Oleh: Suaidi Asyari*
Dalam sebuah tulisannya, yang kemudian menjadi bagian dari bukunya “Demokrasi: La Raiba Fih” (2010), Emha Ainun Nadjib menulis tentang gumaman seorang penarik becak terhadap seorang calon DPRD yang balihonya terlihat ketika becak melintasi sebuah sudut jalan di salah satu wilayah yang demi etis tidak dia sebutkan secara spesifik. “Alaa wong nek nising nggowo pecut ae kathik nyaleg barang!”. (Orang dia ini kalau buang air besar selalu membawa cambuk saja kok berani-beraninya jadi caleg”. Penarik becak menjelaskan betapa pelitnya caleg tersebut, sehingga kalau (ma’af) buang air besarpun harus menggunakan cambuk untuk mengusir ikan yang akan menyantap kotorannya. Mana mungkin dipilih orang. Karena tidak mau berbagi rezeki dengan orang lain.
Menariknya, ketika Cak Nun, membagikan cerita itu dengan para pengunjung sebuah warung nasi kikil, justru ada cerita lebih menarik lagi. Karena ada orang yang saking pelitnya, berbagi dosa saja tidak mau, apa lagi berbagi uang. Penulis tersenyum sendiri membaca tulisan Cak Nun yang penuh humoris dan sarat filosofis itu.
Namun belakangan penulis malah tertawa lebih geli lagi karena ternyata (menurut penulis) pengalaman Cak Nun inipun masih kalah menarik dibanding pengalaman penulis belakangan. Sungguh ternyata jauh lebih menarik lagi, jika dua pengalaman dan cerita di atas disandingkan dengan informasi yang penulis terima beberapa bulan/minggu belakangan ini.
Menariknya, karena ketika para caleg lain membagikan berbagai sumbangan untuk mencari simpati calon pemilih, ada caleg malahan melibatkan orang di instansi tertentu justru meminta sumbangan ke sejumlah pejabat kelas “anak bawang” yang tentu merupakan calon pendukungnya. Jumlahnya tentu sesuai dengan jabatannya. Ya, mulai dari Rp. 200.000 – s/d Rp. 300.000. Dengan alasan akan ada kunjungan dari caleg si “A”.
Tadinya penulis tidak ambil pusing dengan informasi ini. Peduli amat dengan informasi kecil yang belum tentu kepastian itu, si Amat saja mungkin tidak mau ambil peduli. Tetapi ketika penulis diminta pendapat oleh seseorang apakah dia harus patuh terhadap atasan yang memintanya sumbangan atas permintaan atasannya yang lebih tinggi untuk calon incumben yang sedang mencalonkan itu, sungguh penulis terkaget.
Itupun tadinya penulis ingin lari dari tanggung jawab akademis mengolah informasi ini. Tetapi, dua hari yang lalu informasi seperti ini penulis kongsikan di sebuah meja sidang ujian tesis tentang Strategi Partai Politik Islam dalam Memenangkan Pemilu. Tiba-tiba penulis agak tersentak ketika teman bicara penulis membuat kalkulasi. “Ya, itu kalau satu orang mungkin tidak ada maknanya, sobat. Tetapi kalau sekian ratus orang, lumayan juga kan?” Imbuhnya.
Penulis terenung sejenak, tetapi tidak langsung memberikan respon. Respon itu kemudian penulis muat di sini. Maka sambil melangkah turun gedung tempat ujian tersebut, kemudian penulis mencoba menghitung-hitung dengan seumpama 840 orang X Rp. 200.000 = Rp. 168.000.000. Karena penulis mendengar pengemisan ini terjadi lebih dari 1 X, maka penulis coba dengan pengkalian minimal 2 X saja. Maka setidaknya sejumlah Rp. 336.000.000 (Tiga Ratus Tiga Puluh Enam Juta Rupiah) diraup caleg yang mengemis tadi. Di tengah-tengah para caleg lain mulai membagi-bagikan bantuannya kepada masyarakat.
Apakah raupan ini sampai kepada caleg yang namanya disebut oleh pejabat di tingkat Kabupaten tadi, sampai sebagian, atau tidak sama sekali, itu bukan urusan penulis. Apakah atasan dari orang yang meminta pendapat kepada penulis, atau atasan dari atasannya itu pernah terutang budi untuk mendapatkan jabatannya, itu juga bukan urusan penting dari tulisan ini. Apakah caleg yang incumben ini memang lebih pelit dibading caleg yang membawa cambuk waktu buang hajat tadi atau hasil raupan di satu tempat dibagikan ke tempat lain atau menambah tunjangan sampingannya, itu juga bukan urusan opini penulis ini.
Yang menjadi konsen penulis adalah betapa tidak bermoralnya seorang caleg, incumben lagi, mengemis kepada seorang pejabat kecil yang tunjangan per tahun (sekitar Rp. 6.000.000) tidak lebih dari seper sepuluh tunjangan seorang anggota legislatif per bulannya (Rp. 60.000.000). Jika sumbangan ini diminta di tengah atau akhir bulan, tidak tertutup kemungkinan terjadilah korupsi kecil-kecilan seperti apa yang mungkin terjadi dengan seorang yang meminta saran penulis di atas. Kita taulah keuangan rata-rata pejabat di tingkat kecamatan. Karena pada waktu itu, uang yang dia ceritakan adalah uang sekolah yang kebetulan dia sebagai Bendaharanya. Yang namanya mengeluarkan uang negara yang dia kelola tidak sesuai dengan peruntukannya, tetap saja korupsi namanya.
Oleh karena itu, ketika penulis ditanya pendapat apakah perintah atasan untuk ikut “menyumbang” kepada atau atas nama caleg di atas, maka penulis jawab “mungkin anda tidak perlu patuh”. Karena begitu anda diberhentikan dari jabatan karena ketidakpatuhan itu, maka Tuhan akan memberikan jabatan baru kepada anda yang lebih terhormat, “amanah”, yaitu pejabat yang dapat dipercaya memegang amanah.
Kalau sekiranya anda tetap ikut memberikan sumbangan yang tidak etis itu, baik karena takut pada ancaman atasan anda atau takut kalau caleg si “A” menang dan biasanya menaruh dendam, maka anda jelas akan berusuan dengan Tuhan. Jadi kepadanya penulis sampaikan pilihan apakah akan berurusan dengan Tuhan dengan resiko bisa lepas dari jabatan “kecil-kecilan” itu, atau dia patuhi perintah menyerahkan sumbangan itu dengan resiko berususan dengan Tuhan dan mungkin saja institusi pemeriksa keuangan negara.
Saya tidak berikan dia kesempatan untuk membuat keputusannya di hadapan saya. Karena saya hanya memberikan pendapat, tetapi tidak mau mempengaruhinya. Tetapi dari raut muka dan nada responnya, kelihatannya satu hal yang hampir pasti terjadi bahwa pejabat ini tidak akan memberikan suaranya kepada caleg “pengemis” ini pada tanggal 9 April 2013 yang tidak sampai dua bulan lagi ini. Kalau dia juga bisa mempengaruhi isteri dan keluarganya, mungkin juga dia akan anjurkan tidak memberikan amanah perwakiliannya kepada caleg ini.
Jika pengalaman dan informasi ini dibawa ke wilayah teori atau ungkapan failosuf politik, maka penulis merasa apa yang terjadi dengan caleg ini menyalahi teori politik secara umum bahwa “Politics is the gentle art of getting votes from the poor and campaign funds from the rich...”. ~Oscar Ameringer (1870-19433). (Politik itu adalah seni yang lembut/indah dengan memperoleh suara dari yang miskin (di bawah) dan memperoleh biaya kampanye dari orang kaya). Bagai mana dengan pembaca yang budiman sekalian jika berhadapan dengan situasi seperti ini? “Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana”.
*Direktur Eksekutif Center for the Study of Contemporary Indonesian Islam and Society (CSCIIS) Jambi.
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-caleg-pengemis-versus-caleg-pemberi_1.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar