Oleh: Thahjono Widarmanto*
Tersebutlah, seorang yang bernama Kleistenes hendak mengubah sistem pemerintahan Kota Athena. Sebuah majelis pun dibentuk secara terbuka, lahirlah demokratia. Peristiwa ini terjadi pada 508 SM. Semenjak itulah, rakyat, individu-individu dalam masyarakat, dapat terlibat dan ikut bagian dalam memilih pemimpinnya sesuai dengan citranya, bahkan dapat pula menawarkan dirinya untuk dipilih menjadi pemimpin.
Dalam putaran sejarah berikutnya, demokrasi menjadi sebuah harapan untuk menemukan dan menentukan pemimpin. Demokrasi menjadi sebuah pesta, bahkan pasar, untuk menawarkan jago-jago yang diharapkan dapat menjadi pemimpin yang memenuhi harapan yang lebih cemerlang di masa depan.Apa boleh buat, yang namanya pasar selalu menyediakan komoditas yang pada ujungnya tidak selalu bisa memuaskan hasrat konsumennya.
Obsesi, harapan, dan citra pemimpin telah menjadi hasrat perenungan sejak berabad-abad lampau ketika manusia berkenalan dengan kekuasaan.
Teks-teks sastra (bahkan teks yang lain!) selalu hadir dengan penawaranpenawaran pemikiran, itu berarti selalu menawarkan dunia yang ideal. Wolfgang Iser menyebutnya sebagai teks yang mampu menghadirkan yang tidak hadir, mementaskan apa yang tidak terpentaskan, bahkan menghadirkan permasalahan yang tak bisa dituntaskan dalam realitas keseharian.
Obsesi tentang pemimpin dan kepemimpinan pun menjadi inspirasi berbagai teks, terutama teks-teks sastra.
Garry Yukl mendefinisikan kepemimpinan sebagai perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitasaktivitas suatu kelompok menuju share goal atau satu tujuan, yang hendak dicapai bersama (Hemhill, 1957). Senada dengan pendapat itu, Rauch dan Behling (1984) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah proses memengaruhi aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi untuk pencapaian tujuan. Kedua pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa pemimpin dan cara memimpin (kepemimpinan) merupakan satu kesatuan.
Teks-teks di berbagai belahan dunia dan berbagai zaman telah memimpikan citra pemimpin dan kepemimpinan yang ideal. Teks Ramayana dari India yang dianggap sebagai salah satu teks epos dunia, dalam salah satu episodenya, yaitu Arranya Kanda, yang kemudian disalin dan diadaptasi dalam bahasa Jawa dalam Kakawin Ramayana, memaparkan delapan sifat ideal yang harus dimiliki seorang pemimpin.
Di Jawa dan Bali banyak teks yang juga merindu pemimpin dan kepemimpinannya. Kakawin Gajah Mada dengan bertumpu pada sosok Gajah Mada, mahapatih Majapahit termasyhur, digambarkan sepuluh ajaran dan sikap pemimpin. Di era kapujanggan, citra dan gagasan
pemimpin menjadi tema sentral dalam teks-teks Jawa. Di antaranya Serat Rama (ditulis oleh R.Ng. Jasadipoera), Serat Praniti Praja, Serat Wulangreh (Paku Buwana IV), Serat Wedhatama (Mangku Negara IV), Serat Laksita Raja (Mangkunegara VII), dan sebagainya. Bahkan, sebelumnya, di peradaban Jawa Kuno ditemukan teks Tantri Kamandaka yang sudah menyebutkan citra pemimpin.
Teks Melayu Lama juga menghadirkan citra pemimpin dan gagasan kepemimpinan.
Taj us-Salatin (Mahkota Raja-Raja), sebuah mahakarya yang dikarang oleh Bukhari al-Jauhari (1630), merupakan sebuah kitab rujukan dalam memimpin. Di belahan dunia yang lain, di Eropa, pada 1513 muncullah sebuah teks berjudul II Principe yang ditulis Niccolo Machiavelli. Teks ini menjadi sebuah rujukan yang realistis bagi seorang penguasa dan pemimpin.
Lalu bagaimanakah impian-impian teks itu dalam dunia nyata? Demokrasi adalah pasar. Pasar tak selamanya bisa memuaskan berahi para konsumennya. Risiko demokrasi adalah memberikan fatamorgana yang bisa saja berhenti sebatas ilusi.
Kekecewaan-kekecewaan itu sebenarnya juga sudah diisyaratkan dalam teks-teks. Dalam The Leader (Sang Pemimpin) karya Ionesco digambarkan sebuah masyarakat yang bertahun-tahun mengimpikan dan menantikan pemimpinnya yang konon agung, adil, gagah, dan tampan; ternyata yang muncul adalah sosok pemimpin yang tak berkepala! Lebih sarkasme dari Ionesco, pada 1945 George Orwell melalui novel alegorinya Animal Farms (Negeri Para Binatang) menunjukkan bahwa dalam realitasnya sosok pemimpin yang ternyata jauh dari ideal penuh karut-marut nafsu untuk korup dan menginjak.
Apa pun yang tergambar dalam teksteks yang berkait dengan obsesi mencari pemimpin, baik yang merindu maupun yang mencaci, mengajarkan kepada kita untuk menyiapkan diri untuk bahagia dan kecewa. Kita diperingatkan untuk tidak terlalu menaruh harapan yang berlebihan kepada sosok dan citra pemimpin yang ditawar-tawarkan, aja nggumunan dan aja kagetan, sehingga jika nanti pemimpin yang muncul tak seideal yang diinginkan, kita tak terkubur dalam frustrasi yang berkepanjangan.
*Pemimpin redaksi Majalah Sastra Kalimas, penyair, guru & mahasiswa doktoral Unesa (cahyont@yahoo.co.id)
Teks-teks di berbagai belahan dunia dan berbagai zaman telah memimpikan citra pemimpin dan kepemimpinan yang ideal. Teks Ramayana dari India yang dianggap sebagai salah satu teks epos dunia, dalam salah satu episodenya, yaitu Arranya Kanda, yang kemudian disalin dan diadaptasi dalam bahasa Jawa dalam Kakawin Ramayana, memaparkan delapan sifat ideal yang harus dimiliki seorang pemimpin.
Di Jawa dan Bali banyak teks yang juga merindu pemimpin dan kepemimpinannya. Kakawin Gajah Mada dengan bertumpu pada sosok Gajah Mada, mahapatih Majapahit termasyhur, digambarkan sepuluh ajaran dan sikap pemimpin. Di era kapujanggan, citra dan gagasan
pemimpin menjadi tema sentral dalam teks-teks Jawa. Di antaranya Serat Rama (ditulis oleh R.Ng. Jasadipoera), Serat Praniti Praja, Serat Wulangreh (Paku Buwana IV), Serat Wedhatama (Mangku Negara IV), Serat Laksita Raja (Mangkunegara VII), dan sebagainya. Bahkan, sebelumnya, di peradaban Jawa Kuno ditemukan teks Tantri Kamandaka yang sudah menyebutkan citra pemimpin.
Teks Melayu Lama juga menghadirkan citra pemimpin dan gagasan kepemimpinan.
Taj us-Salatin (Mahkota Raja-Raja), sebuah mahakarya yang dikarang oleh Bukhari al-Jauhari (1630), merupakan sebuah kitab rujukan dalam memimpin. Di belahan dunia yang lain, di Eropa, pada 1513 muncullah sebuah teks berjudul II Principe yang ditulis Niccolo Machiavelli. Teks ini menjadi sebuah rujukan yang realistis bagi seorang penguasa dan pemimpin.
Lalu bagaimanakah impian-impian teks itu dalam dunia nyata? Demokrasi adalah pasar. Pasar tak selamanya bisa memuaskan berahi para konsumennya. Risiko demokrasi adalah memberikan fatamorgana yang bisa saja berhenti sebatas ilusi.
Kekecewaan-kekecewaan itu sebenarnya juga sudah diisyaratkan dalam teks-teks. Dalam The Leader (Sang Pemimpin) karya Ionesco digambarkan sebuah masyarakat yang bertahun-tahun mengimpikan dan menantikan pemimpinnya yang konon agung, adil, gagah, dan tampan; ternyata yang muncul adalah sosok pemimpin yang tak berkepala! Lebih sarkasme dari Ionesco, pada 1945 George Orwell melalui novel alegorinya Animal Farms (Negeri Para Binatang) menunjukkan bahwa dalam realitasnya sosok pemimpin yang ternyata jauh dari ideal penuh karut-marut nafsu untuk korup dan menginjak.
Apa pun yang tergambar dalam teksteks yang berkait dengan obsesi mencari pemimpin, baik yang merindu maupun yang mencaci, mengajarkan kepada kita untuk menyiapkan diri untuk bahagia dan kecewa. Kita diperingatkan untuk tidak terlalu menaruh harapan yang berlebihan kepada sosok dan citra pemimpin yang ditawar-tawarkan, aja nggumunan dan aja kagetan, sehingga jika nanti pemimpin yang muncul tak seideal yang diinginkan, kita tak terkubur dalam frustrasi yang berkepanjangan.
*Pemimpin redaksi Majalah Sastra Kalimas, penyair, guru & mahasiswa doktoral Unesa (cahyont@yahoo.co.id)
Sumber: http://jambiupdate.com/artikel-teksteks-yang-merindu-pemimpin.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar