah ada yang berhasil lolos dari jebakan tawar-manawar harga bangku yang mencekik, akan tetapi itu persentasenya sangat kecil sekali. Andaipun lolos pada tahap seleksi, calon mahasiswa yang tingkat ekonominya menengah ke bawah harus berlomba-lomba dengan mereka yang ekonominya di atas rata-rata demi mendapakan beasiswa yang pembangiannya tidak merata. Bagaimana bisa demikian?, tidak lain tujuan dari diberikannya beasiswa itu sendiri seutuhnya di peruntukan untuk mahasiswa yang memang membutuhkan, dengan persyaratan tidak terlalu sulit yaitu harus melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari daerah tempat dia berada. Naasnya lagi-lagi pemalsuan identitaspun tak terhindarkan. Banyak dari mahasiswa golongan menengah ke atas yang berhasil menerobos hak dari mahasiswa golongan menengah ke bawah yang semestinya menjadi hak mereka yang kurang mampu secara finansial.
Bukan itu saja, mahalnya biaya pendidikan di Indonesia dirasakan hampir diseluruh lapisan masyarakat. Salah satunya karena ketidakseimbangan pembiayaan yang dikenakan perguruan tinggi pada tiap-tiap jurusan yang berbeda-beda. Satu contoh setiap fakultas kedokteran di perguruan tinggi negeri. Biaya kuliah di fakultas ini luar biasa mahal dan bila di totalkan rata-rata mencapai ratusan juta rupiah.
Dengan adanya sistem yang tidak bersinergi ini beberapa hal yang kemungkinan akan terjadi: Pertama, tidak singkronnya antara mahasiswa dengan dosen. Karena pada diri mahasiswa atau mahasiswi tidak tertanam konsep-konsep kedokteran itu sendiri, melainkan jurusan atau fakultas yang dipilih atas keinginan orang tua dan mereka bukanlah dalam golongan orang yang kreatif untuk bisa menerima pembelajaran dengan baik. Hal ini di akibatkan ketika duduk di bangku SLTA mereka mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) atau Ilmu Pengetahuan Bahasa (IPB). Sewajarnya untuk memperoleh pendidikan yang baik di kedokteran mestinya mereka berada pada jurusan IPA di SLTA.
Kedua: biaya pendidikan yang mahal memungkinkan mahasiswa menuntut hak-hak mereka. Seperti, adanya menuntut fasilitas-fasilitas yang bagus, ruang praktek yang serba lengkap dan lain-lain. Apakah benar adanya kualitas yang layak yang diberikan?
Mempelajari dari keadaan di atas tidak mengherankan lulusan yang dikeluarkan perguruan tinggi tersebut sangat diragukan. Mengapa demikian? Karena semua lulusan, baik itu kedokteran, kebidanan dan lain-lain, kesemuanya itu berproses dalam sebuah sistem yang tidak sehat, sehingga berdampak buruk pada masyarakat. Ini dapat dilihat dari seringnya diberitakan banyak pelaporan kasus seperti malapraktek dan pelayanan kesehatan yang kurang baik.
Tidak hanya itu, biaya pendidikan yang mahal akan mengurungkan niat pemerintah untuk memberlakukan kesehatan gratis bagi masyarakat banyak. Bagaimana tidak, adanya gaji yang di tawarkan pemerintah tidak berimbang dengan seberapa banyak yang telah mereka keluarkan selama menempuh bangku pendidikan tersebut.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus mampu mengatur sistem kehidupan masyarakat dengan mengupayakan pendidikan yang sejatinya bukan hanya untuk golongan mampu tetapi untuk semua. Dengan kata lain pendidikan untuk semua yang di maksud adalah terselenggaranya sebuah moto pengajaran yang akan membawa bangsa Indonesia ke dalam sebuah bentuk kesadaran. Sudah saatnya pemerintah bersinergi dengan pihak penyelenggara pendidikan (Perguruan Tinggi Negeri), agar kasus-kasus miris tersebut tidak terulang kembali. Sehingga apa yang telah menjadi program dari pemerintah untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat dapat berjalan secara optimal.
*Mahasiswa FKIP Universitas Jambi, Anggota Pelanta.
Dimuat di Opini Harian Jambi Ekspres, Senin, 20 Mei 2013
Tidak ada komentar :
Posting Komentar