Noprizal, S.H.I. |
Oleh: Noprizal, S.H.I.*
Beberapa waktu lalu, wajah Peradilan di Provinsi Jambi tercoreng oleh perilaku dua hakim (Baca: Wakil Tuhan), Elsadela dan Mastuhi. Elsadela yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri Tebo dan Mastuhi Hakim Pengadilan Agama Tebo menjadi berita hangat di sejumlah media di Provinsi Jambi dan nasional lantaran dilaporkan selingkuh oleh suami Elsadela ke Pengadilan Tinggi Jambi, Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung RI.
Beberapa waktu lalu, wajah Peradilan di Provinsi Jambi tercoreng oleh perilaku dua hakim (Baca: Wakil Tuhan), Elsadela dan Mastuhi. Elsadela yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri Tebo dan Mastuhi Hakim Pengadilan Agama Tebo menjadi berita hangat di sejumlah media di Provinsi Jambi dan nasional lantaran dilaporkan selingkuh oleh suami Elsadela ke Pengadilan Tinggi Jambi, Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung RI.
Selasa (04/03/2014) merupakan akhir dari perjalanan karirnya sebagai penegak keadilan, karena Majelis Kehormatan Hakim telah menjatuhkan hukuman pemberhentian tetap dengan hak pensiun kepada dua Hakim tersebut. Keduanya kini telah diberhentikan sementara sembari menunggu keputusan Presiden untuk memberhentikannya secara tetap.
Dua Hakim tersebut, terbukti melanggar sejumlah ketentuan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim karena perselingkuhan itu. Dalam putusan, MKH menyatakan Elsa melanggar SKB Ketua MA dan Ketua KY tahun 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY tahun 2012 tentang Panduan Penegakan KEPPH.
Kejadian ini tentu bukan merupakan kejadian satu-satunya di lembaga peradilan. Di hari yang sama, Majelis Kehormatan Hakim juga menjatuhkan hukuman disiplin berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun terhadap Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banjarmasin Jumanto dan Hakim PTUN Surabaya Puji Rahayu, yang juga terbelit kasus yang sama.
Kita juga tidak menutup mata terhadap kasus serupa yang terjadi sebelumnya di lembaga peradilan, tentu bukan ini yang pertama, namun harus berharap inilah yang terakhir.
Wakil Tuhan Dilarang Salah?Manusia tak lepas dari kesalahan dan kekeliruan adalah kaedah umum pembenaran yang digunakan oleh seseorang yang berbuat salah. Namun bagaimana dengan Hakim? Jika tuhan maha adil, maka Hakim yang disebut wakil Tuhan juga harus memutuskan perkara dengan adil, tanpa sedikitpun celah untuk berbuat keliru. Tentu bukan hanya sebatas menyelesaikan perkara, begitu juga dalam kehidupan sehari-hari, wakil Tuhan tidak hanya label yang melekat sebatas penyelesaian sengketa, melainkan melekat dalam perilaku sehari-hari.
Artinya Hakim harus selalu berbuat serba sempurna tanpa ada cacat sedikitpun dalam mengemban amanah sebagai wakil Tuhan di Dunia ini.
Jika Hakim tidak mampu menunaikan tugas mulia ini secara sempurna, maka tidaklah salah banyak ungkapan sinis yang datang menerpa lembaga peradilan.
Ungkapan sinis tersebut salah satunya pernah disampaikan oleh Pengamat Hukum dari Universitas Indonesia (UI), Budidharmono. Dia menyebutkan bahwa selingkuh merupakan trend baru di kalangan hakim. 'Wakil Tuhan' yang disebut-sebut beretika tinggi ini ternyata juga tak terlepas dari kegemarannya bermain dengan ’’daging mentah”.
Bahkan ada yang lebih kejam lagi, jika Hakim tidak mampu menegakkan hukum, melecehkan etika dan mempermainkan kode etik, maka tidak layak lagi untuk disebut sebagai wakil Tuhan, melainkan disebut ‘’Maaf’’ sebagai wakil syetan oleh sebagian kalangan.
Meski demikian perilaku hakim yang bertentangan ini bukan merupakan gambaran secara umum wajah Hakim di Indonesia, namun bisa menjadi cermin oknum Hakim yang tergiur dengan persoalan yang satu ini. Untuk mengemban amanah profesi mulia yang satu ini, etika harus selalu dijunjung tinggi untuk peran hakiki seorang hakim, seperti penegak hukum, penentu kebenaran, dan pemutus keadilan.
Berilah Teladan
Warga Peradilan tentu menginginkan teladan yang baik, Hakim harus mampu menjadi teladan, sudah seharusnya tindakan yang dilakukan selalu memberikan kesan yang baik atau teladan bagi warga peradilan lainnya.
Hakim Agung Mahkamah Agung RI, yang juga merupakan Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI bidang non yudisial DR. H. Ahmad Kamil, SH., M. Hum dalam berbagai kesempatan menekankan agar Hakim dapat tampil menjadi teladan bagi pegawai lainnya.
Harapan Ahmad Kamil tersebut hendaknya diterjemahkan dengan baik oleh Hakim di seluruh Indonesia agar wajah lembaga peradilan tidak lagi dipermalukan oleh oknum warga peradilan itu sendiri. Apalagi yang mempermalukan lembaga adalah orang yang harusnya menjadi teladan.
Belakangan muncul Figur teladan Hakim Agung Artidjo Alkostar. Dia menolak penghargaan yang diberikan Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Sikap Artidjo ini memberikan sebersit harapan munculnya Hakim-hakim yang setia menjaga etika dan integritas.
Berbagai kalangan memberikan apresiasi kepada Hakim Agung Artidjo lantaran penerimaan anugerah atau penghargaan dilarang oleh kode etik Hakim Agung.
Berbagai kalangan memberikan apresiasi kepada Hakim Agung Artidjo lantaran penerimaan anugerah atau penghargaan dilarang oleh kode etik Hakim Agung.
Ketegasan dan tak kenal kompromi ini patut menjadi teladan bagi para hakim, baik pada tingkat pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi. Artidjo memang layak menjadi teladan, dirinya tahu mana yang boleh mana yang tidak boleh dilakukan. Jika anugerah telah ditolaknya, maka diyakini perbuatan asusila yang secara nyata melanggar kode etik hakim tidak mungkin akan dilakukannya.
Artidjo tentu tidak sendiri, masih banyak teladan lain yang patut dicontoh. Profesi Hakim memang profesi yang sunyi dan harus jauh dari keriuhan publik.
Seorang Hakim wajib memiliki integritas moral yang luhur, dalam bentuk kejujuran dan kepribadian yang baik. Etika dan moral wajib untuk dijunjung tinggi, dan dijadikan pedoman dan pegangan bagi dirinya.
Hakim harus memiliki intelektualitas dan profesional, namun jika tidak didukung oleh Integritas moral, seorang Hakim tidak akan punya arti apa-apa, justru dengan intelektualitas yang dia miliki itu lah yang akan dijadikannya sebagai alat untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji dan melanggar hukum.
Semoga pada masa yang akan datang, kejadian serupa tidak terjadi lagi di lingkungan peradilan, semua yang telah terjadi dapat dijadikan pelajaran untuk aparat penegak hukum lainnya. Pepatah lama menyebutkan, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Janganlah mau menjadi nila!
*Anggota KDC dan Pelanta, Tinggal di Jambi.
Dimuat di Opini Harian Pagi Jambi Independent, Rabu, 19 Maret 2014.
Dimuat di Opini Harian Pagi Jambi Independent, Rabu, 19 Maret 2014.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar