Catatan Pementasan Teater “Raden Mattaher” Teater AiR:
Oleh: Prof. Dr. Sudaryono, M.Pd.*
Melalui teropong historis (kesejarahan) pementasan teater “Raden Mattaher” (5/5/2014) di Teater Arena Taman Budaya Jambi seolah menemukan kenyataan aktual, kehidupaan fiksional dan imajinasi pada ruang waktu yang berbaur secara silih berganti, susul-menyusul, yang kemudian menghasilkan kenyataan baru yang aktual, yang kemudian diganti oleh kenyataan baru yang lebih aktual. Begitulah inti substansi perjalanan sejarah: terpapar dan terpendar pada masa lampau, masa kini, dan masa depan. Kisah perjuangan Raden Mattaher yang ditampilkan dalam pertunjukan berkisar antara tahun 1900—1907, meski sejarah hidupnya terentang antara tahun 1816—1907 (Raden mattaher wafat di kediamannya di kecamatan Muaro Sebo, Muaro Jambi pada 27 September 1907, penggalan sejarah itu penting menjadi ingatan kolektif masyarakat Jambi.
Semua dimensi waktu itu (masa lalu, dan terpresentasi pada masa kini) seakan teraduk-aduk menjadi semacam “gado-gado” dalam pementasan ini. Melalui dua narator (Anggita Anggraini dan Ari Rahmawati), diketahui dengan jelas bahwa kisah bermula pada tahun 1900 hingga 1907. Melalui property set yang dipersiapkan secara simbolis penonton dapat membayangkan masa lalu yang hadir di panggung sebagai peristiwa pentas. Simbol-simbol yang dihadirkan relatif efektif mendukung pementasan—hanya pada beberapa setting, adegan bongkar-pasangnya sedikit menganggu kelancaran pementasan. Secara artistik pentas, simbol-simbol yang dihadirkan misalnya rumah kediaman Raden Mattaher, tempat Belanda mengatur siasat, cukup dilakukan dengan membalik dan menukar posisi, gambaran rimba belantara di bagian belakang, kapal, dan sebagainya cukup efektif mendukung pementasan.Oleh: Prof. Dr. Sudaryono, M.Pd.*
Melalui teropong historis (kesejarahan) pementasan teater “Raden Mattaher” (5/5/2014) di Teater Arena Taman Budaya Jambi seolah menemukan kenyataan aktual, kehidupaan fiksional dan imajinasi pada ruang waktu yang berbaur secara silih berganti, susul-menyusul, yang kemudian menghasilkan kenyataan baru yang aktual, yang kemudian diganti oleh kenyataan baru yang lebih aktual. Begitulah inti substansi perjalanan sejarah: terpapar dan terpendar pada masa lampau, masa kini, dan masa depan. Kisah perjuangan Raden Mattaher yang ditampilkan dalam pertunjukan berkisar antara tahun 1900—1907, meski sejarah hidupnya terentang antara tahun 1816—1907 (Raden mattaher wafat di kediamannya di kecamatan Muaro Sebo, Muaro Jambi pada 27 September 1907, penggalan sejarah itu penting menjadi ingatan kolektif masyarakat Jambi.
Teater diasumsikan sebagai rekaman napas zaman yang memiliki unsur untuk dapat dijadikan bahan kajian sejarah (historis). Unsur-unsur yang dinilai sebagai fakta sejarah itu setelah didukung oleh informasi, imajinasi, dokumen-dokumen lainnya diperlukan untuk kajian teater dengan pendekatan historis. Pendekatan historis selain menemukan fakta sejarah juga melakukan seleksi untuk mengambil unsur yang memiliki nilai sejarah. Dokumen sejarah, unsur-unsur sejarah, peristiwa sejarah dengan rapi hadir dalam naskah yang menurut hemat saya tergolong baik. Akurasi naskah ini tentu tidak lepas dari kajian dokumen, cerita rakyat, dan tentu saja bantuan Junaidi T. Noor (budayawan dan sejarahwan, kakak kandung E.M. Yogiswara).
Pendekatan historis mencari dan menemukan nilai-nilai yang tersembunyi di balik teks dan peristiwa teater. Pendekatan ini juga mempedulikan hubungan antara teater dengan aspek sosio-budaya, ideologi, falsafah yang berkembang pada suatu kurun waktu tertentu. Dalam metodologisnya, pendekatan historis ini perlu mengkaji diri penulis (siapakah E.M. Yogiswara, apakah yang menjadi acuan dalam hidup dan kehidupan, keyakinan, dan aneka wacana pemikirannya yang masuk ke dalam teater-teater yang ditulisnya). Kita tahu bahwa E.M Yogiswara adalah adik kandung budayawan Juaidi T. Noor yang dikenal juga sebagai sejarawan.
