Ditutup Tanpa Jalan Keluar
Oleh: Dr H Suaidi Asyari, MA, Ph.D.*
Setiap elemen masyarakat memang harus tanpa ragu mendukung pemerintah dan unsur kelompok lainnya yang telah membantu masyarakat mengambil langkah penutupan “Gang Dolly”, termasuk “Gang Dolly” Jambi beberapa hari yang lalu. Mengapa?
“Gang Dolly” sekarang bisa dijadikan ikon bagi nama lain lokalisasi prostitusi di Indoneisa untuk ditutup. Kalau di Jambi “Gang Dolly”nya adalah yang dulunya RT Lima, Pucuk, atau Payo Sigadung. Penutupan Gang Dolly secara resmi dibawah kebijakan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini diyakini kehendak rata-rata warga negara terlepas dari apapun agama, jabatan, dan status sosialnya. Penutupan Gang Dolly adalah lokalisasi ketiga terbesar yang ditutup oleh pemerintah setelah penutupan Keramat Tunggak oleh Gubernur Jakarta Sutiyoso 1999 yang lalu.Oleh: Dr H Suaidi Asyari, MA, Ph.D.*
Setiap elemen masyarakat memang harus tanpa ragu mendukung pemerintah dan unsur kelompok lainnya yang telah membantu masyarakat mengambil langkah penutupan “Gang Dolly”, termasuk “Gang Dolly” Jambi beberapa hari yang lalu. Mengapa?
Mengapa ada “Gang Dolly”?
Tidak seperti anggapan keliru sejumlah orang sepanjang sejarah, profesi prostitusi atau pelacuran bukanlah profesi tertua, tetapi perbudakan. Profesi lebih tua dari itu adalah “pasar perbudakan perempuan”, laki-laki memasarkan/menjual perempuan untuk dijadikan prostitusi untuk saling menguntungkan.
Prostitusi adalah unjuk supremasi kuasa laki-laki terhadap perempuan (Andrea Dworkin, 1994). Jika ada perempuan yang menjual perempuan, maka mungkin ada kelainan karena dia menggunakan supremasi kuasa laki-laki tadi.
Ketika ada laki-laki yang mengetahui bahwa ada laki-laki lain yang mempunyai kebutuhan seks melebihi dari rata-rata laki-laki lainnya, maka akal bisnisnya berkerja. Menurut sejumlah kajian, terdapat sekitar 3% dari laki-laki adalah hyperseks, mempunyai kebutuhan seks melebihi rata-rata, (Kaplan dan Kruefer 2010).
Jika jumlah pengunjung “Gang Dolly” melebihi dari 3%, maka mungkin karena lokaliasi itu sudah mempunyai alamat dan mudah dicari. Sebagian karena hanya mencoba-coba dan lalu ketagihan, atau laki-lakinya datang dari wilayah lain. Bukan dari wilayah lokalisasi itu.
Dalam penelitian lainnya (M. Alexis Kennedy, 2004), ditemukan bahwa sekitar 60% pengunjung lokalisasi adalah mereka yang mempunyai isteri. Bahwa isterinya tidak tidak mengakui atau tidak mau tau, tentu perlu penelitian lain. Sekitar 80 % adalah mereka yang mempunyai pekerjaan tetap.
Seperti terlihat, menjadi pekerja seks bukanlah pilihan perempuan, tetapi jalan keluar yang diberikan oleh laki-laki terhadap keperluan atau problem yang dihadapi laki-laki lain di bumi ini. Perempuan masuk dalam akal bisnis laki-laki ini.
Karenanya, sejumlah hasil penelitian menyatakan bahwa di tengah malam tertentu di lokalisasi ada shalat tahajjud, ada tangisan keperihan hati, ada keputus asaan, ada gelinang air tanpa asa, ada rasa benci tak terkira namun juga tak rerucapkan. Dan berbagai perasaan hati perempuan lainnya. Perasaan lumrah seorang ibu yang telah melahirkan seluruh manusia laki-laki di dunia ini.
Namun juga ada kepalsuan; senyum dan tawa, rayuan dan gombal kepalsuan, patuh dan taat yang penuh dengan kepalsuan. Francisco Burzi mencatat bahwa lebih dari 90% prostitusi menyatakan mereka ingin keluar dari “Gang Dolly” sesegera mungkin tapi keputusan tidak berada di tangan mereka, di tangan pemegang supremasi kuasa.
Mengapa Harus Ditutup
Ketika lokalisasi sudah tersedia, maka bermunculanlah aktivitas bisnis lainnya yang sejalan dengan bisnis seks itu, perjudian, narkoba, penipuan dan sejenisnya.
Dampak lebih jauhnya adalah penyakit menular kelamin yang menakutkan, kriminalitas yang menggelisahkan, dan pelampiasan sementara problem yang dihadapi laki-laki dalam keluarga, kantor, bisnis dan sebagainya. Maka ringkasnya, komplekslah fungsi dari lokalisasi.
Karenanya untuk tujuan jangka panjang yang tidak politis, pendekatan hukum saja dengan menutup paksakan tidak cukup untuk menyelesaikan masalah prostitusi ini. Dia akan pengap, atau menjadi “bisul” yang siap pecah kapanpun dan dimanapun bagi laki-laki yang 3 % tadi. Perlu ada upaya lain dengan melihat aspek lain dari keberadaan “Gang Dolly” ini, dan tentu saja melibatkan orang lain, seperti akademisi.
Jalan Keluar Supaya Tidak Pengap
Apa yang dilakukan oleh sebagian laki-laki untuk menyelesaikan sementara problem yang dihadapi saudara sejenis kelamin itu tentu dianggap telah membantu oleh yang 3% tadi. Tetapi sudah sangat nyata bantuan ini mempuanyai dampak sangat buruk bagi dunia, sosial, lingkungan keluarga, kriminalitas, dan tentu akhirat (bagi yang beragama).
Islam memberi dua jalan keluar, bersifat temporal dan permanen. Bagi yang tingkat kebutuhan tingginya tidak permanen, maka “Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung unta, maka ia (isteri) tetap tidak boleh menolak (HR: Ibnu Majah). Artinya, dalam kondisi darurat, seorang isteri sebijaknya mengerti kebutuhan suaminya. Tentu suami juga harus mengerti, masak kondisi darurat terus sepanjang waktu.
Sedangkan bagi yang tingkat kebutuhan tingginya bersifat permanen, maka Islam membuka pintu darurat permanen bagi sebagian dari 3% tadi dengan persyaratan tertentu.
Sebagai contoh, seorang suami dengan usaha sukses dengan zakat lebih dari Rp. 1 milyar/tahun. Karenanya mungkin setiap jenis kendaraan mewah yang masuk pasaran kotanya sudah dimiliki atau bisa dimiliki jika mau, sudah mengerjakan haji dan umrah berulang kali, makan selalu bergizi, sehat dan halal. Namun tetap saja kebutuhan yang tadi itu “sangat tinggi”. Begitu tingginya menimbulkan kekhawatiran yang melanggar agama. Maka Islam membuka pintu darurat: “...maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja...” (Q, 4:3).
Ini tentu saja hanya berlaku bagi Muslim yang percaya dengan rukun iman yang kelima, yaitu kitab-kitab Allah, diantaranya Al-Qur’an secara keseluruhan isinya. Kemampuan berlaku adilpun, dialah yang mengetahui dengan Tuhannya. Artinya, yang berbicara bukan logika nafsu saja, tetapi lebih dominan logika beragama.
Disamping itu, setinggi apa tingkat kebutuhan itu? Hanya dia dan Allah-lah yang mengetahui. Tetapi tentunya tidak salah, sekiranya menggunakan uji diteksi teknologi dengan bimbingan dokter. Sehingga keputusan untuk membuka pintu darurat tadi mempunyai pertimbangan pihak ketiga secara scientific. Bukan menjual ayat Tuhan untuk kepentingan sesaat saja.
Kesimpulan
Dengan demikian, untuk menutup “Gang Dolly” supaya tidak pengap, supaya bersifat permanen, maka perlu kerja sama berbagai pihak. Khusus bagi suami-insteri yang merasa ada problem “berlebihan” tadi, maka kerja sama yang ikhlas sangat dibutuhkan. Karena sesungguhnya “Gang Dolly” itu muncul sebagai pintu keluar lain, ketika pintu keluar resmi tidak dibuka dengan arif oleh orang-orang yang menghadapi masalah tadi. Karena sebagian yang lainnya mungkin karena hanya ikut-ikutan saja. Penulis tentu tidak mengetahui siapa yang ikut-ikutan dan siapa pula yang susungguhnya mempunyai masalah yang kemudian menjadi “panutan”. Semoga bermamfaat.
*Direktur Eksekutif CSCIIS Jambi dan Ketua Forum Dekan Fak. Ushuluddin se-Indonesia*
Sumber: http://jambiekspres.co.id/berita-18095-gang-dolly-pengap.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar