H. Sjofjan Hasan, S.H., M.H. |
Oleh: H. Sjofjan Hasan, S.H., M.H.*
Saat ini kita bangsa Indonesia sedang memasuki tahun Politik, maka, bermunculan actor politik, semuanya menyuarakan dan menyatakan kami adalah bersama rakyat, kami suara rakyat, kami akan memeperjuangkan kepentingan rakyat, dsb, dsb. Tapi ketika sudah duduk dikursi terhormat, sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Yang kita amati ada kesan loyalitas ganda, ke rakyat atau ke partai. Ketika sudah dilantik/sudah sah menjadi anggota DPR, loyalitas kepada partai harusnya sudah nomor dua, yang di utamakan pengabdian untuk rakyat. Dengan kata lain, ketikasudah duduk di DPR maka hakekatnya yang bersangkutan adalah wakil rakyat, tapi bukan wakil partai.
Pernyataan seorang kader muda pada salah satu Partai, menyampaikan dalam forum Koordinasi dan Konsultasi Etika Politik di Jakarta, yang diadakan Menko Polhukam RI. Menyatakan “kaitannya dengan otonomi daerah, kemudian disitu yang ada libido kekuasaan, kalau dikaitkan dengan masalah partai,partai partai sekarang ini termasuk partai saya, sering kali tidak menjalankan program,tetapi lebih sibuk mengurusi konflik internal, tentang siapa yang menjadi Kepala daerah, dan didaerah mana. Yang muncul adalah libido kekuasaan dan mengabaikan nilai nilai Etika dan sebagainya.”
Berbicara perilaku penyelenggara Negara dan Aktor aktor politik, ada Ketetapan MPR No.VI/MPR/2001, tentang ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA. Bab II angka 2 menyatakan tentang Etika Politik dan Pemerintahan.
Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efesien, dan efektif, serta menumbuhkan politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dakam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjujung tinggi hak asasi manusia, dan keseimbangan Hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Etika Politik dan pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar besarnya kemajuan bangsa dan negara, dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan.
Etika Politik, dalam perilaku politik dengan menjunjung tinggi nilai nilai moral dan tatakrama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tokoh partai Politik yang menduduki jabatan politik,yang kurang memperhatikan etika politik, pada gilirannya menimbulkan konflik kepentingan, persinggungan, benturan politik.
Kehidupan demokrasi yang sedang kita laksanakan sekarang ini, seyogyanya tidak hanya dipandang sebagai suatu prosedur, suatu sistim dan tehnis belaka. Lebih dari itu kita harus bisa memaknainya, dengan nilai nilai moral dan nilai politik yang baik. Nilai tersebut diantaranya adalah kemampuan untuk bisa menerima perbedaan pendapat. Untuk bisa menerima kemenangan dan kekalahan dengan kesatria. Dan yang lebih penting lagi ialah kemampuan untuk bisa menyelesaikan masaalah dengan cara dialog dan musyawarah sebagaimana yang di amanatkan oleh para pendahulu kita dan nilai nilai yang ada dalam falsafah bangsa Pancasila dan dalam Pembukaan UUD 1945, mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila langkah musyawarah dan dialog, ternyata tidak bisa memenuhi harapan, maka menyerahkan pada proses hukum sekali gus menghormati putusan hukum sebagai produk yang penting.Ini lah seharusnya antara lain etika perilaku bagi para penyelenggara negara.
Sistem pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945 dinyatakan Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechsstad), tidak berdasarkanatas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Pemerintahan berdasarkan atas system konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).Pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 ada empat, yaitu persatuan, keadilan, kerakyatan, dan keTuhanan menurut kemanusiaan yang adil yang beradab, dijabarkan kedalam Pancasila dan pasal pasal batang tubuh UUD 1945. Maka nilai nilai Pancasila wajib di jadikan norma moral dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika Politik Pancasila mengamanatkan bahwa pancasila sebagai nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, harus di jabarkan dalam produk produk hukum dan perilaku para penyelenggara negara.
Dalam kehidupan berbangsa bernegara Indonesia disebutkan bahwa Hukum sebagai panglima, bukan Politik sebagai Panglima. Tapi dalam prakteknya bagaimana ..? Ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerap kali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum,. Banyak produk produk Hukum yang lebih banyak di warnai oleh kepentingan kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.(Moh.mahfud MD).
Bung Karno lima tahun setelah Indonesia Merdeka pernah menyampaikan kecemasan dengan mengatakan, “penjajahan telah mewariskan kepada kita kerusakan fisik dan material, tetapi yang lebih gawat dari itu adalah kerusakan moral karena kerusakan fisik dan material secara bertahap dapat diatasi. Tapi kalau kerusakan moral, akan sangat lama memperbaikinya.”
Mahatma Gandhi mengatakan :”Dosa sosial adalah yang paling mematikan. Apa dosa sosial yang paling mematikan itu?. Pertama Politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, science tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan.”
Diperlukan upaya setiap komponen bangsa untuk menjaga dan memelihara Etika dalam kehidupan politik dengan menjunjung tinggi nilai moral dan tata krama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang bersumber kepada kepribadian bangsa Indonesia yaitu falsafah/ideologi Pancasila.
*Ketua STIE Muhammadiyah Jambi, anggota Pelanta NIA 201307025.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar