Wenny Ira Reverawati, S.I.P., M.Hum. |
Oleh: Wenny Ira Reverawati, S.I.P., M.Hum.*
Pemilu 2014 kali ini merupakan ujian bagi penyelenggara pemilu yang sebenarnya. Bagaimana tidak demikian, sebab pemilu 2014 banyak dinyatakan oleh berbagai kalangan terutama kontestan peserta dalam pemilu legislatif 9 April kemarin, sebagai pemilu yang luar biasa “gila”, dimana politik transaksional mengkooptasi penyelenggaraan pemilu dari berbagai lini, dengan bentuk yang semakin sistemik maupun tetap pada bentuk yang kasar.
Bentuk yang kasar dari politik transaksional masih berlaku dijalankan sebagaimana terjadi pada penyelenggaraan pemilu 2009, yaitu dengan memberikan secara langsung sejumlah uang pada besaran tertentu atau berupa pemberian barang kepada pemilih untuk mendukung kandidat tertentu. Kali ini tak tanggung-tanggung jumlahnya, jika pada pemilu 2009 hanya dimainkan besaran sebesar lima puluh ribu rupiah perkepala pemilih, pemilu 2014 bahkan ada yang berani memberikan sejumlah lima ratus ribu rupiah perkepala pemilih. Dalam bentuk yang kasar ini, kandidat legislatif yang bermain dalam politik transaksional dapat menggelontorkan uang dalam jumlah sekitar dua milyar rupiah, dan paling sedikit sebesar lima ratus juta rupiah, untuk mendapatkan dukungan legitimasi suara agar dapat duduk sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif DPR maupun DPRD, juga DPD. Jumlah yang sekian itu, akan tetapi belum tentu berhasil memuluskan jalan kandidat legislatif, bahkan ada sebagian yang telah menggelontorkan sejumlah puluhan milyar tidak berhasil sama sekali duduk dikursi legislatif yang diidamkan.
Pada bentuk yang kasar dapat dilihat langsung bagaimana politik transaksional di jalankan. Lain pula pada bentuk yang sistemik, dimana politik transaksional dijalankan secara terorganisir dan birokratis. Bentuknya adalah dengan menyuap penyelenggara pemilu dari level atas hingga level bawah, dari manajemen penyelenggara maupun pengawas pemilu. Suap tidak hanya semata mempengaruhi kinerja penyelenggara pemilu dengan memberikan sejumlah imbalan tertentu untuk meloloskan berkas-berkas administrasi, atau berkas-berkas yang terkait suara pemilih pada saat pemilihan. Secara terorganisir dan sistemik, manajemen penyelenggara pemilu diduduki oleh individu-individu yang telah direkrut oleh kekuasaan dimana lembaga pemilu berdomisili.
Kuasa kekuasaan menempatkan wakilnya pada lembaga penyelenggara pemilu dari level atas hingga bawah, apalagi ditingkat manajemen hingga pengawas, sudah merupakan hal yang tidak dapat dinafikkan lagi. Syarat menjadi anggota penyelenggara pemilu memang tidak terkait dengan partai politik kebelakang selama lima tahun. Akan tetapi, banyak organisasi sayap partai seperti organisasi kepemudaan, organisasi yang berbentuk jama’ah, dan beberapa organisasi keagamaan yang memiliki kecondongan secara politis terhadap jejaring sosial dan politik tokoh maupun partai, dapat berperan sebagai modal memasuki lembaga penyelenggara pemilu, dan memainkan taktik transaksional politik secara sistemik dan manajemen. Apalagi dibeberapa tempat seleksi penerimaan anggota penyelenggara pemilu, mensyaratkan individu yang mengikutinya memiliki track record atau afiliasi didalam organisasi massa sedemikian rupa.
Masih dalam rangka kuasa kekuasaan menempatkan wakil pada lembaga penyelenggara pemilu, jika tidak melalui jalan organisasional, maka dapat dilakukan dengan jalan patron and klien. Dimana patron kekuasaan menempatkan klien-klien disekitarnya pada lembaga penyelenggara pemilu, dengan cara melakukan pesan-pesan intimidatif dan atau pesan-pesan yang sengaja dihubungkan terhadap tim seleksi anggota penyelenggara pemilu yang juga telah direkrut dan ditempatkan berdasarkan kuasa kekuasaan. Lingkaran patron and klien ini, sengaja menyusup kedalam lembaga penyelenggaraan pemilu, untuk memuluskan jalan eksistensi kekuasaan selama beberapa periode, apakah itu pada hajatan pemilihan kepala daerah, maupun untuk kepentingan mendulang suara partai politik dan hegemoni kekuasaan berbasis partai yang dapat dijadikan sarana pemilihan kepala daerah terutama, dan pemilu-pemilu selanjutnya.
Ujian integritas penyelenggara pemilu ini, merupakan fakta bahwa kekuasaan bukan sesuatu yang tanggung untuk didapatkan atau diraih dan digenggam. Barangsiapa yang dapat menguasai keseluruhan jalannya sistem, maka dialah sang pengendali yang dengan bebas menentukan arah dan anomali kekuasaan melangkah dan mengambil bentuknya. Tak heran jika pada pemilu legislatif 9 April, penyelenggara pemilu seperti tumpul secara manajemen menghadapi segala kasus pelanggaran dan kesalahan-kesalahan administratif yang berbentuk manajerial lainnya.
Secara terang kita dapat melihat kepada contoh fakta, lolosnya berkas-berkas calon legsilatif bermasalah, salah pendistribusian kertas suara, penghitungan ulang, ketidak telitian menghitung hasil pada kertas data perolehan suara, adanya kertas suara kosong yang dipergunakan secara bebas melibatkan warga dan penyelenggara pemilu sendiri untuk mendulang suara kandidat dan partai tertentu, alokasi kertas suara pada daerah terpencil yang tidak terawasi dengan baik, dan masih banyak lagi.
Lembaga penyelenggara pemilu yang merupakan manajemen penyelenggara pemilu, merupakan titik tumpu kualitas penyelenggaraan pemilu. Keberadaannya dibangun untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang adil, bersih, jujur, berkualitas, independen, berintegritas untuk menegakkan demokrasi yang berpihak kepada kepentingan rakyat, dan masa depan bangsa selama lima tahun bahkan pada efeknya bertahun-tahun kedepannya lagi, diharapkan akan terus menjunjung integritasnya, sehingga kepercayaan terhadap demokrasi dan legitimasi kekuasaan yang terbentuk karenanya akan tetap terjaga dimata rakyat.
Tapi bagaimanakah jadinya jika lembaga penyelenggara pemilu sudah terkooptasi sedemikian rupa oleh kepentingan kekuasaan, dengan pola politik transaksional sedemikian rupa secara sistemik? Manajemen yang baik adalah manajemen yang bekerja tanpa tendensi melayani kepentingan tertentu apalagi kekuasaan diatasnya, tetapi melayani apa yang seharusnya dilayani oleh manajemen, sehingga kinerjanya akan menebarkan manfaat dan kebaikan. Dalam hal pembenahan dan penguatan sumber daya manusia penyelenggara pemilu, tidak akan dapat berjalan selama secara manajemen penyelenggara pemilu tidak dapat membersihkan dirinya dari gangguan sistemik penyelenggaraan pemilu yang telah menyandera independensi serta integritas penyelenggara pemilu.
Semoga seluruh jajaran penyelenggara pemilu, dapat melalui ujian integritas ini dengan baik, dan kedepan dapat menyajikan penyelenggaraan pemilu yang warna demokrasinya tidak sekeruh tahun politik 2014 ini.
Semoga seluruh jajaran penyelenggara pemilu, dapat melalui ujian integritas ini dengan baik, dan kedepan dapat menyajikan penyelenggaraan pemilu yang warna demokrasinya tidak sekeruh tahun politik 2014 ini.
Dimuat di Opini Harian Pagi Jambi Independent, 28 Mei 2014
Sumber: http://homosocialpoliticus.blogspot.com/2014/05/ujian-integritas-penyelenggara-pemilu.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar