Oleh: Abd. Mukti, S.Ag.*
Tergiur gaji yang gede, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengadu untung di negeri orang justru mendapat petaka. Itulah nasib para TKI yang digadang-gadang sebagai pahlawan devisa. Salah satu TKI yang bernasib sial adalah Satinah (41) binti Jumadi Ahmad yang kini sedang menunggu eksekusi pancung jika keluarga dan pemerintah RI tidak secepatnya membayar uang diyat sebesar 7 juta rial atau 21 miliar rupiah.
Perkembangan terakhir hasil ‘urunan’ untuk Satinah baru terkumpul sekitar Rp15 miliar. Padahal jika sampai batas tenggat waktu 3 April 2014 belum terkumpul Rp.21 miliar, kemungkinan besar nasib TKI asal Ungaran Jawa Tengah itu akan berakhir di tangan algojo.(Okezone News.com,30/3/2014).Sebelum Satinah, ada Ruyati dan Darsem.Kedua TKI inipun mendapat vonis mati di Arab Saudi. Ruyati binti Satibi, TKI asal Bekasi Jawa Barat ini tak dapat diselamatkan dari eksekusi hukuman pancung.Ia telah dipenggal lehernya oleh algojo Arab Saudi pada 18 Juni 2011. Sementara Darsem binti Daud Tawar TKI asal Subang Jawa Barat ini lolos dari hukuman pancung di Arab Saudi, karena uang diyatnya sebesar Rp.4,7 miliar dapat dibayar pemerintah RI. Sementara uang sumbangan dari masyarakat sebesar Rp.1,2 miliar diterima oleh Darsem.
Satu pekan yang lalu (23/3/2014) juga menimpa Dewi Sukowati (23), TKI asal Pati Jawa Tengah telah divonis hukuman mati di Singapura,karena membunuh majikannya, Nancy Gan Geok(69). Sebelumnya,lebih sial lagi yang dialami oleh Kikim Komalasari, TKI asal Cianjur Jawa Barat ditemukan tewas ditempat sampah di Kota Abha,Arab Saudi.
Dan masih banyak lagi TKI yang mengalami derita yang tidak wajar, baik fisik maupun psikis. Bahkan TKI yang senasib dengan Satinah yang berada di berbagai negara jumlahnya pun tidak kecil yaitu sebanyak 280 TKI. “Setelah Satinah, masih ada 280 TKI yang sudah mengantre menunggu hukuman mati. Fakta itu selama ini tak diinformasikan pemerintah kepada masyarakat," kata aktivis advokasi buruh migran Melanie Subono,kepada Tribunnews.com di Jakarta,Senin,24/3/2014.
Sial memang bagi ‘Pahlawan Devisa’ ini.Di penghujung tahun 2013 seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia diperkosa Polisi Diraja Malaysia. Ini merupakan kejadian yang terus berulang, setelah tahun lalu seorang pekerja migran juga menjadi korban perkosaan tiga polisi Malaysia yang sampai sekarang proses hukumnya belum tuntas.
Tak cuma itu, catatan lembaga nonprofit Migrant Care, beberapa polisi Malaysia menembak mati buruh migran dengan alasan mereka anggota sindikat pencuri. Para buruh migran ini ditembak mati di ladang tempat mereka bekerja di daerah Betong Serawak Malaysia. Kasus ini menambah deretan panjang kematian para buruh yang kerap disebut pahlawan devisa. Migrant Care mencatat, sejak 2007, setidaknya ada 168 TKI ditembak mati polisi Malaysia. “Dan tidak ada satu pun yang proses hukumnya tuntas,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah.(VIVnews,28/3).
Tak cuma di Malaysia, nasib TKI juga kerap bermasalah di sejumlah negara. Sepanjang 2013, Migrant Care mencatat setidaknya ada 398.270 kasus yang menimpa buruh migran. Kasus-kasus tersebut merupakan pelanggaran-pelanggaran hak, terutama bagi perempuan yang bekerja di sektor rumah tangga atau PRT migran yang mayoritas terjadi di Malaysia dan Arab Saudi.
Dari ratusan ribu kasus TKI, tercatat 1.249 buruh migran Indonesia meninggal sepanjang 2013. Ini berarti hampir setiap hari sedikitnya 3 atau 4 buruh migran meninggal di luar negeri dengan berbagai sebab. Antara lain karena kekerasan yang dilakukan majikan, sakit, depresi, kecelakaan kerja, dan ditembak mati polisi.
Godaan Materi
Iming-iming gaji yang menggiurkan di tengah himpitan ekonomi di negeri sendiri, menjadi alasan utama para TKI nekad mengadu nasib. Bagaimana tidak, tenaga mereka bekerja di rumah tangga, umumnya dihargai antara Rp.2,5 juta sampai Rp.3 jutaan. Beda jauh dengan di Tanah Air yang hanya dibayar Rp.300 ribu sampai Rp.500 ribu.
