Mhd. Zaki, S.Sos., M.H. |
Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.*
Gaya hidup (Lifestyle) bisa disepakati sebagai sesuatu yang melekat terhadap perilaku diri dari masing-masing individu. Karena ia melekat terhadap diri masing-masing individu, tentunya ia menjadi bagian yang tidak bisa dengan begitu saja dipisahkan dari persoalan sosial masyarakat. Sebagai bagian dari persoalan sosial, gaya hidup perlu memperhatikan aspek-aspek sosial yang lain agar tidak saling berbenturan, yang kemudian berpotensi menimbulkan masalah sosial. Dengan kata lain, gaya hidup punya korelasi terhadap aspek sosial lainnya.
Sejalan dengan hal di atas, Soerjono Soekanto seorang guru besar Sosiologi mendefinisikan bahwa masalah sosial sebagai suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Hal yang membahayakan tersebut kemudian diterjemahkan oleh beliau dalam bentuk bentrokan antara unsur-unsur yang ada dalam masyarakat. Jika hal tersebut terjadi maka dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
Masalah Sosial Tidak Ada Habisnya
Masalah sosial sepertinya sulit untuk ditemukan ujungnya. Ia selalu mengikuti perkembangan situasi masyarakat yang senantiasa dinamis. Terlepas apakah ia menarik atau tidak untuk diperbincangkan, didiskusikan ataupun sekadar untuk diperdebatkan, baik skala lokal, nasional maupun internasional.
Di negara-negara maju seperti Amerika, Jerman, Inggris, Jepang yang tingkat ekonomi, politik, pendidikan, maupun kesehatan masyarakatnya dianggap mapan, juga tidak bisa dikatakan lepas dan terbebas sepenuhnya dari masalah sosial. Tetap saja ada masalah sosial yang muncul, seperti kejahatan kemanusiaan, prostitusi dan lain sebagainya.
Bahkan dari sekian banyak penelitian sosial yang dilakukan oleh para peneliti, terungkap bahwa tingkat masalah sosial justru lebih tinggi terjadi di pusat kota, baik secara intensitas maupun frekuensi bila dibandingkan dengan daerah pinggiran atau pedesaan. Ini artinya ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat yang membahayakan kelompok sosial seperti yang dimaksudkan oleh Soerjono Soekanto lebih dominan terjadi di perkotaan.
Sebagai bagian dari masalah sosial, gaya hidup hadir sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan. Contoh sederhana yang sering dijumpai dan dipraktikkan akhir-akhir ini dan cenderung membahayakan adalah gaya hidup glamor, bermewah-mewahan, pamer, berlebih-lebihan dan lain sebagainya.
Masih hangat di telinga, dan jelas di ingatan kita bagaimana kebiasaan mengoleksi barang-barang mewah yang tunjukkan oleh ‘orang-orang hebat’ seperti mantan hakim konstitusi, Gubernur Banten dan kerabatnya yang dililit kasus suap sengketa pemilukada. Bagaimana pula keterlibatan pengurus partai dalam berbagai skandal, mulai dari impor sapi, beras dan lain sebagainya.
Dari berbagai kasus tersebut, kalau dirunut ternyata semua berawal dari gaya hidup yang tidak wajar. Terlepas terbukti atau tidak mereka bersalah menurut hukum (karena proses hukum masih berjalan), namun hampir semua dari mereka yang menjadi tersangka dalam berbagai kasus tersebut, setelah di telusuri ternyata memiliki kegemaran mengoleksi barang-barang mewah.
Ini membuktikan bahwa gaya hidup yang mereka tunjukkan dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan sosial telah menghantarkan mereka harus berurusan dengan hukum. Dimana gaya hidup yang mereka bangun berbanding terbalik dengan keadaan sosial sebagian besar masyarakat kita.
Adalah miris, disaat mereka mengoleksi barang-barang mewah seperti kendaraan dengan berbagai merek dengan banderol harga milyaran rupiah, kemudian memiliki aset properti di mana-mana, disaat yang bersamaan sesungguhnya ada jutaan masyarakat negeri ini yang hidup di bawah garis kemiskinan yang diabaikan.
Menumpulkan Kepekaan Sosial
Kebiasaan hidup yang berlebih-lebihan seperti apa yang dicontohkan di atas, tanpa disadari secara berlahan telah menumpulkan kepekaan sosial mereka. Mengapa demikian? Karena mereka sudah tentu akan disibukkan dengan berbagai obsesi absurd yang justru membunuh orang lain secara perlahan tanpa mereka sadari.
Gaya hidup yang seperti ini, sering kali menafikan keberadaan orang-orang lain di sekitar. Mereka seolah-olah ingin menjadikan dirinya eksklusif, sehingga hal seperti ini semakin memperjelas ketimpangan sosial. Secara teori, mereka yang mapan secara ekonomi mempunyai potensi yang lebih besar untuk berperilaku atau bergaya hidup glamor dan berlebih-lebihan. Di sisi yang lain mereka yang secara ekonomi hidup pas-pasan, berpotensi pula untuk terpengaruh dan ikut-ikutan bergaya hidup seperti itu dengan menempuh jalan lain yang kadang berisiko.
Memulai Pola Hidup Sederhana
Melihat kondisi yang ada saat ini, pola hidup sederhana kiranya perlu untuk ditumbuhkan kembali. Untuk menumbuhkan hal tersebut, maka sudah selayaknya dimulai dari pejabat publik. Pejabat publik diharapkan mampu menjadi contoh (role model) bagi masyarakat lainnya.
Kalau pejabat sudah memberikan contoh yang baik bagi masyarakat, maka sudah jelas akan memperkecil peluang terjadinya gejolak sosial dalam masyarakat seperti apa yang di khawatirkan Soerjono Soekanto. Mulailah untuk hidup sederhana dari sekarang!
*Pemerhati Sosial, Dosen Politeknik Jambi, Owner Pustaka Ken Dee [dot] Net, Anggota Pelanta 201307008.
Sumber: http://www.jambiupdate.com/kategori-23-opini-penulis-jambi.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar