Drs. H. Navarin Karim, M. Si. |
Oleh: Drs. H. Navarin Karim, M. Si.*
Seorang pemimpin yang dilahirkan di orde lama dan orde baru ketika masa pendidikan formalnya mendapat pendidikan budi pekerti, bercerita sekaligus curhat kepada penulis. Katanya: ia menjadi terkaget-kaget manakala melihat sikap agresif bawahannya. Bukan hanya dari aspek verbal komunikasi dilontarkan secara tidak santun, tetapi juga bahasa tubuh (gesture) yang ditampilkan dengan mata seolah menantang dan mengangkat telunjuk jari seolah mengancam. Si bawahan seolah biasa (easy going) saja perbedaan pendapat dengan cara demikian. Seolah si bawahan merasa benar dan tidak merasa ada yang salah sama sekali dalam bersikap. Seandainya secara substansi dia benar, tapi secara etiket ini jelas-jelas disalahkan.
Perbedaan pendapat ini berlanjut, manakala berpapasan dengan pimpinan dia tidak pernah bergeming seolah tidak kenal dan tidak menyapa sama sekali. Si pemimpin malah merasa ketidaknyamanan situasi ini dan ia bandingkan ketika dia menjadi bawahan jauh sekali perbedaannya. Pengalamannya jika berbeda pendapat dengan atasan tidak sampai seagresif yang ditampilkan bawahannya sekarang, terkesan tidak sesuai standar etiket yang pernah dipelajarinya. Hal ini sebelumnya pernah didiskusikan dengan pemimpin organisasi lain yang berada pada generasi yang lebih muda untuk dapat dijadikan rujukan. Pemimpin yang lebih muda ini mengatakan ”zaman sudah berubah”. Hal yang dapat penulis pahami dari kasus yang diceritakan tersebut, bahwa si pemimpin senior harus menyesuaikan diri dan sedikit lebih bersabar, tidak terpancing emosi dan lebih cooling down serta tidak reaktif ataupun represif dalam menyikapi hal tersebut, karena dapat memperkeruh keadaan. Hal yang perlu dipersoalkan adalah: apakah si staf/bawahan tersebut dalam pendidikan formalnya tidak pernah memperoleh pengetahuan tentang bagaimana beretiket secara santun dengan atasan? Apakah si pimpinan harus mengalah dengan zaman? Mungkinkah ini dampak kebrutalan yang dipertontonkan demonstran ketika reformasi tahun 1998.
Etiket menurut menurut OP. Simorangkir (1987: 9) didefenisikan: sesuatu yang nampak ditampilkan seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain. Bisa kita maknai bahwa yang nampak minimal harus menunjukkan sikap yang baik, walaupun kita berbeda pendapat, bukan menunjukkan wajah bermusuhan. Beda lagi dengan etika : baik yang nampak atau tidak nampak ditampilkan seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain. Artinya tuntutan etika lebih besar ketimbang etiket, tapi minimal seseorang harus punya etiket yang baik. Apalagi dalam lingkungan organisasi, karena dipastikan interaksi pasti akan terjadi. Jika ada staf yang mengabaikan etiket demikian, dikhawatirkan si pimpinan terpancing dan melakukan tindakan represif yang dapat mengakibatkan potensi konflik latent akan berubah menjadi manifest.
Etiket Harus Tetap Ditegakkan
Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang berbudaya dan santun harus mengembalikan citra tersebut. Cukup hanya masa demonstrasi reformasi 1998 saja kita dikatakan sebagai bangsa yang biadab. Mari kita revitalisasi kembali etiket tersebut dengan memasukkan muatan etiket, etika dan character building dalam kurikulum pelajaran sekolah atau atau kurikulum di Perguruan Tinggi. Etiket adalah standar pergaulan dalam organisasi yang harus dipatuhi. Ada kalimat yang lebih ekstrim mengatakan bahwa jika si bawahan tidak dapat menyesuaikan diri dengan etiket organisasi, maka si bawahan harus mengundurkan diri, karena ia harus menghormati atasan, bukan malah sebaiknya si atasan yang harus menghormati bawahan. Tapi itu bukan dimaknai si atasan dapat berbuat semena-mena karena kekuasannya dan tidak menghargai bawahan, karena tanpa bawahan si atasan tidak dapat mencapai tujuannya dalam rangka menggerakkan dan mengerahkan orang-orang dalam mencapai tujuan organisasi.
Memimpin memang memerlukan seni bagaimana agar yang diinginkannya dapat diikuti oleh bawahannya. Etiket dapat menunjukkan tinggi rendah budaya seseorang. Semakin beretiket seseorang, maka dianggap dia semakin berbudaya tinggi dan semakin elegance sikap seseorang serta demikian pula sebaliknya. Seharusnya etiket maupun adat istiadat yang telah diajarkan pendahulu kita dapat menembus ke lapisan zaman berikutnya. Istilah baru dalam sebuah iklan TV swasta mengatakan “Pemimpin boleh berganti-ganti, tetapi kopinya tetap ………”, sepadan dengan pepatah lama yang mengatakan bahwa adat istiadat dan etiket seharusnya tidak lekang di panas dan tidak lapuk di hujan, jika kita ingin dianggap orang beradab. Jika kita melabrak semua ini berarti kita mundur ke belakang, yaitu kembali ke masa primitive. Apalagi di kalangan akademisi, ada pemeo mengatakan perang fisik tidak populer, tetapi adu argumentasilah yang harus dikedepankan. Namun tidak perlu dengan cara yang agresif, tetapi lebih kepada cara-cara yang asertif yaitu cara yang tegas tapi tetap menjaga kesantunan dan sesuai dengan kearifan lokal. Bicara kearifan lokal agar selamat dalam berkomunikasi, kita perlu mengacu kepada kearifan lokal Sumatera Barat yang mengajarkan berkomunikasi secara menurun, mendatar, melereng dan mendaki serta tidak meninggi.
Menurun maksudnya kita turunkan standar komunikasi kita jika berhadapan dengan masyarakat yang lebih rendah sandaran pendidikannya. Cara mendatar ditujukan jika kita berkomunikasi dengan counterpart/lawan bicara yang sepadan atau selevel. Melereng dan mendaki dimaksudkan kita harus hati-hati memilih kata-kata dan merangkai kalimat agar orang tidak tersinggung, dianalogikan ketika kita melereng di tempat yang tinggi jika tidak hati-hati bisa jatuh ke bawah. Sedangkan meninggi tidak disarankan walaupun kita dalam keadaan emosi, karena efeknya bisa makin mengeruhkan suasana. Namun sebagai manusia biasa hal ini yang paling sulit, karena manusia memang ditakdirkan punya emosi. Oleh sebab itu selalulah berkomunikasi dengan cara menurun, mendatar dan melereng, sehingga tidak mengakibatkan seseorang menjadi meninggi alias terpancing emosinya sebagai manusia (bukan malaikat), artinya kembalilah kepada cara komunikasi yang asertif.
*Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah Jambi dan Ketua Pelanta (NIA. 201307002).
Zaman memang berubah mas, dulu citra pemimpin adalah melindungi, mengayomi, mensejahterakan staf dengan semboyan tut wuri handayani, ing madyo mangun karso, ing ngarso sung tulodo. Pemimpin citranya adalah seseorang yang patut dihormati dan diteladani. Zaman sekarang, citra pemimpin adalah dekat dekat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Akhirnya digebyah uyah, boso solone muncul mas, bahwa semua pemimpin yang notabene lebih senior, adalah koruptor. Ini fenomena yang terjadi tidak hanya di Jambi, tapi di seluruh Indonesia. Upacara 17 Agustus yang dipimpin oleh Gubernur / Bupati / Walikota tidak lagi se khusyuk zaman dulu, mereka hanya sekedar datang upacara agar dapat mengisi daftar hadir dan bebas dari sanksi administratif.
BalasHapus