Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Jumat, 06 Juni 2014

Pahlawan dan Kepahlawanan

Afriyendy Gusti, S.S., M.Hum.
Sebuah Catatan terhadap Pementasan Raden Mattaher
Oleh: Afriyendy Gusti, S.S., M.Hum.*
Setelah sukses memperkenalkan konsep sajak bersayap pada 28 November 2013 di Kantor Bahasa Provinsi Jambi, E.M. Yogiswara kembali menunjukkan prestasi berkeseniannya melalui pementasan Raden Mattaher pada 5 Mei 2014 di Teater Arena, Taman Budaya Jambi. Saya katakan prestasi karena naskah pementasan ini ditulis langsung oleh EMY, sapaan akrab Yogiswara. Seingat saya, naskah ini adalah naskah kedua EMY yang bertema pahlawan setelah sebelumnya mengangkat Sultan Thaha. Memang, bagi insan teater, menulis naskah merupakan sebuah kerja yang tidak asing lagi bahkan sebagian menganggap sebagai keniscayaan. Akan tetapi, menulis naskah tentang tokoh merupakan sebuah tantangan yang tidak mudah. Secara simultan, penulis harus memahami horison harapan masyarakat tentang cultural hero, kearifan lokal masyarakat (local genius), maupun idealisme berkesenian yang diyakininya.
Raden Mattaher sebagaimana juga halnya dengan Sultan Thaha Saifuddin adalah tokoh yang sudah menjadi ikon Provinsi Jambi. Kedua tokoh ini memiliki kata kunci yang sama, yakni perjuangan. Nilai-nilai yang mereka perjuangkan, cara berjuang yang mereka pilih, dan (konon) epilog perjuangan mereka pun beralur relatif sama. Hal ini kemudian menjadi argumen yang masuk akal untuk menjelaskan apresiasi positif masyarakat Jambi sehingga menyandangkan predikat pahlawan kepada mereka.

Hal itu pula yang kemudian dipresentasikan kembali oleh EMY dalam garapan Raden Mattaher. Sebelumnya, saya sempat menduga bahwa pementasan ini akan melulu didominasi oleh tokoh utama sebagaimana lazimnya karya dengan tema biografi atau ketokohan. Namun, hal ini terbantah sendiri begitu mengikuti cerita tiap babak yang dihadirkan. Faktanya, melalui pementasan yang berdurasi ± satu jam, EMY berusaha konsisten menonjolkan alur perjuangan Raden Mattaher sebagaimana label “drama sejarah” yang diusungnya.
 
Ada tiga tokoh yang saya tandai hingga pementasan berakhir, yakni tokoh Raden Mattaher, tokoh Ngebi Kadir, dan tokoh Pangeran Ratu. Ketiga tokoh ini, bagi saya, terlihat menonjol pada babak-babak tempat mereka tampil. Tokoh Raden Mattaher memang sudah sewajarnya menonjol pada pementasan ini karena tajuk pementasan mengusung namanya. Berbeda masalahnya dengan dua tokoh lainnya, yakni Ngebi Kadir dan Pangeran Ratu. Ngebi Kadir adalah tokoh pribumi yang konon dekat dengan Raden Mattaher, tetapi berafiliasi dengan Belanda. Sementara itu, Pangeran Ratu adalah tokoh pribumi yang menolak untuk lekas percaya terhadap orang asing meskipun dengan dalih menjadi sekutu.
 
Penandaan terhadap tokoh-tokoh tersebut di atas merupakan efek dari bentuk pementasan yang digarap EMY. Menurut saya, pola garapan yang dipilih EMY lebih mengarah pada pola grouping. Bentuk ini didasarkan pada alur cerita, kuantitas pemain yang hadir di panggung, dan distribusi dialog yang cenderung ping-pong. Meskipun demikian, pola keaktoran sebagai ciri khas AiR masih terlihat sekurangnya pada tiga babak. Bagian inilah yang (seolah disengaja) kemudian mengerucut ke dua tokoh, yakni Ngebi Kadir dan Raden Mattaher. Berbeda dengan itu, tokoh Pangeran Ratu justru tertandai sebagai yang (juga) ingin dimunculkan terlihat dari perannya sebagai poros konsentrasi dialog.

Oposisi Hitam Putih
Konsekuensi pengerucutan tokoh tersebut adalah terbangunnya dikotomi antagonis dan protagonis. Belanda sebagai musuh konvensional menjadi bagian yang tidak begitu penting untuk ditonjolkan. Peran tokoh Ngebi Kadir yang berafiliasi dengan Belanda terasa sudah cukup representatif. Perang konvensional justru kalah menarik dengan perang simbolis. Sebaliknya, taktik diplomasi dan iming-iming justru menjadi bagian yang menarik untuk diungkapkan. Meskipun demikian, sudut pandang sejarah akan tetap menempatkannya pada sisi kelam karena terdefinisikan sebagai pengkhianatan. Inilah fungsi penghadiran tokoh Ngebi Kadir.
 
Berbeda dengan itu, tokoh Raden Mattaher merepresentasikan pemertahanan hak hidup di negeri sendiri. Keterbatasan ruang dan peralatan bukan menjadi alasan untuk tunduk. Konsistensi terhadap idealisme menjadi anasir inti penanda kebijaksanaan. Hal ini kemudian digenapi dengan sudut pandang sejarah yang menempatkannya pada sisi putih karena terdefinisikan sebagai pahlawan. Inilah fungsi penghadiran tokoh Raden Mattaher.
 
Sejalan dengan Raden Mattaher, tokoh Pangeran Ratu pun merepresentasikan hak serupa. Meskipun kuantitas kehadirannya tidak seperti dua tokoh sebelumnya, tokoh Pangeran Ratu mampu mencuri perhatian melalui sikap percaya diri dan mandiri. Sifat selektif dalam berkoalisi menjadi fungsi penghadiran tokoh ini. Selektif mencerminkan gaya berpikir analitis yang bertumpu pada data dan metodologi.

Nilai Kepahlawanan
Sebagaimana lazimnya penghadiran karya seni (sastra), pementasan naskah Raden Mattaher ini pun tentu mengusung sejumlah pesan yang relevan untuk konteks hari ini. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh filsuf Prancis bahwa sejarah akan berulang (le histoire se repete), lakon kepahlawanan Raden Mattaher pun dapat diperankan dalam panggung kekinian. Inilah fungsi kebermanfaatan karya sastra bagi manusia. Unsur cerminan realitas (mimetic) menjadi penaut agar sebuah karya tidak raib terbawa angin.
 
Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, pementasan Raden Mattaher telah membangun dikotomi antagonis dan protagonis. Kedua kata ini melingkupi sifat-sifat yang sekaligus menjadi identitas pelakunya. Tokoh Ngebi Kadir, misalnya, mencirikan semangat kontrapahlawan dengan orientasi pencapaian kepentingan pribadi dengan mengorbankan harga diri dan kepentingan bersama (bangsa). Secara eksplisit, hal ini diwujudkan dengan perilaku menjilat, egois, dan hipokrit. Sementara itu, semangat kepahlawanan dicitrakan melalui tokoh Raden Mattaher dan Pangeran Ratu dengan orientasi pencapain kepentingan bersama (bangsa). Secara eksplisit, hal ini diwujudkan dengan perilaku bijaksana, berharga diri, selektif, tegas, dan konsisten.

Ketika AiR Mengalir
Secara umum, pementasan menjadi bukti keseriusan Teater AiR untuk terus berproses. Secara kuantitas, Raden Mattaher adalah produksi ke-31 Teater Air. Secara kualitas, terjadi peningkatan terhadap proses kreatif, terutama untuk beberapa hal teknis. Prestasi paling menonjol dalam pementasan ini adalah pada properti, tata panggung, dan tata cahaya.
 
Berbeda dengan beberapa pementasan sebelumnya, penggunaan properti pada pementasan kali ini terasa lebih efisien. Jika pada pementasan sebelumnya masih ditemukan properti mati (teranggurkan), pementasan kali ini justru sebaliknya, satu properti dapat difungsikan untuk beberapa adegan. Penyusunan berikut mobilisasi properti yang melibatkan pemain dan/atau kru (versi Teater Koma disebut orang hitam) saat perpindahan adegan atau babak patut diacungi jempol.
 
Tata panggung juga mengalami peningkatan yang signifikan. Luas panggung dapat dikendalikan (disiasati) dengan bantuan lampu yang menegaskan ruang fungsional panggung sehingga penonton tetap fokus pada pemeranan atau dengan kata lain penonton tidak menyadari bahwa sesungguhnya panggung lebih luas dari yang seharusnya. Pengondisian fokus tontonan ini merupakan hal teknis yang perlu dipentingkan untuk menjaga konsentrasi dan animo menonton.
 
Meskipun demikian, teknik pemeranan merupakan bagian yang tetap menarik untuk dikritisi. Eksplorasi vokal dan olah tubuh (gesture) berikut tempo permainan sepertinya belum tergarap secara maksimal. Tempo permainan yang relatif cepat berefek pada olah tubuh dan improvisasi pemain. EMY seperti menyadari hal ini lantas menyiasatinya dengan menyusupkan beberapa aktor senior ke dalam grup, tetapi tanpa disadari hal itu justru memarginalkan peran tokoh lain. Secara pribadi saya justru terkesan dengan improvisasi sederhana dari (kalau tidak salah) tokoh Raden Akhmad yang berdilog sembari (terkesan) membersihkan bagian bibir sumur pada babak terakhir. Hal ini menjadi terlihat karena secara umum, pemain terlalu berkonsentrasi dengan dialog masing-masing konsekuensi dari pola ping-pong.

Apendiks
Upaya pengangkatan tema pahlawan bahkan cultural hero dalam bentuk pementasan teater belum banyak dilakukan berbeda dengan film yang sudah tak terbilang lagi kuantitasnya. Khusus untuk Provinsi Jambi, upaya ini perlu mendapatkan dukungan serius yang bersifat masif dari pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Hal ini didasarkan pada asumsi sulitnya untuk menghasilkan sebuah karya yang berkaitan dengan sejarah. Ketersediaan dan akses kepada data menjadi kunci dari karya sastra sejarah. Meskipun karya jenis ini tetap dianggap sebagai karya seni, sastra tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kearifan lokal masyarakat. Sebagai kearifan lokal, seni dan/atau sastra menjadi salah satu bagian dari peradaban karena peradaban bersumber dari kebudayaan. Untuk itu, akan lebih bijaksana jika kebudayaan tidak hanya dimaknai secara tradisional sebagaimana yang didefinisikan oleh Koentjaraningrat, yakni sebagai  keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar, tetapi mesti lebih luas ke tingkat kebiasaan hidup (common senses) yang terpola hari ini. Dengan langkah inilah, kiranya, asumsi Peursen tentang kebudayaan sebagai sesuatu yang direncanakan dapat dipahami. Bagaimanapun juga, kebudayaan adalah sejarah dan sejarah, sebagaimana alam, adalah guru, guru kehidupan.

*Staf Teknis Kantor Bahasa Prov. Jambi, Anggota Pelanta.
Dimuat di Kolom Pujangga Harian Pagi Jambi Ekspres, Minggu, 18 Mei 2014

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2