Kalau nasib TKI/TKW itu beruntung, dua tahun saja bekerja bisa mengumpulkan Rp.50 jutaan. Uang itu biasanya dimanfaatkan untuk membangun rumah atau membeli sawah. Uang sebanyak itu tak mungkin didapatkan dengan pekerjaan yang sama di Tanah Air, karena gaji para majikan sendiri masih rendah.
Nah, bayangkan untuk kaya dengan cara instan inilah yang mendorong TKI mencoba peruntungannya. Meski sudah banyak kisah tragis yang menimpa TKW, hasrat kaum perempuan untuk mendulang riyal atau dolar di negeri orang tetap tinggi. Meski resiko menghadang mereka, seolah tak peduli, ribuan calon TKI/TKW tetap saja antre untuk dikirim ke luar negeri. Tak jarang untuk itu mereka harus rela menyediakan uang sebagai jaminan, memalsu dokumen dan mengikuti pelatihan singkat di penampungan yang tak manusiawi. Mereka harus tega meninggalkan orang tua,suami/istri, kerabat dan bahkan anak tercinta yang kadang masih balita. Sebagai perempuan marjinal yang kesulitan ekonomi, mereka dipaksa ikut menopang sandang pangan keluarganya.
Mengancam Rumah Tangga
Efek domino kepergian para TKI/TKW mengadu nasib di negeri orang sungguh tak remeh. Terutama TKW yang sudah berstatus sebagai istri dan atau ibu. Ketika bertahun-tahun merantau, rumah tangga yang dibangunnya bisa terancam bubar. Suami yang meski saat istrinya berangkat mendukung atau malah dia yang menyuruhnya jadi TKW, lama-lama banyak yang tidak kuat menahan godaan. Perselingkuhan pun terjadi. Bahkan lebih parah, perkosaan terhadap anak sendiri dilakukan gara-gara lama tak mendapat nafkah batin sang istri.
Akibatnya, banyak istri (TKW) menggugat cerai setelah pulang kampung. Seperti penelitian di Indramayu Jawa Barat, tiap bulan 800 keluarga TKI/TKW bercerai(Pikiran Rakyat,29/3/2014). Bukan saja dipicu perilaku menyimpang suami, juga TKW kerap pula berselingkuh di perantauan. Entah dengan TKI lain atau dengan warga negara setempat. Belum lagi nasib si anak, para TKW menyererahkan pengasuhan dan pendidikan anaknya pada suami saja, atau kepada nenek-kakeknya.
Kondisi ini jelas tidak sehat, suami sepiawai apapun, tak akan mampu menjadi single paren yang bisa berperan sebagai ayah sekaligus sebagai ibu. Terlebih jika anak yang ditinggalkan masih balita, butuh air susu ibu yang akhirnya digantikan dengan air susu sapi. Padahal semua sepakat, pendidikan anak usia dini sangat penting dan paling bisa dilakukan efektif oleh ibunya. Ibu adalah figur utama dan pertama bagi perkembangan jiwanya di masa selanjutnya. Jika masa emas ini diabaikan, anak tidak akan mampu dididik lagi secara maksimal.
Karena itu, mestinya suami tak memberikan izin istrinya menjadi TKW. Apalagi sesuai tuntunan Allah SWT, suamilah yang memiliki kewajiban menafkahi istri dan anaknya. Sesulit apapun kondisinya semestinya para suami inilah yang berupaya keras mendatangkan rezeki.
Ancaman kehancuran rumah tangga TKI/TKW akan tetap membayangi. Ini karena kesalahan secara sistematis. Penerapan sistem kapitalisme dalam berbagai aspek kehidupan di negeri ini, terbukti tidak mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Sandang, pangan dan papan kian hari kian tak terjangkau.
Disisi lain, pemerintah juga tidak serius mencarikan solusi untuk mengatasi problem TKI ini. Alih-alih menghentikan eksploitasi perempuan menjadi TKW, mereka malah digelari pahlawan devisa. Sebuah sebutan yang seolah-olah mengangkat harkat dan derajat TKI pada posisi terhormat, padahal menjerumuuskan. Pemerintah nampaknya takut kehilangan salah satu sumber pendapatannya yang sangat besar dari “penjualan para TKI” ini.
Solusi
Mungkinkah persoalan TKI/TKW ini bisa diselesaikan ? Sangat mungkin. Mengapa tidak? Bukankah Indonesia memiliki sumberdaya alam yang melimpah ? Persoalannya mau tidak pemerintah mengubah kebijakannya secara revolusioner ? Masalah TKI bukan sekedar soal kirim mengirim tenaga kerja, tapi masalah kemiskinan.
