Suwardi, S. E. Sy. |
(Ketika Keadilan dan Hukum Adat Mandul)
Oleh : Suwardi, S. E. Sy.*
Membincang perempuan tidak akan pernah usai. Mengkaji perempuan dalam perspektif apapun sama indahnya ketika memandang makhluk Tuhan tersebut. Dalam kesempatan ruang yang terbatas ini, penulis ingin melihat perempuan sebagai korban dari sebuah ketidakadilan sosial dan marginalisasi kaum Ibu oleh kekuasaan semu, hukum dan perampasan hak. Karena hemat penulis hari ini justru menjadi ajang pelampiasan para penguasa yang hedonis lagi materialis terhadap perempuan selaku makhluk berjuta pesona yang gemulai secara politik dan hukum.
Marginalisasi Kaum Perempuan
Ketidakadilan sosial dan hukum atas kaum perempuan terkadang menyayat hati penulis, lihat saja kasus yang menimpa Prita Muliyasari yang menggemparkan publik tanah air ketika harus berhadapan dengan penguasa salah satu Rumah Sakit Internasional di Jakarta secara hukum, Mbok Marsinah yang harus mendekam dibalik jeruji penjara hanya karena 2 buah cokelatnya. Ini sedikit kasus yang menyeruak di media, yang membuat getaran hati penulis menderu kencang betapa keadilan hukum menjadi mahal ketika kaum lemah (baca : perempuan) berhadapan dengan hukum dan penguasa.
Penindasan terhadap perempuan bukanlah sesuatu yang baru dialami perempuan tapi sudah berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu, hanya saja hal tersebut baru bisa diakses publik sejak munculnya kesadaran perempuan untuk membawa apa yang dialaminya menjadi persoalan publik. Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender yang dialami perempuan. Berapa banyak ketidakadilan yang harus dialami perempuan, kekerasan (penipuan, pemerkosaan, traficking dsb), diskriminasi dan sebagainya.
Di samping itu, marginalisasi media sering ditujukan kepada kelompok minoritas, yang tidak dominan ataupun mereka yang tidak punya kuasa. Kasus pemerkosaan misalnya, perempuan yang seharusnya sebagai korban kekerasan seksual, kerap diputar-balikkan sedemikian rupa. Perempuan selaku korban dianggap ikut andil di dalamnya (aksi pemerkosaan). Mereka dinilai mengumbar aurat terlalu terbuka, dan sebagainya yang mengundang birahi laki-laki dipandang sebagai sebab terjadinya tindakan asusila.
Berbeda pada pelaku (laki-laki), mereka sering digambarkan sebagai seorang yang taat beragama, pendiam, tokoh masyarakat, tokoh adat dan penguasa. Lihat saja, pelecehan hak, perampasan materi yang dilakukan oleh Kepala Desa terhadap rakyatnya. Pelecehan seksual oleh guru ngaji terhadap santrinya. Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh suami atas istrinya dengan alasan selingkuh yang tidak berdasar fakta. Menjadikan tokoh antogonis yang berlatar memiliki kekuasaan atas korban tersebut selalu mampu menggenggam hukum dan memutarbalikkan fakta, jika pelanggaran etika itu dilakukan karena bermula dari sang korban sendiri (baca : kaum perempuan).
Tidak lagi bisa disangkal jika perempuan senantiasa mengalami diskriminasi dalam berbagai sendi kehidupan. Meski sejatinya perbedaan antara lelaki dan perempuan hanya terdapat pada wilayah biologis semata jika disandingkan dengan pranata sosial dan hukum dalam pergaulannya.
Memang demikian halnya jika kita bersedia menarik garis panjang sejarah ke belakang, para pemikir yunani kuno sekelas Plato misalnya, memiliki pandangan bahwa perempuan dapat berpartisipasi dalam sistem pemerintahan aristokrasi yang menurutnya ideal, namun demikian Plato sendiri mengatakan bahwa warga yang mati dalam kondisi tidak baik akan dikutuk menjadi perempuan. Aristoteles murid Plato justru berpendapat bahwa Perempuan adalah warga kelas dua yang tidak memiliki hak demokrasi di Negara kota (polis). Revolusi 14 Juli 1789 Perancis yang berprinsip pada kesetaraan, persaudaraan, dan kebersamaan juga tidak berlaku bagi perempuan karena tidak memberikan hak politik bagi perempuan.
Selaras dengan perjuangan HAM, dalam hukum HAM Internasional secara khusus telah dibentuk instrument hak asasi perempuan yang termuat dalam Konvensi CEDAW (Convention on elimination of all forms of discrimination against women) dan Indonesia telah meratifikasinya dalam UU. NO. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan.
Salah satu dari tiga prinsip yang termuat dalam konvensi ini, yaitu Persamaan substantive yang mengakui adanya perbedaan situasi hidup perempuan dan laki-laki dimana perempuan lebih rentan untuk mengalami diskriminasi yang sering dijustifikasi melalui perbedaan kebutuhannya dibanding laki-laki. Diskriminasi dapat dialami langsung atau merupakan kelanjutan dari berbagai tindakan diskriminatif di masa lalu.
Dari gambaran marginalisasi kaum perempuan tersebut di atas, apakah benar kaum perempuan yang lemah secara politik dan hukum cenderung menjadi korban ketidakadilan hukum, ranah sosial serta adat dan budaya ? Jika politik dan hukum positif terlalu mahal harganya untuk sebuah keadilan bagi kaum perempuan, bagaimana sejatinya hukum adat melihat perempuan sebagai objek pelanggaran dan ketidakadilan penguasa?
Perempuan Perspektif Adat
Bicara kedudukan perempuan dalam hukum adat, akan memicu timbulnya berbagai pertanyaan, hukum adat yang mana? Dalam kenyataannya hukum adat yang berlaku di Indonesia adalah jauh lebih bervariasi daripada yang dapat dikategorikan oleh kaum strukturalist, atau aliran hukum adat lama, seperti Von Vollenhoven itu.
Di sisi lain keberadaan hukum adat juga tidak bisa serta merta lepas dari relasinya dengan hukum-hukum lain seperti hukum tata negara, hukum agama dan sebagainya. Relasi antara hukum adat dan hukum agama sendiri sudah berlangsung begitu lama, bahkan dalam konteks tertentu sudah sulit dipisahkan, mana unsur hukum adat dan yang mana unsur hukum agama. Dalam masyarakat Melayu misalnya, kedatangan Islam melalui pendekatan cultural, menyebabkan munculnya pandangan bahwa Islam menyempurnakan adat, sehingga lahirlah terminology: adat basandi syara, syara basandi kitabullah, syara manato adat mamakai.
Akhirnya dalam memandang perempuan sebagai subjek dan objek hukum perspektif adat tidak bisa mengesampingkan hukum agama di dalamnya, sebagai wujud relasi adat dan agama. Pada konteks yang demikian ini, perampasan akan hak terhadap perempuan (kaum ibu), selaku istri, dan masyarakat dalam strata sosial oleh pelaku (baca : pelanggar norma) berarti telah melakukan pelanggaran terhadap hukum adat dan hukum agama.
Jika demikian halnya, ketika hukum positif berharga mahal bagi para korban dalam mencari keadilan hukum di mata publik. Selayaknya, hukum adat mampu mengembalikan kewibawaan hukum dalam pranata sosialnya. Kenapa penulis katakan demikian ? sebab, pelaku pelanggaran dan perampasan hak kaum Ibu mayoritas juga dilakukan di desa-desa yang jauh dari konstelasi politik perkotaan dan hukum publik, yang justru masih kental dengan nuansa adat dan budaya adi luhung para leluhur.
Akan tetapi, jika para pelanggar etika dan norma (baca : suami, perangkat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama dan bahkan tokoh adat) terhadap kaum perempuan (baca : istri, murid, santri dsb) memiliki kekuasaan yang oleh kaum machiavelis hari ini dinamakan sebagai kekuatan politik, mampukah terminologi hidup basandikan syara’, syara’ basandikan kitabullah dijadikan sandaran terakhir dalam mencari keadilan hukum oleh kaum perempuan yang termarginalkan ? hemat penulis, sangat sulit. Sebab, ketika ranah hukum dan bahkan ranah adat sekali pun telah direcoki dengan kekuatan politik, dia akan mandul. Lihat saja kasus hukum pemilukada yang harusnya bersih dari kekuatan politik dan kekuasaan menjadi ramah dengan ketidakadilan akibat adanya politik dan kekuasaan bernama uang. Sehingga, kalau demikian, bertanya dan meminta perlindungan kepada siapa lagi bagi kaum perempuan jika haknya dilanggar kecuali kepada Allah swt, Tuhan Sekalin Alam. Sebab, hukum mahal, politik gemulai, adat impotensi wibawa. Wallahu A’lam.
Penulis adalah Wakil Direktur FiSTaC, anggota Pelanta
Tidak ada komentar :
Posting Komentar