Sudah barang tentu dalam menggarap naskah lakon ini E.M. Yogiswara sedikit-banyak dibantu oleh kakaknya. Kajian historis juga menelisik pengaruh aspek-aspek ekstrinsik (sosial, budaya, ekonomi, politik, agama) yang tumbuh pada saat teater ditulisnya. Kuatnya atau taatnya Raden Mattaher memeluk agama Islam hingga samapai ajal menjemput dalam suasanaa relegius, tentu akan berpengaruh positif bagi penggarap teater dan penontonnya. Penerapan pendekatan historis ini harus didukung oleh dokumen-dokumen lain selain teater yang dikaji sehingga menghasilkan simpulan yang meyakinkan. Naskah “Raden Mattaher tergolong kuat, runtut, dan baik rancang bangun strukturnya. “Saya dapaat menikmati cerita ini” ujar Gubernur Hasan Basri Agus saat diminta memberikan respon di akhir pementasan.
Menggugah Ingatan Kolektif
Teater sebagai seni kolektif, karena melibatkan banyak unsur seni dana didukung oleh banyak pemain pendukung, akan dapaat menggugah ingatan kolektif masyarakat penonton mengenai satu peristiwa. Pemanggungan Raden Mattaher yang dikemas dalam format teater, secara historis menggugah ingatan kolektif generasi muda mengenai sosok kepahlawanan Raden Mattaher. Raden Mattaaher, seperti juga Sultan Thaha Saifuddin adalah pahlawan yang tak lepas dari negeri Jambi. Dua sosok pahlawan ini, seperti pahlawan-pahlawan lainnya di negeri ini, teguh dan gigih melawan kolonial Belanda.
Untuk kepentingan perjuangan, Raden Mattaher rela hidup di tengah hutan rimba, berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya untuk bergerilya melawan kolonial Belanda. Basis perjuangan Raden Mattaher antara lain di Tanjung Penjaringan, Tembesi, Muaro Bangko, Kasang Malintang, Pijoan, Muaro Bulian, Banyu Lincir, Sungai Alay, Muaro sebo, Kumpeh. Basis pertahanannya di Kumpeh inilah yang melahirkan julukan “Raden Mattaher Singo Kumpeh”. Kuatnya pendirian, teguh dalam pengabdian, dan gigih melawan penindasan yang pantang menyerah inilah ingatan kolektif yang dapat dipetik dari pementasan drama sejarah ini.
Ingatan kolektif sebuah atau beberapa buah peristiwa sejarah, tampaknya dapat dikemas secara menarik melalui pertunjukan teater. Teater dapat dijadikan tradisi penanaman nilai-nilai patriotis, keberanian, pantang menyerah, dan nilai-nilai positif lainnya. Dan Teater AiR tampaknya mulai menciptakan tradisi baik ini melalui garapan teater. Secara flashback, kita masih ingat pementasan drama sejarah Sultan Thaha Saifuddin (karya/sutradara E.M. Yogiswara, 2013), dan “Monumen” (2006). Tiga pementasan ini setidaknya menjadi catatan dan ingatan kolektif bahwa teater dapat menginspirasi generasi muda (dalam sertiap pementasan Teater AiR selalu menghadirkan pelajar dan mahasiswa sebagai penonton tetap). Teater AiR setidaknya telah punya penonton tetap, seperti Teater Koma. Dalam konteks apresiasi hal ini penting menjadi ingatan dan catatan kita.
Ingatan kolektif masyarakat penonton tentang peristiwa-peristiwa penting negeri ini perlu dijadikan agenda bersama. “Kita perlu kreatif dan inovatif berkesenian” ujar Hasan Basri Agus, Gubernur Jambi saat merespon di akhir pertunjukan. “Saya dapat mengikuti cerita dengan baik, dan semakin menambah pemahaman mengenai perjuangan Raden Mattaher. Itulah sebabnya kini kami sedang mengusulkan Raden Mattaher sebagai Pahlawan Nasional seperti Sultan Thaha Saifuddin yang telah menjadi pahlawan nasional sebelumnya”. Informasi gubernur ini mendapatkan applaus dari penonton.
Wiro A. Sani yang duduk di sebelah Jakfar Rassuh turut berpendapat, “pak HBA ini gubernur yang paling rajin nonton pertunjukan di Taman Budaya, kepeduliannya pada seni budaya tergolong baik”. Saya tersenyum. Saya kembali diingatkan pementasan Abdul Muluk beberapa minggu lalu bertepatan Festival Teater Remaja. Pementasan dengan kemasan teater tradisional itu juga menggugah ingatan kolektif soal “Jambi Emas”, “samisake”, “beasiswa”, “kabut asap” yang juga mengundang senyum. Senyum itu sehat, seperti senyum HBA yang hadir sebagai lukisan berbingkai yang dipersembahkan pendiri Teater AiR di akhir pementasan. Saya juga tersenyum saat pendiri Teater AiR saat menyatakan “ pertunjukan Teater Raden Mattaher nyaris batal dipentaskan karena ketiadaan dana, beruntung ada kepedulian bapak Gubernur Provinsi Jambi”. Saya kembali tersenyum, tersenyum memandang masa depan teater dan pentingnya ingatan kolektif dan sikap positif mengenai seni teater.
*Dosen dan sekretaris program studi S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jambi, Penyair, dan Pengamat Budaya.
Ingatan kolektif sebuah atau beberapa buah peristiwa sejarah, tampaknya dapat dikemas secara menarik melalui pertunjukan teater. Teater dapat dijadikan tradisi penanaman nilai-nilai patriotis, keberanian, pantang menyerah, dan nilai-nilai positif lainnya. Dan Teater AiR tampaknya mulai menciptakan tradisi baik ini melalui garapan teater. Secara flashback, kita masih ingat pementasan drama sejarah Sultan Thaha Saifuddin (karya/sutradara E.M. Yogiswara, 2013), dan “Monumen” (2006). Tiga pementasan ini setidaknya menjadi catatan dan ingatan kolektif bahwa teater dapat menginspirasi generasi muda (dalam sertiap pementasan Teater AiR selalu menghadirkan pelajar dan mahasiswa sebagai penonton tetap). Teater AiR setidaknya telah punya penonton tetap, seperti Teater Koma. Dalam konteks apresiasi hal ini penting menjadi ingatan dan catatan kita.
Ingatan kolektif masyarakat penonton tentang peristiwa-peristiwa penting negeri ini perlu dijadikan agenda bersama. “Kita perlu kreatif dan inovatif berkesenian” ujar Hasan Basri Agus, Gubernur Jambi saat merespon di akhir pertunjukan. “Saya dapat mengikuti cerita dengan baik, dan semakin menambah pemahaman mengenai perjuangan Raden Mattaher. Itulah sebabnya kini kami sedang mengusulkan Raden Mattaher sebagai Pahlawan Nasional seperti Sultan Thaha Saifuddin yang telah menjadi pahlawan nasional sebelumnya”. Informasi gubernur ini mendapatkan applaus dari penonton.
Wiro A. Sani yang duduk di sebelah Jakfar Rassuh turut berpendapat, “pak HBA ini gubernur yang paling rajin nonton pertunjukan di Taman Budaya, kepeduliannya pada seni budaya tergolong baik”. Saya tersenyum. Saya kembali diingatkan pementasan Abdul Muluk beberapa minggu lalu bertepatan Festival Teater Remaja. Pementasan dengan kemasan teater tradisional itu juga menggugah ingatan kolektif soal “Jambi Emas”, “samisake”, “beasiswa”, “kabut asap” yang juga mengundang senyum. Senyum itu sehat, seperti senyum HBA yang hadir sebagai lukisan berbingkai yang dipersembahkan pendiri Teater AiR di akhir pementasan. Saya juga tersenyum saat pendiri Teater AiR saat menyatakan “ pertunjukan Teater Raden Mattaher nyaris batal dipentaskan karena ketiadaan dana, beruntung ada kepedulian bapak Gubernur Provinsi Jambi”. Saya kembali tersenyum, tersenyum memandang masa depan teater dan pentingnya ingatan kolektif dan sikap positif mengenai seni teater.
*Dosen dan sekretaris program studi S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jambi, Penyair, dan Pengamat Budaya.
http://jambiupdate.com/artikel-menggugah-ingatan-kolektif-melalui-teater.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar