Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Jumat, 06 Juni 2014

Teks-Teks yang Merindu Pemimpin

Oleh: Thahjono Widarmanto*
Tersebutlah, seorang yang bernama Kleistenes hendak mengubah sistem pemerintahan Kota Athena. Sebuah majelis pun diben­tuk secara terbuka, lahirlah demokratia. Peristiwa ini terjadi pada 508 SM. Semen­jak itulah, rakyat, individu-individu dalam masyarakat, dapat terlibat dan ikut bagian dalam memilih pemimpinnya sesuai dengan citranya, bah­kan dapat pula menawarkan dirinya untuk dipilih menjadi pemimpin.
Dalam putaran sejarah beri­kutnya, demokrasi menjadi sebuah harapan untuk me­nemukan dan menentukan pemimpin. Demokrasi men­jadi sebuah pesta, bahkan pasar, untuk menawarkan jago-jago yang diharapkan dapat menjadi pemimpin yang memenuhi harapan yang lebih cemerlang di masa depan.

Apa boleh buat, yang na­manya pasar selalu menye­diakan komoditas yang pada ujungnya tidak selalu bisa memuaskan hasrat kon­sumennya.

Obsesi, harapan, dan citra pemimpin telah menjadi has­rat perenungan sejak berabad-abad lampau ketika manusia berkenalan dengan kekua­saan.

Teks-teks sastra (bahkan teks yang lain!) selalu hadir den­gan penawaranpenawaran pemikiran, itu berarti selalu menawarkan dunia yang ideal. Wolfgang Iser menyebutnya se­bagai teks yang mampu meng­hadirkan yang tidak hadir, mementaskan apa yang tidak terpentaskan, bahkan meng­hadirkan permasalahan yang tak bisa dituntaskan dalam realitas keseharian.

Obsesi tentang pemimpin dan kepemimpinan pun men­jadi inspirasi berbagai teks, terutama teks-teks sastra.

Garry Yukl mendefinisikan kepemimpinan sebagai pe­rilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitasak­tivitas suatu kelompok menuju share goal atau satu tujuan, yang hendak dicapai bersama (Hemhill, 1957). Senada den­gan pendapat itu, Rauch dan Behling (1984) mengatakan bahwa kepemimpinan ada­lah proses memengaruhi aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi untuk pen­capaian tujuan. Kedua penda­pat tersebut mengisyaratkan bahwa pemimpin dan cara memimpin (kepemimpinan) merupakan satu kesatuan.

Teks-teks di berbagai bela­han dunia dan berbagai za­man telah memimpikan citra pemimpin dan kepemimpi­nan yang ideal. Teks Rama­yana dari India yang diang­gap sebagai salah satu teks epos dunia, dalam salah satu episodenya, yaitu Arranya Kanda, yang kemudian disalin dan diadaptasi dalam bahasa Jawa dalam Kakawin Rama­yana, memaparkan delapan sifat ideal yang harus dimiliki seorang pemimpin.

Di Jawa dan Bali banyak teks yang juga merindu pemimpin dan kepemimpinannya. Kakawin Gajah Mada den­gan bertumpu pada sosok Gajah Mada, mahapatih Ma­japahit termasyhur, digam­barkan sepuluh ajaran dan sikap pemimpin. Di era ka­pujanggan, citra dan gagasan
pemimpin menjadi tema sen­tral dalam teks-teks Jawa. Di antaranya Serat Rama (ditulis oleh R.Ng. Jasadipoera), Serat Praniti Praja, Serat Wulan­greh (Paku Buwana IV), Serat Wedhatama (Mangku Negara IV), Serat Laksita Raja (Mang­kunegara VII), dan sebagainya. Bahkan, sebelumnya, di per­adaban Jawa Kuno ditemukan teks Tantri Kamandaka yang sudah menyebutkan citra pemimpin.

Teks Melayu Lama juga menghadirkan citra pemimpin dan gagasan kepemimpinan.

Taj us-Salatin (Mahkota Ra­ja-Raja), sebuah mahakarya yang dikarang oleh Bukhari al-Jauhari (1630), merupakan sebuah kitab rujukan dalam memimpin. Di belahan dunia yang lain, di Eropa, pada 1513 muncullah sebuah teks ber­judul II Principe yang ditulis Niccolo Machiavelli. Teks ini menjadi sebuah rujukan yang realistis bagi seorang pen­guasa dan pemimpin.

Lalu bagaimanakah impian-impian teks itu dalam dunia nyata? Demokrasi adalah pasar. Pasar tak selaman­ya bisa memuaskan berahi para konsumennya. Risiko demokrasi adalah memberi­kan fatamorgana yang bisa saja berhenti sebatas ilusi.

Kekecewaan-kekecewaan itu sebenarnya juga sudah diisyaratkan dalam teks-teks. Dalam The Leader (Sang Pemimpin) karya Io­nesco digambarkan sebuah masyarakat yang bertahun-tahun mengimpikan dan me­nantikan pemimpinnya yang konon agung, adil, gagah, dan tampan; ternyata yang mun­cul adalah sosok pemimpin yang tak berkepala! Lebih sarkasme dari Ionesco, pada 1945 George Orwell mela­lui novel alegorinya Animal Farms (Negeri Para Binatang) menunjukkan bahwa dalam re­alitasnya sosok pemimpin yang ternyata jauh dari ideal penuh karut-marut nafsu untuk korup dan menginjak.

Apa pun yang tergambar dalam teksteks yang berkait dengan ob­sesi mencari pemimpin, baik yang merindu maupun yang mencaci, mengajarkan kepada kita untuk menyiapkan diri untuk bahagia dan kecewa. Kita diperingat­kan untuk tidak terlalu menaruh harapan yang berlebihan kepada sosok dan citra pemimpin yang ditawar-tawarkan, aja nggumu­nan dan aja kagetan, sehingga jika nanti pemimpin yang mun­cul tak seideal yang diinginkan, kita tak terkubur dalam frustrasi yang berkepanjangan.

*Pemimpin redaksi Majalah Sastra Kalimas, penyair, guru & mahasiswa doktoral Unesa (cahyont@yahoo.co.id)
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-teksteks-yang-merindu-pemimpin.html

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2