Untuk bank data Pelanta bisa dilihat di www.data-pelanta.blogspot.com. Data tersebut akan terus diperbaharui

Sabtu, 18 Januari 2014

Mencermati Potensi Peserta Didik

Oleh: Hemamalini, S.Pt.*
Sistem pendidikan kita telah sampai pada tahapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).Namun, muatannya masih saja menekankan kepada aspek ilmu pengetahuan (kognitif)dan skill akademik(hard skill), sehingga kurang memperhatikan pengembangan potensi(psikomotor),perbaikan pola pikir (mindset), peningkatan motivasi serta pembangunan karakter seseorang (soft skill). Kalau pun ada, pelaksanaannya tidak terealisasi secara maksimal.

Kecenderungan dalam beberapa sekolah, seorang peserta didik ‘dihargai’bukan berdasarkan bakat dan potensinya (ekstrakurikuler)tetapi dihargai karena nilai akademisnya (kurikuler).Kemampuan ekstrakurikuler dianggap sebagai kemampuan tingkatan dua. Padahal kehidupan banyak orang ‘sukses’ bukan berpatokankepada nilai akademis semata tetapi berproses pada pengembangan bakat dan potensi yang dimilikinya.

Menurut Daniel Goleman, kecerdasan intelektual hanya berpengaruh 5% dan maksimal 20% saja terhadap keberhasilan seseorang dalam kehidupan.Sebagai contoh para pemain sepakbola, para penyanyi dan musikus, para penulis dan sastrawan, para penjual dan marketer, pembicara dan trainer, para organisatoris dan pengusaha dan lain sebagainya. Mereka adalah contoh orang yang berkembang dengan kreativitas yang  digali dari bakat dan potensinya tersebut, bukan kecerdasan intelektual/akademis semata. 

Pendidikan di dalam keluarga masih kurang memperhatikan aspek pertumbuhan anak. Orang tua ditengarai kurang pengetahuan tentang cara pendidikan anak sehingga kadang sikap orang tua sering kontraproduktif, seperti;sikap sering marah-marah dalam setiap interaksi, sering mengeluarkan kata-kata kasar, sering merendahkan anak, sering memukul anak, sering melarang anak ketika akan berbuat sesuatu yang menyebabkan potensi dan kreativitasnya tidak berkembang.

Porter (2009) mengungkapkan, bahwa kata-kata negatif berupa larangan atau kritikan jumlahnya mencapai 86% diterima oleh anak setiap hari dibandingkan dengan kata-kata positif berupa dukungan dan motivasi hanya 14 % saja. Akibatnya konsep diri anak menjadi negatif, anak menjadi takut, tidak berani, dan tidak percaya diri ketika melakukan sesuatu.
Contoh sederhana, ketika anak mau mengoperasikan Laptop, kita lebih suka mengatakan “jangan, nanti data bapak/ibu terhapus atau Laptopnya rusak!”. Kalimat tersebut termasuk dalam kategori  bentuk kalimat negatif, sehingga alam bawah sadar (unconscious mind) anak-anak kita terbiasa untuk berpikir negatif.Akibatnya sangat luas, dalam melakukan apapun dia berpotensi untuk tidak percaya diri, takut melakukan sesuatu yang baru, kurang berani sehingga ide-ide cerdas dan kreativitasnya tidak berkembang.

Ternyata, orang-orang yang sukses dalam kehidupan adalah mereka yang mandiri, kreatif dan berhasil memunculkan prestasi yang berbasis potensi yang mereka miliki. Bill Gates misalnya berkarya menemukan Microsoft, atau Mark Zuckerberg berhasil menemukan Facebook dan sebagainya.

Pihak sekolah menemukan permasalahan-permasalahan yang sampai hari ini masih dialami oleh siswa kita. Banyak di antara siswa kita yang kehilangan orientasisekolah. Mereka merasa bahwa orang tualah yang memaksa mereka untuk sekolah sehingga tidak menjadi kebutuhan baginya. Mereka belum memahami apa urgensi belajar dan menuntut ilmu. Mereka tidak dibimbing untuk memiliki impian dan cita-cita hidup. Akibatnya, mereka tidak punya rencana hidup serta tidak punya manajemen diri dan waktu.Bahkan, ada kisah guru yang mencuri impian siswanya dengan sikap memvonis dan mengatakan tidak mungkin impian siswanya tercapai  karena dia miskin, bodoh dan sebagainya.

Terlebih dengan pola pengajaran konvensional yang mengandalkan metode ceramah, siswa cenderung menjadi objek. Pembelajaran menjadi kaku, karena mereka harus diam, tangan dilipat di atas meja dan dilarang banyak bertanya. Media pembelajaran masih menggunakan papan tulis dan kapur/spidol. Sehingga mengabaikan modalitas visual/LCD Projector, auditorial dan kinestetik dari siswa. Pembelajaran menjadi tidak menyenangkan. Padahal otak akan optimal bekerja ketika pembelajaran itu kreatif, aktif, dan menyenangkan.

Akibatnya mereka menjadi santai (konsumtif) dan malas belajar, malas sekolah, sering bertindak nakal dan diluar batas seperti bolos, tawuran, mencontek, pergaulan bebas, narkoba, menghabiskan waktu di warnet, main games dan sebagainya.Bisa jadi itu bentuk sebagai pelampiasannya karena kejenuhan atau keterpaksaan belajar. Karena mereka beranggapan bahwa orang tua dan guru memaksa mereka untuk sekolah, padahal mereka lebih senang bermain. Lalu, mengapa sekolah tidak kita jadikan “ajang/wahana permainan?”. Maksudnya belajar sambil bermain. Hal itu tentu sangat terkait dengan kemampuan dan kreativitas guru sendiri bagaimana cara mengajar yang efektif, kreatif dan menyenangkan.

Kebanyakan guru hanya bisa mengajarkan tentang “apa”,tetapi kurang mampu mengajarkan “bagaimana”. Guru lebih fokus mengajarkan mata pelajarannya. Terkadang lupa mengavaluasi bagaimana cara dia mengajar, bagaimana cara dia berkomunikasi dan melakukan presentasi dihadapan siswanya, bagaimana cara dia memotivasi siswanya, bagaimana membuat siswanya mudah dalam mencatat dan menghafal, media apa yang dia gunakan dalam mengajar, apakah dia melakukan pendekatan secara emosional dengan siswanya atau tidak dan lain-lain.

Bahkan ada guru yang menganggap siswanya sebagai musuh, sehingga menghadapi siswa tersebut dia emosi dan menggunakan kekerasan termasuk dengan menampar dan sebagainya. Akhirnya munculah prilaku-prilaku siswa yang melawan pada orang tua dan guru, yang sering membuat pusing, sedih dan kecewa dari orang tua dan guru. Jika seperti ini, bagaimana cara kita mengatasinya?

Salah satu persoalan yang terjadi sampai hari ini adalah, banyaknya siswa kita yang bingung dan salah memilih jalur pendidikan/kuliah setelah tamat SMA. Mereka memilih jurusan tertentu karena pengaruh teman, pengaruh guru atau orang tua. Termasuk juga anjuran dari lembaga bimbingan belajar (bimbel) untuk memilih jurusan ketika SNMPTN berdasarkan berapa passing grade hasil try out yang didapatkannnya. Misal dari hasil try out didapatkan nilainya “sekian”, biasanya dianjurkan kalau ingin lulus SNMPTN maka ambillah jurusan ini dan universitas ini, maka bisa dijamin kemungkinan lulusnya mendekati 100%. Tetapi saran itu kadang melupakan potensi dan bakat yang dimilikinya.Semestinya, ketika seorang anak diketahui bakatnya adalah Sastra, maka dianjurkan dia memilih jurusan Sastra, apakah melalui jalur SNMPTN ataupun swasta.

Penulis masih ingat ketika masa-masa SMA jurusan IPA (A1 dan A2) adalah jurusan paling favorit, Siapa yang masuk IPA dianggap anak yang pintar. sehingga jurusan IPS(A3) atau Bahasa dianggap sebagai jurusan berkasta dua dan kasta tiga,  yang masuk ke sana adalah anak-anak yang tidak lolos di IPA. 

Banyak contoh orang yang memiliki pendidikan berbeda dengan profesi yang digelutinya.Mereka memilih profesi yang dijalaninya berdasarkan bakat dan potensi yang dimiliki, sehingga mereka sukses besar bekerja dibidang tersebut, walaupun tidak linear dengan pendidikannya. Sebagai contoh Taufik Ismail seorang sastrawan besar di Indonesia ternyata kuliahnya di IPB jurusan kedokteran hewan. Ary Ginanjar seorang penemu ESQ, dia tidak berlatar pendidikan agama atau manajemen tetapi berlatar belakang teknik  justru sukses di bidang yang berdasarkan minat dan bakatnya tersebut. 

Gardner (2007) memunculkan konsep Multiple Intelligence untuk menghargai setiap potensi yang dimiliki seseorang. Gardner membagi kecerdasan atau potensi yang dimiliki oleh seseorang itu menjadi delapan, yaitu kecerdasan matematik, kecerdasan linguistik, kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual, kecerdasan musikal, kecerdasan natural, kecerdasan antar personal, dan kecerdasan interpersonal. Kecerdasan matematika adalah kemampuan seseorang dalam bidang matematika atau ilmu pasti, sehingga dia cocok kuliah di jurusan matematika  atau jurusan eksak yang lainnya dan nanti bekerja di bidang yang sama.

Kemudian kecerdasan linguistik atau kemampuan terkait dengan bahasa. Cirinya, kalau pelajaran bahasa dia senang dan selalu mendapatkan nilai yang baik, maka dia cocok untuk kuliah di jurusan bahasa atau sastra, serta bekerja juga di bidang yang sama. Seterusnya kecerdasan kinestetik yang terkait dengan bakat dibidang olahraga dan fisik.Hobinya olahraga dan senang bergerak secara fisik.Contoh orang sukses di bidang ini adalah para atlet terkenal seperti Lionel messi, Roger Federer, Michael Jordan, Rudy Hartono, dan lain-lain.

Selanjutnya adalah kecerdasan visual terkait dengan kemampuan untuk menggambar atau membuat desain sehingga nanti cocok kuliah di bagian arsitektur, desain bangunan atau seni rupa.Kemudian kecerdasanmusikal yang terkait dengan kemampuan bermain musik, merancang lagu dan sebagainya.Contoh orang yang memiliki kecerdasan musikal seperti Beethoven, Mozart dan lain-lain.

Kemudian, kecerdasan natural atau kecerdasan yang terkait dengan alam seperti menyukai tanaman, tumbuhan, hewan dan seterusnya, sehingga cocok memilih jalur karir di bidang pertanian, perkebunan, pertamanan.

Penyebab munculnya kenakalan remaja terjadi karena orang tua dan guru kurang memahami kondisi mereka. Mereka kurang mendapatkan bimbingan apa yang harus dilakukannya dan apa yang harus dikembangkannya. Orang tua sibuk pada pekerjaannya sementara guru disibukkan dengan target pencapaian akademisnya masing-masing. Jarang guru bidang studi yang mau menjadi teman diskusi dan sharing permasalahan yang dialami oleh siswanya. Sebagian besar guru-guru kita enggan mengakui kelebihan teman dan enggan untuk berbagi serta tidak senang dilihat oleh teman dalam aktivitas KBM di kelas.

Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa teknik yang dapat digunakan untuk memberikan sugesti positif yaitu memposisikan peserta didik secara nyaman/subjek, menghibur didalam kelas (menyenangkan secara fisik dan psikis), meningkatkan partisipasi individu, memanfaatkan poster-poster motivasi, sertahal yang paling penting untuk mengatasi pembelajaran yang tidak kreatif adalah menyediakan guru-guru yang terlatih, kreatif dan kaya media serta profesional dalam kapasitas sesungguhnya. Tidak cukup hanya dengan memiliki sertifikat pendidik.

*Guru di SMP Negeri 42 Muaro Jambi
Sumber: http://www.jambiupdate.com/artikel-mencermati-potensi-peserta-didik_2.html

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Space 2

Space 2