Mereka rela menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang dengan meninggalkan keluarganya di rumah, karena di negeri sendiri teramat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat menopang kebutuhan hidupnya. Jangankan untuk mereka yang hanya lulusan sekolah dasar, lulusan sarjana pun menganggur. Angka pengangguran sarjana bahkan mencapai 1,1 juta orang pertahun.
Solusinya tentu tiada lain pemerintah harus benar-benar menjalankan fungsinya sebagai abdi negara dan masyarakat, yaitu menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat. Ketika fungsi ini diabaikan, maka beban rakyat akan berat sehingga mereka akan terus berada di bawah garis kemiskinan.
Tak dapat dipungkiri, Indonesia termasuk negeri yang diberi kekayaan alam yang melimpah. Hanya saja, negara menyerahkan kekayaan itu kepada asing. Minyak dan gas mayoritas dipegang swasta asing. Demikian pula tambang mas dan tembaga terbesar di dunia dikangkangi oleh PT Freeport, Indonesia hanya dapat royalti 1 persen pertahun. Sementara BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak dan tergolong sehat malah dijual kepada asing pula.
Insya Allah jika paradigma ini diubah, negara akan dapat memberikan kebutuhan pokok hidup rakyat dengan memberikan lapangan pekerjaan kepada mereka, baik yang pendidikannya rendah maupun yang sudah sarjana. Dan kemiskinan tidak akan selalu menghantui negeri ini sehingga tidak akan ada TKI/TKW yang berbondong-bondong mengadu untung ke negeri orang yang justru bernasib ‘buntung’. Kapan ini dapat dilaksanakan? Para Pejabat dan Pemimpin negeri inilah yang bisa menjawabnya. Dan,mudah-mudahan pemilu yang sebentar lagi dilaksanakan akan dapat memunculkan wakil-wakil rakyat dan presiden yang amanah. Amin.
*Pemerhati Sosial Keagamaan,Ketua Majelis Tarjih PDM Tanjab Barat.
Dari ratusan ribu kasus TKI, tercatat 1.249 buruh migran Indonesia meninggal sepanjang 2013. Ini berarti hampir setiap hari sedikitnya 3 atau 4 buruh migran meninggal di luar negeri dengan berbagai sebab. Antara lain karena kekerasan yang dilakukan majikan, sakit, depresi, kecelakaan kerja, dan ditembak mati polisi.
Godaan Materi
Iming-iming gaji yang menggiurkan di tengah himpitan ekonomi di negeri sendiri, menjadi alasan utama para TKI nekad mengadu nasib. Bagaimana tidak, tenaga mereka bekerja di rumah tangga, umumnya dihargai antara Rp.2,5 juta sampai Rp.3 jutaan. Beda jauh dengan di Tanah Air yang hanya dibayar Rp.300 ribu sampai Rp.500 ribu.
Kalau nasib TKI/TKW itu beruntung, dua tahun saja bekerja bisa mengumpulkan Rp.50 jutaan. Uang itu biasanya dimanfaatkan untuk membangun rumah atau membeli sawah. Uang sebanyak itu tak mungkin didapatkan dengan pekerjaan yang sama di Tanah Air, karena gaji para majikan sendiri masih rendah.
Nah, bayangkan untuk kaya dengan cara instan inilah yang mendorong TKI mencoba peruntungannya. Meski sudah banyak kisah tragis yang menimpa TKW, hasrat kaum perempuan untuk mendulang riyal atau dolar di negeri orang tetap tinggi. Meski resiko menghadang mereka, seolah tak peduli, ribuan calon TKI/TKW tetap saja antre untuk dikirim ke luar negeri. Tak jarang untuk itu mereka harus rela menyediakan uang sebagai jaminan, memalsu dokumen dan mengikuti pelatihan singkat di penampungan yang tak manusiawi. Mereka harus tega meninggalkan orang tua,suami/istri, kerabat dan bahkan anak tercinta yang kadang masih balita. Sebagai perempuan marjinal yang kesulitan ekonomi, mereka dipaksa ikut menopang sandang pangan keluarganya.
Mengancam Rumah Tangga
Efek domino kepergian para TKI/TKW mengadu nasib di negeri orang sungguh tak remeh. Terutama TKW yang sudah berstatus sebagai istri dan atau ibu. Ketika bertahun-tahun merantau, rumah tangga yang dibangunnya bisa terancam bubar. Suami yang meski saat istrinya berangkat mendukung atau malah dia yang menyuruhnya jadi TKW, lama-lama banyak yang tidak kuat menahan godaan. Perselingkuhan pun terjadi. Bahkan lebih parah, perkosaan terhadap anak sendiri dilakukan gara-gara lama tak mendapat nafkah batin sang istri.
Akibatnya, banyak istri (TKW) menggugat cerai setelah pulang kampung. Seperti penelitian di Indramayu Jawa Barat, tiap bulan 800 keluarga TKI/TKW bercerai(Pikiran Rakyat,29/3/2014). Bukan saja dipicu perilaku menyimpang suami, juga TKW kerap pula berselingkuh di perantauan. Entah dengan TKI lain atau dengan warga negara setempat. Belum lagi nasib si anak, para TKW menyererahkan pengasuhan dan pendidikan anaknya pada suami saja, atau kepada nenek-kakeknya.
Kondisi ini jelas tidak sehat, suami sepiawai apapun, tak akan mampu menjadi single paren yang bisa berperan sebagai ayah sekaligus sebagai ibu. Terlebih jika anak yang ditinggalkan masih balita, butuh air susu ibu yang akhirnya digantikan dengan air susu sapi. Padahal semua sepakat, pendidikan anak usia dini sangat penting dan paling bisa dilakukan efektif oleh ibunya. Ibu adalah figur utama dan pertama bagi perkembangan jiwanya di masa selanjutnya. Jika masa emas ini diabaikan, anak tidak akan mampu dididik lagi secara maksimal.
Karena itu, mestinya suami tak memberikan izin istrinya menjadi TKW. Apalagi sesuai tuntunan Allah SWT, suamilah yang memiliki kewajiban menafkahi istri dan anaknya. Sesulit apapun kondisinya semestinya para suami inilah yang berupaya keras mendatangkan rezeki.
Ancaman kehancuran rumah tangga TKI/TKW akan tetap membayangi. Ini karena kesalahan secara sistematis. Penerapan sistem kapitalisme dalam berbagai aspek kehidupan di negeri ini, terbukti tidak mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Sandang, pangan dan papan kian hari kian tak terjangkau.
Disisi lain, pemerintah juga tidak serius mencarikan solusi untuk mengatasi problem TKI ini. Alih-alih menghentikan eksploitasi perempuan menjadi TKW, mereka malah digelari pahlawan devisa. Sebuah sebutan yang seolah-olah mengangkat harkat dan derajat TKI pada posisi terhormat, padahal menjerumuuskan. Pemerintah nampaknya takut kehilangan salah satu sumber pendapatannya yang sangat besar dari “penjualan para TKI” ini.
Solusi
Mungkinkah persoalan TKI/TKW ini bisa diselesaikan ? Sangat mungkin. Mengapa tidak? Bukankah Indonesia memiliki sumberdaya alam yang melimpah ? Persoalannya mau tidak pemerintah mengubah kebijakannya secara revolusioner ? Masalah TKI bukan sekedar soal kirim mengirim tenaga kerja, tapi masalah kemiskinan.
Mereka rela menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang dengan meninggalkan keluarganya di rumah, karena di negeri sendiri teramat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat menopang kebutuhan hidupnya. Jangankan untuk mereka yang hanya lulusan sekolah dasar, lulusan sarjana pun menganggur. Angka pengangguran sarjana bahkan mencapai 1,1 juta orang pertahun.
Solusinya tentu tiada lain pemerintah harus benar-benar menjalankan fungsinya sebagai abdi negara dan masyarakat, yaitu menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat. Ketika fungsi ini diabaikan, maka beban rakyat akan berat sehingga mereka akan terus berada di bawah garis kemiskinan.
Tak dapat dipungkiri, Indonesia termasuk negeri yang diberi kekayaan alam yang melimpah. Hanya saja, negara menyerahkan kekayaan itu kepada asing. Minyak dan gas mayoritas dipegang swasta asing. Demikian pula tambang mas dan tembaga terbesar di dunia dikangkangi oleh PT Freeport, Indonesia hanya dapat royalti 1 persen pertahun. Sementara BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak dan tergolong sehat malah dijual kepada asing pula.
Insya Allah jika paradigma ini diubah, negara akan dapat memberikan kebutuhan pokok hidup rakyat dengan memberikan lapangan pekerjaan kepada mereka, baik yang pendidikannya rendah maupun yang sudah sarjana. Dan kemiskinan tidak akan selalu menghantui negeri ini sehingga tidak akan ada TKI/TKW yang berbondong-bondong mengadu untung ke negeri orang yang justru bernasib ‘buntung’. Kapan ini dapat dilaksanakan? Para Pejabat dan Pemimpin negeri inilah yang bisa menjawabnya. Dan,mudah-mudahan pemilu yang sebentar lagi dilaksanakan akan dapat memunculkan wakil-wakil rakyat dan presiden yang amanah. Amin.
*Pemerhati Sosial Keagamaan,Ketua Majelis Tarjih PDM Tanjab Barat.
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-derita-pahlawan-devisa_1.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar